Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Populisme Ekonomi: Sang Bahtera Penyelamat?

3 Juli 2020   17:03 Diperbarui: 3 Juli 2020   17:13 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelip. Sebuah banjir besar menelan seluruh peradaban. Semua manusia menjadi korban, kecuali Nuh dan keluarganya. Bersama para hewan, mereka bertahan di sebuah bahtera besar. Nuh harus menahkodai bahtera tersebut agar selamat sampai air bah surut. Bayangkan, betapa besar ketidakpastian yang dihadapi.

Begitu pula dengan dunia kita sekarang ini. Penuh dengan ketidakpastian. Tidak hanya karena COVID-19, melainkan juga bara api populisme yang semakin membara. Arus yang menghantam sejak 2016 ini mengacak-acak konvensi politik-ekonomi yang dibangun sejak akhir Perang Dingin. Dengan kata lain, the liberal-globalist order is under siege.

Serangan tidak hanya datang dari populisme sayap kanan. Kini, populisme sayap kiri juga memantapkan serangannya terhadap target yang sama. Bahkan, pendirian kedua kubu dalam isu perdagangan internasional bak pinang dibelah dua. Mau bukti? Tengok saja Perang Bubat politik di Amerika Serikat jelang Pemilu 2020.

Donald Trump sebagai petahana dari Partai Republik berdiri di atas rekam jejaknya sebagai tariff man. Sementara Joe Biden sebagai kandidat Partai Demokrat menyatakan bahwa, "You need to organize the world to take on China." Artinya, kedua calon sudah menyuarakan proteksionisme sebagai aspirasi populis.

Bahkan, amalgamasi ini diakui oleh Bapak Populisme Global, Steve Bannon sejak tahun 2018. Mantan White House Chief Strategist ini mengatakan ada sebagian basis massa gerakan progresif kiri yang dibajak arus populisme Trump:

"There's a larger worker base of black, hispanic working class and some of Bernie's [Bernie Sanders'] people that are economic nationalists and they see the benefits."

Lantas, apa yang dimaksud dengan nasionalisme ekonomi atau populisme ekonomi yang diutarakan oleh beliau? 

Riedel (2017:7) menyatakan bahwa populisme ekonomi adalah pengambilan kebijakan ekonomi yang melawan konvensi demi memenuhi hak common people. Sementara Rodrik (2018:196) mendefinisikannya sebagai penolakan terhadap keterbatasan dalam mengambil kebijakan ekonomi. Terakhir, Bourne (dalam cato.org, 2019) menggambarkannya sebagai thin ideology yang melawan kepentingan elit.

Maka, dapat dikatakan bahwa populisme ekonomi adalah ideologi ekonomi yang meniadakan limitasi dan konvensi dalam mengambil kebijakan demi melawan kaum elit serta memenuhi kepentingan common people. Dari definisi ini, tiga karakteristik utama muncul. Apa saja karakteristik tersebut?

Pertama, kebijakan ekonomi diarahkan untuk mencapai kepentingan agregat common people sebagai konstituen utama. Tujuan tersebut datang dalam berbagai bentuk. Ada yang commonsensical seperti drain the swamp atau tax the rich. Namun ada pula yang bombastis seperti build the wall dan free college for all. 

Lantas, siapakah common people itu? Mereka adalah anggota kelas menengah, menengah-bawah, dan bawah yang termasuk sebagai blue-collar workers. Digambarkan sebagai pekerja keras, mereka terjebak dalam degradasi ekonomi karena pemerintah meninggalkan mereka. Ditinggalkan dan dilupakan atas nama kemajuan ekonomi.

Kedua, masalah ekonomi seperti kesenjangan pendapatan, defisit neraca perdagangan, dan capital flight dipandang memiliki win-lose outcome. Konsep trade-off? Buang ke laut! Ideologi ini memandang bahwa common people selalu kalah dalam sistem ekonomi global. Sementara, mereka yang dipanggil elit/establishment terus diuntungkan dan menggerogoti sebagian besar kue ekonomi.

Berbicara soal elit, populisme ekonomi kiri maupun kanan memiliki musuh bersama; perusahaan multinasional. Namun, musuh utama kedua kubu berbeda. Populisme kiri menganggap orang kaya dan perusahaan besar sebagai biang kesenjangan sosial-ekonomi. Sementara populisme kanan mengambil masyarakat luar negeri dan elit politik global sebagai perebut kemakmuran bagi blue-collar workers.

Ketiga, natur ideologinya anti-pasar. Sistem ekonomi pasar bebas, baik domestik maupun global, dianggap melayani kepentingan kaum elit. Sehingga, peran aktif pemerintah sebagai representasi politik common people diperlukan sebagai penyeimbang. Aktivisme ini diwujudkan dalam kebijakan pajak bagi the 1%, tarif impor, restriksi imigrasi, dan lain-lain.

Meski sama-sama intervensionis, pendekatan intervensi yang digunakan populisme ekonomi kiri dan kanan berbeda. Kaum kiri memilih pendekatan redistribusi kekayaan dari the 1% menuju common people. Namun kaum kanan cenderung menggunakan repatriasi modal korporasi untuk mengembalikan lapangan kerja bagi blue-collar workers.

Ketiga karakter ini menimbulkan diskursus di antara pengamat politik-ekonomi. Ada yang mengatakan bahwa populisme ekonomi adalah bahtera penyelamat saat momen krisis. Akan tetapi, ada pula yang mengutuk populisme ekonomi sebagai bumerang terhadap common people. So, let's argue things out.

Mari kita mulai dari sisi pendukung. Ekonom seperti Dani Rodrik menyatakan bahwa populisme ekonomi memberikan kelonggaran lingkup kebijakan ekonomi kepada otoritas politik. Lantas, upaya ini memunculkan kebebasan eksperimentasi saat conventional wisdom tidak bekerja lagi. Dampaknya, perekonomian secara makro bisa diselamatkan dengan cara baru tersebut (Rodrik, 2018:198).

Salah satu contoh nyata adalah kebangkitan Amerika Serikat pasca Depresi Besar 1933. Adanya kebijakan New Deal dari Presiden Franklin D. Roosevelt (FDR) adalah hasil formulasi aspirasi populis akan perluasan pekerjaan sektor publik dan welfare state. Ternyata, formulasi itu bekerja. AS berhasil bangkit dari keterpurukan ekonomi (Rodrik, 2018:199).

Akan tetapi, ekonom seperti Ryan Bourne beranggapan bahwa peniadaan limitasi dan konvensi kebijakan berujung kepada pengambilan keputusan yang berbahaya. Bahaya ini muncul dari efek tidak terduga, kesempatan ekonomi yang hilang, dan trade off sebagai anteseden. Anteseden inilah yang menjadi bumerang bagi kemakmuran common people.

Terlebih lagi, bumerang ini tidak hanya menyerang kemakmuran. Naturnya yang anti-pasar juga melemahkan peran individu sebagai Homo economicus. Spontaneous order sebagai produk aksi individu diganti dengan mekanisme politik pemerintahan yang "mewakili kepentingan mayoritas". Akibatnya, tumpuan keputusan ekonomi berpindah tangan menuju gurita birokrasi (Bourne dalam cato.org, 2019).

Krisis Venezuela 2016 sampai sekarang mencerminkan kondisi ini. Mengapa? Pada tahun 2003, Presiden Venezuela Hugo Chavez memulai sebuah kebijakan besar nan populis bernama Bolivarian Missions. Lantas, sekitar 30 welfare programs diciptakan untuk memberikan bantuan kepada rakyat miskin, konstituen utama Chavismo. Langkah seperti ini terdengar bagus, bukan? Sayangnya, ada satu masalah besar pada bidang pendanaan.

Ternyata, Bolivarian Missions didanai oleh royalti minyak pemerintah Venezuela. Hal ini tidak mengkhawatirkan ketika harga minyak sedang tinggi. Namun, sewaktu harga minyak global turun sejak tahun 2008, penerimaan ini menurun dan pemerintah mulai melakukan deficit financing secara masif. Akibatnya, terjadi hiperinflasi dan krisis ekonomi berkepanjangan yang berujung pada krisis multidimensional sampai saat ini.

Mana yang benar di antara keduanya? Menurut hemat penulis, retorika populisme ekonomi diperlukan dalam jangka pendek. Lebih tepatnya, dia diperlukan sebagai sinyal politik bahwa change is coming. Tetapi, jangan biarkan populisme ekonomi mendasari pengambilan kebijakan ekonomi dalam jangka panjang. Mengapa?

Perlu diakui bahwa pesan populisme ekonomi menyulut semangat masyarakat sebagai subjek politik. Sayangnya, implikasi ideologi ini justru mengancam standar hidup masyarakat itu sendiri. Jadi, kita perlu ideologi ekonomi yang memberikan kontrol kepada common people. Bukan yang menyerahkan kontrol kepada para demagog populis.

Kesimpulannya, populisme ekonomi bukanlah  bahtera penyelamat di kala krisis. Dia adalah bumerang yang perlu dijadikan sinyal perubahan, but not the agenda of change itself. Jika ideologi ini menjadi agenda perubahan, maka common people pasti menjadi yang paling dirugikan. Sementara para demagog populis terus menjual impian palsu.

    Kalau modus ini terus dibiarkan, institusi demokrasi pasti ambyar. Maka dari itu, para pengambil kebijakan ekonomi harus menjadi nahkoda yang faktual dan tahan banting. Sehingga populisme ekonomi bisa ditempatkan sebagaimana mestinya; bungkus retoris yang segera dibuang setelah ruang kemudi bahtera digapai.

REFERENSI

Bourne, Ryan. (2019). Economic Populism on the Left and Right Is Poisoning US Political Discourse. Diakses dari sini. 2 Mei 2020 (21.57).

Rodrik, Dani. (2018). Is Populism Necessarily Bad Economics?. Diakses dari sini. 2 Mei 2020 (21.57).

Riedel, Rafal. (2017). Economic Nationalism and Populism -- Intertwining Relations. Diakses dari sini 2 Mei 2020 (21.57).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun