Jika kita melihat citra satelit Jakarta di tahun 2022, terlihat suatu gumpalan abu-abu besar yang berserakan di antara titik-titik hijau. Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian Indonesia selama lebih dari 77 tahun, Jakarta sebagai ibukota Indonesia selalu 'menjalar' dalam perkembangan dan pembangunannya.
Dari perkembangan Jakarta, salah satu faset yang paling mencolok adalah pembangunan kawasan perumahan swasta di pinggirannya, seperti Pantai Indah Kapuk (PIK), Bumi Serpong Damai (BSD), Alam Sutera dan Summarecon Bekasi.
Belakangan ini bahkan masih terdapat pembangunan kawasan perumahan baru seperti CitraRaya Tangerang dan Serpong Grand Park. Ini diakibatkan oleh peningkatan jumlah penduduk yang ditumpangi Jakarta yang sudah melebihi 10.56 juta pada tahun 2020 (Badan Pusat Statistik, 2021).
Namun apakah pembangunan perumahan ini selalu bersinergi dengan perkembangan Jakarta, atau hanya menjadi fenomena urban sprawl yang terus menyebarkan 'gumpalan abu-abu' ibukota ke wilayah hijau sekitarnya?
Perkembangan Urban Sprawl di Jakarta
Urban sprawl -- atau 'penyebaran perkotaan' -- diberikan definisi dan pandangan yang cukup beragam.
Di satu sisi, urban sprawl dapat diartikan sebagai pencaran dan penyebaran pengembangan kawasan perkotaan berkepadatan rendah yang diakibatkan oleh kegagalan pasar (Pratama & Yudhistira, 2020).
Di sisi lain, urban sprawl tidak dianggap sebagai suatu perencanaan kota yang buruk, namun merupakan fenomena yang tidak bisa terhindarkan jika masyarakat sekitar bergantung pada transportasi pribadi (Glaeser & Kahn, 2004).
Intinya, fenomena ini menggambarkan pembangunan kota yang berpadat rendah namun tersebar secara tidak teratur.
Sejarah perkembangan wilayah Jakarta selalu ditemani dengan fenomena urban sprawl. Bahkan pada zaman kolonial, kota Jakarta -- konon dipanggil Batavia -- yang terletak di rawa pesisir yang rawan kebanjiran membuat sebagian penduduknya pindah ke sisi selatan di Weltevreden (Cahyadi, 2017).
Seiring perkembangan Batavia, penduduk-penduduk yang berkecukupan mencari tempat huni yang lebih layak, sehingga mengakibatkan permukiman untuk meluas ke Kramat dan Salemba di sisi Tenggara dan Menteng di sisi Barat Daya (Rosalina, 2019). Di zaman kolonial, urban sprawl di wilayah Jakarta hanya mengakomodasi hunian ekslusif orang Eropa.
Fenomena urban sprawl Jakarta justru mencapai puncaknya pada periode pasca kemerdekaan Indonesia, di mana ibukota tersebut mengalami peningkatan jumlah penduduk yang sangat drastis.
Untuk memberi gambaran kasar, populasi Jakarta hanya berjumlah 409,475 pada tahun 1930, namun telah meningkat menjadi 1.43 juta pada 1950, 2.91 juta pada 1960 dan 4.47 juta pada 1970 dengan tingkat annual pertumbuhan penduduk yang dapat mencapai 10.35% (Fahmi, Firman, Rukmana, 2018).
Sehingga akhirnya pada 2020, Jakarta, dengan luas wilayah sebesar 664 km2, sudah menumpang lebih dari 10 juta penduduk. Peningkatan drastis ini juga terlihat jelas di Kota Metropolitan Jakarta yang mencakupi kota-kota satelit Bogor, Bekasi, Depok dan Tangerang.
Pada tahun 1980, metro ini yang mempunyai luas 5,500 km2 ditempati 11.91 juta penduduk, namun 30 tahun kemudian sudah ditempati 28.02 juta manusia pada tahun 2010.
Mengapa Urban Sprawl Terjadi di Jakarta?
Secara garis besar, meningkatnya jumlah penduduk akan menghasilkan permintaan tempat permukiman baru, yang selanjutnya dapat mengakibatkan urban sprawl.
Menurut analis tata kota Yayat Supriatna  (2019), fenomena ini 'muncul seiring pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan berdirinya pusat kegiatan masyarakat, gedung, apartemen, hotel hingga bertambah fasilitas jalan'.
Akan tetapi, Supriatna juga mengatakan bahwa urban sprawl bukan akibat tunggal dari peningkatan jumlah penduduk di suatu wilayah, melainkan suatu 'gejala modern' yang dikarenakan oleh konsep pembangunan yang tidak direncanakan secara matang.
Ada berbagai alasan lain mengapa pembangunan Jakarta mengalami urban sprawl. Menurut Jan Brueckner & David Fansler (1983), urban sprawl bukan hanya diakibatkan oleh kenaikan penduduk kota, tetapi juga kenaikan pendapatan dan penurunan biaya perjalanan.
Ini juga bisa terlihat dari pembangunan berbagai jalan tol serta kenaikan produk domestik regional bruto per kapita Jakarta yang mendukung urban sprawl. Namun, perkembangan urban sprawl di Jakarta juga dipengaruhi besar oleh berbagai peristiwa sejarah.
Selain kedatangan para perantau yang bermukim di pinggiran-pinggiran Jakarta karena infrastruktur dan fasilitasnya yang lebih memadai (Goldblum & Wong, 2000), rangkaian deregulasi dan debirokratisasi  yang ditetapkan oleh pemerintah Suharto selama dekade 1980an menyebabkan wilayah pertanian dan hutan di pinggiran kota untuk dikonversi secara masif menjadi subdivisi dan kota-kota baru yang besar (Silver, 2008).
Konversi tersebut didukung oleh Instruksi Presiden Nomor 13 yang ditetapkan pada 1976, yang membatasi urbanisasi kota Jakarta dengan mengembangkan kegiatan industri dan perdagangan di wilayah sekitarnya (Rosalina, 2019).
Akibatnya , lebih dari 30 kawasan perumahan baru telah dibangun dari 1990 sampai 2010. Pembangunan permukiman-permukiman tersebut juga lebih gencar akibat lemahnya sistem perizinan pemerintah atas penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) (Supriatna, 2019).
Meskipun demikian, urban sprawl memberi dampak yang cukup signifikan pada kota Jakarta dan penduduknya. Selain menyebabkan ketergantungan besar pada kendaraan pribadi, kerusakan habitat satwa, dan pemanfaatan ruang kota yang tidak bersinergi, fenomena ini berdampak besar pada perekonomiannya. Bahkan, fenomena urban sprawl tidak hanya berdampak pada perekonomian Jakarta, tetapi juga mencerminkan keadaan ekonominya.
Perekonomian di Balik 'Urban Sprawl'
Seperti urban sprawl, perekonomian di balik fenomena ini berbentuk kompleks dan tidak dapat dikatakan sebagai gejala yang benar-benar baik atau buruk.
Di satu sisi, urban sprawl dapat menyebarkan manfaat-manfaat perkotaan pada wilayah rural, seperti peningkatan produktivitas tenaga kerja, pendorongan investasi dan pembangunan ekonomi (Huang, et. al, 2015).
Pertama, peningkatan jumlah penduduk di kawasan baru yang mengakibatkan peningkatan angkatan kerja dapat menggencarkan pertumbuhan ekonomi.
Kedua, penyebaran urbanisasi pada wilayah-wilayah rural mendiversifikasi sektor-sektor kerja yang dulunya hanya bergantung pada agrikultur. Dari sini, pemindahan tenaga kerja dari sektor agrikultur menuju sektor manufaktur dan servis menambahkan jumlah tenaga kerja yang relatif murah untuk konstruksi dan pengembangan kota, lantas mengurangi biaya tenaga kerja perusahaan.
Ketiga, karena tenaga kerja manufaktur dan servis -- yang cenderung lebih berpendapatan tinggi -- meningkat, permintaan konsumsi juga naik dan memberi insentif kepada produsen untuk meningkatkan input dan memperluas skala produksi, lantas meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Namun, di sisi lain, manfaat-manfaat urban sprawl diimbangi dengan dampak-dampak buruknya yang signifikan. Salah satu kritik terbesar mengenai urban sprawl adalah kegagalan pasar yang ditimbulkannya, seperti kegagalan memperhitungkan manfaat ruang publik yang terbuka, kegagalan memperhitungkan biaya kemacetan jalan, dan kegagalan pengembang real estate untuk memperhitungkan semua biaya infrastruktur publik (Brueckner, 2000).
Selain itu, terdapat juga eksternalitas negatif emisi karbon yang meningkat karena ketergantungan kendaraan pribadi pada urban sprawl serta penurunan aktivitas ekonomi di pusat kota karena fenomena dekonsentrasi penduduk menuju wilayah pinggirannya.
Apa yang Mencolok dari 'Urban Sprawl' Jakarta?
Manfaat-manfaat serta dampak buruk general urban sprawl dapat terlihat dengan jelas di ibukota Jakarta.
Sebagai contoh, eksternalitas negatif biaya kemacetan jalan yang diakibatkan oleh urban sprawl sangat berdampak pada kehidupan penduduk Indonesia. Pengembangan kawasan-kawasan perumahan swasta di pinggiran Jakarta belakangan ini menyebabkan karena banyak penduduk di pinggiran kota Jakarta perlu menggunakan kendaraan pribadi untuk jalan ke pusat kota untuk beraktivitas, 80% dari semua perjalanan di Jakarta menggunakan kendaraan pribadi, yang menyebabkan Jakarta untuk mengalami kerugian 3.5 triliun dollar AS per tahun karena kemacetan jalan (Wismadi et. al, 2013).
Sebaliknya, manfaat terbesar dari fenomena urban sprawl di pinggiran Jakarta adalah pengenceran industrialisasi dan diversifikasi sektor-kerja di daerah tersebut (Fahmi, Firman, Rukmana, 2018). Urban sprawl di Jakarta tidak hanya mencakupi pengembangan kawasan permukiman swasta, tetapi juga zona-zona industrial (yang masih berpadat rendah) yang menghasilkan bahan-bahan seperti tekstil, pakaian jadi, plastik dan elektronik.
Lantas, terdapat banyak kasus integrasi area-area industrial di pinggiran Jakarta dengan kawasan perumahan, seperti Jabebeka dan Lippo Cikarang. Para penduduk di Tangerang, Depok, Bogor dan Bekasi dapat menikmati perkembangan fasilitas dan menjadi kawasan multi-sektor dan beraktivitas di wilayah tersebut tanpa berbolak-balik ke pusat DKI Jakarta.
Terlepas dari manfaat dan dampak buruk yang tertimbun dari urban sprawl Jakarta, kejadian tersebut tidak akan terjadi tanpa privatisasi pengembangan dan pengelolaan lahan di daerah pinggiran Jakarta.
Berbagai kebijakan desentralisasi telah menggeserkan kuasa pengelolaan lahan dari sektor publik pada sektor privat (Fahmi, Firman, Rukmana, 2018), sehingga sektor privat mempunyai peran yang jauh lebih besar dalam mengelola kawasannya secara 'eksklusif'. Ini bisa dilihat dari 'pelayanan kota' yang seharusnya tradisional diberikan oleh pemerintah daerah di kawasan tersebut.
Secara garis inti, pengembangan urban sprawl di Jakarta dapat diakibatkan oleh gencaran privatisasi pengelolaan lahan dan daerah pinggirannya.
'Urban Consolidation' untuk Mengatasi 'Urban Sprawl'
Maka, dari kejadian urban sprawl yang selalu menemani pembangunan daerah Metropolitan Jakarta, apakah ada suatu strategi yang dapat menghentikannya?
Kebijakan-kebijakan yang ada saat ini adalah urban consolidation dan smart growth. Urban consolidation merupakan suatu 'strategi pengembangan kota yang kompak dan berdensitas tinggi, [dan] ditujukan pada bagian kota yang mengalami kemunduran' (Sutanudjaja, 2008). Sementara, smart growth merupakan 'perencanaan berwawasan lingkungan dan mengintegrasikan antara perencanaan kota dan transportasi'.
Secara garis besar, strategi-strategi tersebut menghilangkan kegagalan pasar dan eksternalitas negatif dari urban sprawl tanpa mengorbankan peningkatan ekonomi dan industrialisasi.
Menurut organisasi non-profit WeConservePA, smart growth bersifat sustainable, menggunakan lahan padat yang berorientasi transit, melestarikan sumber daya alam, serta memperluas pilihan transportasi yang mempromosikan kesehatan masyarakat yang lebih baik.
Sebagai konklusi, selama ini perkembangan ibukota Jakarta tidak pernah terlepas dari kejadian urban sprawl. Peningkatan jumlah penduduk kota, kenaikan pendapatan, rangkaian deregulasi dan debirokratisasi serta privatisasi lahan telah menggencarkan penyebaran kawasan permukiman di pinggiran Jakarta.
Sekarang, kita hanya menunggu jika gumpalan abu-abu -- sebuah gambaran urban sprawl -- yang terlihat dari citra satelit Jakarta akan terus menjalar atau dihambat oleh kebijakan urban consolidation dan smart growth.
Oleh Gopas Teofilus Silalahi | Ilmu Ekonomi 2021 | Staff Divisi Kajian Kanopi 2022
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. (2021, January 22). BPS Provinsi DKI Jakarta. Bps.go.id. https://jakarta.bps.go.id/pressrelease/2021/01/22/541/jumlah-penduduk-hasil-sp2020-provinsi-dki-jakarta-sebesar-10-56-juta-jiwa.html#:~:text=Jumlah%20Penduduk%20Hasil%20SP2020%20Provinsi%20DKI%20Jakarta%20sebesar%2010.56%20juta%20jiwa
Christiyaningsih. (2019, July 26). Fenomena Urban Sprawl Pengaruhi Pembangunan Jakarta. Republika Online. https://www.republika.co.id/berita/pv87u3459/fenomena-urban-sprawl-pengaruhi-pembangunan-jakarta
CNN Indonesia. (2021, December 7). Melirik Sederet Perumahan Baru di Jabodetabek - Halaman 2. Ekonomi. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211207062326-92-730705/melirik-sederet-perumahan-baru-di-jabodetabek/2
Fitriani, R. & Harris, M. (2011). The Extent Of Sprawl In The Fringe Of Jakarta MetropolitanÂ
Area From The Perspective Of Externalities. Australian Agricultural and Resource Economics Society. https://core.ac.uk/download/pdf/6459614.pdf
Pratama, A., & Yudhistira, M. (2020). Highway Expansion and Urban Sprawl in the Jakarta Metropolitan Area. Institute for Economic and Social Research - Faculty of Economics and Business - University of Indonesia, 1--14. https://www.lpem.org/highway-expansion-and-urban-sprawl-in-the-jakarta-metropolitan-area/
Rosalina, M. (2019, June 24). Jakarta dan Urban Sprawl. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/utama/2019/06/24/jakarta-dan-urban-sprawl
Rukmana, Deden, Fikri Zul Fahmi and Tommy Firman (2018, August 3) Suburbanization in Asia, in The Routledge Companion to the Suburbs ed. Bernadette Hanlon and Thomas J. Vicino (Abingdon: Routledge, 30 Aug 2018 ), accessed 26 Aug 2022 , Routledge Handbooks Online.
Sutanudjaja, E. (2008). Urban Sprawl Di Jakarta [Slideshare slides]. Universitas Diponegoro. https://www.slideshare.net/elisa3da/urban-sprawl-di-jakarta-presentation
WeConservePA (n.d.). Economic Benefits of Smart Growth and Costs of Sprawl. Retrieved 19 August, 2022, from https://conservationtools.org/guides/96-economic-benefits-of-smart-growth-and-costs-of-sprawl
Zhang, M., Li, Y., Guo, R., & Yan, Y. (2022). Heterogeneous Effects of Urban Sprawl on Economic Development: Empirical Evidence from China. Sustainability, 14(3), 1582. https://doi.org/10.3390/su14031582
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI