Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Polarisasi Politik, Si Pengendali Pikiran Rakyat

10 Juli 2020   18:34 Diperbarui: 12 Juli 2020   05:53 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah mural yang berisi dan membawa pesan damai menghiasi tembok di Lamper Kidul, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (7/2/2017). Mural tersebut membawa pesan damai di tengah keberagaman masyarakat yang saat ini rentan dengan isu SARA dari media sosial. (Foto: KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Apakah kinerja pemerintah pusat dalam mengatasi penyebaran Covid-19 sudah baik? Survei nasional oleh Indikator menemukan bahwa jawaban dari pertanyaan ini sangat dipengaruhi oleh sikap partisan. 

Masyarakat pendukung Jokowi pada Pemilu 2019 lalu banyak menjawab bahwa mereka puas atas kinerja pemerintah. Sedangkan pemilih Prabowo lebih banyak menjawab bahwa mereka tidak puas.

Penemuan ini sangatlah unik. Jawaban masyarakat nyatanya sangat dipengaruhi oleh preferensi politik mereka. Masyarakat seolah-olah menggunakan dua lensa berbeda untuk memandang satu realita yang sama. Dari sini, kita bisa melihat seberapa besar peran partisanship dalam mengendalikan pandangan masyarakat.

Pengangkatan Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan di Kabinet Indonesia Maju mendatangkan peluang konsolidasi bagi dua kubu politik yang bertarung pada Pemilu 2019. 

Figur-figur dukungan "cebong" dan "kampret" akhirnya bersatu dan saling bahu membahu membangun Tanah Air. Tetapi nyatanya polarisasi tetap berlanjut dengan pengusungan tokoh "lawan" baru. Siapakah dia?

Dia adalah Anies Baswedan yang kini mulai dilihat oleh masyarakat sebagai kandidat potensial pada Pemilu 2024 mendatang. Walaupun Jokowi tidak akan secara langsung bertempur dengan Anies pada pemilihan umum berikutnya, adanya polarisasi pendukung kedua figur ini terbilang hebat. 

Istilah "Togog"---saudara jahat dari Semar---dan "kadrun"---singkatan dari kadal gurun yang dinilai bersifat diskriminatif---seringkali digunakan pendukung masing-masing tokoh untuk mencemooh kubu lainnya.

Bentuk labelling tersebut nampaknya membawa makna tersendiri. Menurut Summer (1906), labelling berkonotasi negatif menunjukkan adanya antagonisme yang kuat terhadap outgroup. Berakhirnya masa Pemilu nyatanya tidak langsung meniadakan polarisasi dalam masyarakat. Fenomena ini kemudian memunculkan suatu pertanyaan---apa dampak dari hal yang tak dapat kita hapuskan ini?

Polarisasi dalam masyarakat

Sebelum kita berbicara tentang polarisasi dan hubungannya dengan ekonomi, sangatlah penting untuk memahami apa itu polarisasi. Polarisasi bukanlah pertentangan mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah. Sesungguhnya diskursus mengenai hal-hal substantif seperti ini sangatlah baik bagi demokrasi. 

ilustrasi: @Kanopi_FEBUI
ilustrasi: @Kanopi_FEBUI

Polarisasi juga tidaklah selalu tentang perbedaan ideologi. Menurut James Q. Wilson, komitmen kuat terhadap kandidat politik atau budaya tertentu yang menciptakan negasi terhadap oposisi juga merupakan bentuk polarisasi.

Polarisasi adalah ekstremitas dan jarak dari respon masyarakat yang tidak terkait dengan substantivitasnya (Paul, John, & Bethany, 1996). Pandangan ekstrem ini membentuk jurang yang lebar antarkutub dan mendorong masing-masing kelompok untuk bertarung dalam zero-sum game yang didorong oleh perilaku tribalism bawaan manusia.

Sering kali polarisasi tidak didasarkan oleh alasan rasional. Pada banyak kasus, masyarakat memilih kutub politik mana yang mereka dukung berdasarkan preferensi pribadi yang arbitrary. Polarisasi politik dikatakan kuat apabila pandangan masyarakat mengenai suatu isu terbagi secara jelas berdasarkan kelompok partisanship. 

Contoh nyatanya adalah keputusan House Intelligence Committee Amerika Serikat untuk mengadopsi laporan kasus pendakwaan Trump. Keputusan diperoleh dari 13 suara "ya" yang semuanya berasal dari Democrats dan 9 suara "tidak" yang semuanya berasal dari Republicans.

Walaupun polarisasi dan partisanship bukanlah hal yang sama, keduanya memiliki asosiasi yang erat. Animo partisan mendorong masyarakat untuk menumbuhkan perasaan ingroup yang kuat kepada kutubnya. Oleh sebab itu, aliran politik menjadi identitas yang penting pada masyarakat yang terpolarisasi. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Kutub-kutub di Indonesia

Polarisasi di Indonesia sudah ada sejak masa-masa awal pemerintahan. Walaupun tidak sejelas Republicans dan Democrats di Amerika Serikat serta Conservative dan Labour di Britania Raya, Indonesia juga memiliki kutub-kutub tersendiri. 

Pada era demokrasi liberal tahun 1950---1957, partai-partai politik Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua kutub. Kutub pertama merupakan kutub sekuler yang dipimpin oleh PNI dan PKI. 

Sedangkan di ujung lain ada kutub politik Islam dengan dua kelompok berbeda: Islam ortodoks dengan NU sebagai pemimpinnya dan Islam modernis di bawah pimpinan Masyumi.

Dalam perkembangannya, golongan politik kiri yang merupakan bagian dari aliran sekuler lenyap seiring dengan lahirnya Orde Baru. Orde Baru juga menandai berkembang pesatnya Golkar dengan ideologi netralnya yang berusaha meyeimbangkan paham sekuler dan agamis (Tomsa, 2008).

Walaupun polarisasi partai politik saat ini tidak sejelas dulu, profil aliran yang ada di Indonesia masihlah sama (Aspinall et al., 2018). Sederhananya, polarisasi di Indonesia memiliki dua kutub utama: sekuler dan politik Islam. 

Di Indonesia, kepercayaan religi seseorang memegang peranan penting dalam menentukan perilaku dan pandangannya, termasuk dalam konteks politik (Pepinsky et al., 2018). Dan pandangan politik yang terpolarisasi ini, didukung dengan partisanship yang kuat, mampu memengaruhi hal-hal yang lebih luas daripada pemilihan umum semata.

Ekonomi dan polarisasi politik

Seperti baru saja kita ketahui, polarisasi ternyata memiliki pengaruh yang besar. Oleh sebab itu, tak mengherankan apabila ranah ekonomi juga merasakan implikasinya. Sebelum menyimpulkan apakah polarisasi secara keseluruhan itu baik atau buruk bagi perekonomian, kita akan menelusuri argumentasi-argumentasi pro-kontra dari polarisasi.

Mari kita mulai dengan argumentasi pro. Pertama, adanya dua atau lebih pihak dengan pandangan yang berbeda akan mendorong terciptanya diskursus. Masing-masing pihak akan menyajikan argumentasi untuk melindungi pandangannya dan berusaha mengkritik pandangan lawan. 

Seperti yang disampaikan psikolog sosial Jonathan Haidt pada buku The Righteous Mind, sangatlah penting bagi suatu institusi yang ingin menemukan kebenaran untuk memiliki pandangan intelektual dan ideologis yang berbeda.

Oleh sebab itu, negara dengan paling tidak dua kutub politik berbeda akan mampu menghasilkan "kebenaran" dari hasil perdebatan antarkutub. Dengan begitu, secara teoretis, informasi atau berita bohong akan disingkapkan oleh diskursus substantif yang berlangsung. 

Begitu pula dengan kebijakan ekonomi. Adanya kompetisi argumen dari kubu-kubu yang saling berlawanan akan menghasilkan kebijakan terbaik bagi perekonomian yang telah lolos uji kritik dari kelompok-kelompok masyarakat yang bertentangan.

Implikasi positif kedua bersifat lebih praktikal, yakni terciptanya peluang untuk meraup manfaat ekonomis dari perilaku partisan masyarakat. Individu dengan partisanship kuat terhadap partai atau figur politik tertentu akan terdorong untuk menempuh berbagai cara untuk mendukung jagoannya. 

Cara paling sederhana adalah dengan menonton debat presidensial. Debat presidensial pertama Trump-Clinton pada 2016 lalu berhasil menarik 106 juta penonton. Tayangan-tayangan berbau politis, terutama di periode kampanye, merupakan ladang emas bagi perusahaan-perusahaan penyiaran dan jurnalistik yang mampu memanfaatkan peluang ini.

Kini kita akan beralih ke argumentasi yang membuktikan bahwa polarisasi politik merugikan perekonomian. Pertama, polarisasi yang sangat prevalen akan menghambat kinerja pemerintahan dalam menyusun kebijakan. 

Pada argumen pro tadi kita memang sudah membahas tentang bagaimana perbedaan intelektualitas dan ideologi dapat menghasilkan kebijakan yang "benar". 

Namun sayangnya derajat dari polarisasi bukanlah sekedar perbedaan kedua komponen itu saja. Lebih dari pada itu, polarisasi disertai dengan partisanship yang kuat membuat individu menentang suatu kebijakan yang diajukan oleh kutub lawan tanpa adanya alasan substantif. 

Sehingga jarang sekali polarisasi menghasilkan output berupa diskursus progresif. Kebanyakan perdebatan berakhir pada stalemate karena masing-masing pihak menolak untuk menerima argumen pihak lainnya.

Suatu penelitian oleh Leaf Van Boven, et al. pada tahun 2018 menemukan bahwa mayoritas Republicans di Amerika Serikat setuju bahwa perubahan iklim benar-benar terjadi, tetapi dukungan mereka terhadap kebijakan terkait isu ini menurun secara signifikan ketika diajukan oleh Democrats. 

Ini merupakan bukti nyata bahwa preferensi politik memengaruhi penilaian individu terhadap kebijakan sehingga penilaian tersebut didasarkan pada perasaan partisan dan bukan alasan rasional.

Kebersikerasan dari para partisan tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat umum, tetapi juga di lembaga-lembaga pemerintahan. Kacaunya, sikap seperti ini membuat pembahasan kebijakan tak kunjung usai. 

Tidak ada pihak yang rela membuka pikiran untuk berdiskusi dan berkompromi dengan pihak beraliran politik berbeda. Salah satu kasus konkretnya adalah government shutdown yang kerap terjadi di Amerika Serikat.

Selain kerugian ekonomis yang terjadi karena matinya banyak kegiatan ekonomi selama shutdown, hal ini juga memperparah time lag dalam penerapan kebijakan ekonomi. Ketika kebijakan berhasil ditetapkan oleh pemerintah, situasi perekonomian telah jauh berubah karena proses pembuatan kebijakan yang memakan waktu lama. Kebijakan ekonomi ini pada akhirnya tidak lagi efektif untuk menyelesaikan masalah.

Argumentasi kedua berkaitan dengan kepercayaan masyarakat. Nyatanya, peningkatan polarisasi politik menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi-institusi yang ada di suatu negara (Theiss-Morse, Barton, & Wagner, 2015). Masyarakat cenderung berpikir bahwa institusi dalam negara merupakan alat yang digunakan oleh kutub politik lawan untuk melebarkan kekuasaan. 

Menurut ekonom Alex Tabarrok, sikap skeptis ini membuat perekonomian terjebak ke dalam distrust trap. Masyarakat dengan tingkat kepercayaan buruk cenderung membuat kebijakan yang menghambat pertumbuhan ekonomi dengan adanya lebih banyak korupsi dan peraturan pemerintah yang lebih kaku. 

Masyarakat dengan tingkat kepercayaan rendah terhadap pemerintah seperti di Amerika Latin dan Afrika juga cenderung menghasilkan eksternalitas negatif---pabrik menghasilkan banyak polusi yang dibiarkan begitu saja dan bisnis memperlakukan karyawan dengan buruk (Aghion, Algan, Cahuc, & Shleifer, 2010).

Mari bertukar pikiran

Meskipun perbedaan pandangan yang didasarkan atas argumentasi logis sangatlah baik adanya, polarisasi yang ada sekarang justru didasarkan atas partisanship yang tak jarang bersifat irasional. Solusi dari segala hambatan yang ditimbulkan oleh fenomena ini adalah bagi masyarakat di dua kutub berbeda untuk membuka diri, berkumpul, dan bertukar pikiran. 

Dalam contact hypotheses, psikolog Gordon Allport menyatakan bahwa kontak antara kelompok mayoritas dan minoritas dalam suatu ingroup dapat mengurangi prejudice. Hipotesis ini layak diuji dengan negara sebagai ingroup dan kedua kutub politik sebagai kelompok-kelompok yang akan disatukan.

Irlandia telah menerapkan konsep serupa melalui Citizens' Assembles yang terbukti mampu menghasilkan solusi efektif bagi banyak isu penting. Tidak seperti Oireachtas (badan legislatif Irlandia) yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum dan pengangkatan oleh pemangku kekuasaan tertentu, Citizen's Assembles memilih 99 anggotanya secara acak sebagai representasi masyarakat Irlandia secara umum.  

Solusi seperti carbon tax dan pencabutan subsidi industri gambut untuk mengatasi perubahan iklim didorong oleh diskusi progresif masyarakat yang berasal dari aliran politik berbeda. Tidak menutup kemungkinan Indonesia dapat menerapkan hal serupa untuk mengatasi hambatan yang bersumber dari polarisasi politik.

Kesimpulan

Setelah mengulik sedikit, kita akhirnya menyadari bahwa polarisasi politik di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, telah lama ada dan nampaknya akan selalu ada. 

Secara keseluruhan, polarisasi politik membawa dampak negatif bagi perekonomian dengan menurunkan kinerja pemerintah dalam menyusun kebijakan ekonomi serta mengurangi kepercayaan rakyat terhadap institusi-institusi yang ada di negara. 

Tetapi bukanlah tidak mungkin bagi kita untuk mengubah sisi negatif polarisasi yang keras kepala ini dan mendorong diskursus substantif antara kutub politik yang berbeda. Jika perbedaan dapat membangun, mengapa kita biarkan perbedaan memecah?

Oleh: Tasya Salensia | Ilmu Ekonomi 2019 | Staff Kajian Kanopi FEB UI 2020

Referensi tanpa hyperlink:

Fossati, Diego. (April 15, 2019). Electoral reform and partisan dealignment in Indonesia. International Political Science Review, 41(3), 349---364. California: SAGE Publishing. DOI: 0.1177/0192512119826389

Alesina, Alberto, Armando Miano, and Stefanie Stantcheva. (Forthcoming). The Polarization of Reality. American Economic Review Papers and Proceedings [NBER Working Paper 26675]

Aghion, P., Algan, Y., Cahuc, P.,  & Shleifer, A. (August 2010). Regulation and Distrust. The Quarterly Journal of Economics. Oxford: Oxford University Press. DOI: 10.3386/w14648

Van Boven, L., Ehret, P., Sherman, D. (July 2, 2018). Psychological Barriers to Bipartisan Public Support for Climate Policy. Perspectives on Psychological Science,

13(4), 492---507. California: SAGE Publishing. DOI: 10.1177/1745691617748966

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun