Melepas belenggu dari ikatan konstitusional baik dalam skala yang major maupun yang minor merupakan bagian dari intuisi humanis setiap orang. Walau proses dan tujuan bervariasi, dapat digeneralisasikan bahwa intuisi manusia menuju kepada kebebasan. Karakteristik humanis tersebut pun tidak luput pada masyarakat ibu pertiwi. Semenjak awal konstitusi demokrasi diciptakan di Indonesia, keinginan untuk mencicipi kebebasan hakiki sudah mengalir.
Pemaknaan dari kata anarki sendiri perlu dipahami sebelum menelisik lebih dalam konsekuensi dari aktivitas tersebut. Terdapat beberapa tafsiran dari kata anarki sendiri, namun secara garis besar, anarki merupakan sebuah situasi di mana pemerintahan tidak menunjukkan keberadaannya baik secara fisik maupun secara intervensi.Â
Praktik aktual dari anarki dapat diobservasi di beberapa pergerakan masyarakat Indonesia belakangan ini. Bagaimanakah bentuk manifestasi dari kekecewaan terhadap pemerintahan dan harapan atas kebebasan masyarakat Indonesia?
Anarki di Ibu Pertiwi
Mei 1998. Bulan ikonik tersebut merupakan semiotika serta aktualisasi dari pemaknaan anarki. Bukan lagi berupa peperangan debat ideologis namun para mahasiswa sebagai katalis masa lampau merasa bumi pertiwi sudah tidak baik-baik saja. Upaya para katalis bangsa di saat itu untuk meruntuhkan rezim yang dianggap merusak pun berhasil, membuat mereka menapakkan kaki di buku sejarah.
Dalam intensitas yang lebih redup, kaum mahasiswa lengkap dengan almamaternya kembali turun ke jalan pada tanggal 24 September tahun ini dengan bekal substansi dan kekecewaan atas lalainya pelaksanaan serta melencengnya peraturan konstitusional yang ditetapkan beberapa badan politis negeri.
Dialektika teoritis dianggap tidak dihiraukan oleh para elit politik serta kegiatan ini dianggap sebagai solusi problematika. Namun, sangat disayangkan bahwa beberapa oknum masyarakat berusaha menunggangi pergerakan serta mengimplementasikan butir-butir tujuan yang sama sekali tidak sesuai dengan substansi yang dibawakan mahasiswa, seperti upaya penggulingan pemerintahan dan bahkan Kepala Negara, Presiden Republik Indonesia.
Namun, seperti asumsi pada umumnya, semua hal yang dilakukan oleh individu maupun kolektif didasarkan pada beberapa rasionalisasi. Apabila betul terjadi penggulingan yang berakhir pada pelepasan naungan pemerintah terhadap negara, apakah ketertiban sosial akan tetap berada di kondisi prima?
Melepas Belenggu Konstitusional
Hal yang perlu dipertimbangkan saat mengeliminasi peran pemerintah pada suatu negara adalah penyediaan hukum yang akan berakhir pada ketertiban sosial.Â
Pada hakikatnya, dalam implementasi kehidupan bernegara sehari-hari, hukum sebagai suatu entitas merupakan barang yang dapat diklasifikasikan sebagai public goods yang berarti hukum bersifat inklusif serta penggunaan seseorang akan barang tersebut tidak mengurangi penggunaan orang lain.Â
Namun, berhubung peran pemerintah dieliminasi dalam anarki, seorang ekonom bernama David. D. Friedman berargumen bahwa sebuah sistem di mana hukum dianggap sebagai private goods dapat bekerja secara optimal walau tanpa campur tangan petinggi politis di atas sana.
Penentuan dan perwujudan ketertiban sosial ditentukan di pasar dengan persetujuan antar institusi dan antar masyarakat merupakan penentu. Di saat hukum dijadikan komoditas, lembaga-lembaga swasta-lah yang bertugas untuk menyediakan proteksi dan menyediakan entitas hukum sendiri. Misal, seseorang dapat mempekerjakan seorang security ataupun institusi hukum yang memproteksi baik dirinya maupun kepemilikannya demi mendapatkan perlindungan secara hukum.Â
Apabila terjadi kesalahpahaman atau pelanggaran hukum oleh salah seorang pelanggan salah satu dari institusi penyedia hukum tersebut terhadap pelanggan lainnya, maka konflik tersebut diselesaikan dengan cara menyewa atau bekerjasama dengan institusi yang bertugas khusus untuk melakukan proses arbitrase.
Komunikasi antar institusi penegak dan penyedia hukum melalui lembaga arbitrase pun dilakukan sehingga dapat menuju kepada keputusan yang menguntungkan kedua pelanggan yang terlibat. Jumlah butiran hukum atau bahkan entitas hukum yang beredar pada masyarakat banyak, menyesuaikan dengan jumlah interaksi antar institusi penyedia hukum.
Anarki ternyata berujung kepada efisiensi. Penegakkan hukum menggunakan sistem pasar secara teoritis dianggap dapat memaksimalkan efisiensi layaknya pasar pada umumnya. Peter T. Leeson menyatakan bahwa dengan adanya pemerintahan, terdapat tiga buah biaya yang timbul namun hanya dua biaya yang signifikan perihal efisiensi pemerintahan. Biaya pertama merupakan biaya berorganisasi atau organizing cost.Â
Biaya ini sendiri merupakan biaya yang harus dikerahkan saat berupaya untuk mengkoordinasi suatu aktivitas yang dilakukan secara kolektif. Organizing cost sendiri dapat didikotomikan lagi menjadi dua jenis: decision making cost dan the external cost of decision making. Dalam penentuan suatu keputusan secara kolektif tentu merupakan biaya baik dalam bentuk waktu dalam hal mencapai suatu kesatuan ideologi maupun biaya secara ekonomis seperti biaya yang dikerahkan dalam upaya mengumpulkan elit politik dalam suatu tempat.Â
Tentu, dalam penentuan keputusan secara kolektif oleh oknum pemerintahan, layaknya segala hal, tidak semua orang dapat dipuaskan oleh keputusan segelintir orang. Kerugian yang dirasakan akibat tidak sesuainya keputusan kolektif dengan keinginan individu termasuk sebagai biaya eksternal (Buchanan & Tullock 1962). Sebagai contoh, aksi demonstrasi mahasiswa pada 23 dan 24 September silam telah membuat investor asing meninggalkan pasar saham Indonesia sebesar Rp 2,77 triliun dalam 5 hari perdagangan.Â
Biaya selanjutnya terlahir dari upaya penegakkan hukum yang dilakukan pemerintah. Biaya yang dikerahkan pemerintah untuk mempekerjakan oknum seperti polisi dan instansi penegak hukum yang lain dapat disebut sebagai biaya variabel yang bersifat fluktuatif tergantung pada beberapa faktor.Â
Salah satu faktor fundamental yang mempengaruhi besaran biaya penegakan hukum adalah jumlah penduduk. Biaya yang perlu dikerahkan untuk menegakkan hukum di suatu kota dengan populasi sebanyak 10.000 orang tentu akan lebih besar dibandingkan dengan biaya yang perlu dikerahkan pada desa yang berpopulasi 100 manusia.Â
Selain itu, biaya penegakkan hukum akan bergantung pada frekuensi adanya konflik. Heterogenitas suatu masyarakat berperan penting dalam menentukan frekuensi terjadinya konflik. Semakin terdiversifikasinya suatu masyarakat (baik dalam hal etnis, agama, ataupun budaya), frekuensi terjadinya konflik atau perpecahan akan semakin tinggi dan alhasil jumlah biaya penegakan hukum yang perlu dikerahkan pun ikut menjulang (Alesina et al., 2003).Â
Bukti yang kerap diutarakan para ekonom yang mendorong konsep anarki dan ketidakberadaan pemerintah adalah situasi beberapa masyarakat yang bertahan lama tanpa adanya pemerintahan yang solid. Kelompok masyarakat seperti kelompok Tiv di Afrika yang beranggotakan lebih dari satu juta manusia dapat bertahan lama menggunakan konsep anarki tanpa campur tangan pemerintahan perihal penyediaan hukum.Â
Dalam konteks global yang lebih major, persatuan negara-negara di sekujur dunia tidak memiliki satu konstitusi yang berperan sebagai pemerintahan yang berhak untuk memaksa maupun menentukan peraturan serta hukum yang berlaku. Keteraturan antar negara dengan menganut konsep "international anarchy" ini pun berhasil dengan cara berkomunikasi dan berinteraksi antar anggota demi menciptakan ketertiban.
Asumsi pasar dan privatisasi hukum sebagai komoditas merupakan konsep yang dianggap lebih efisien dan praktikal secara ekonomis oleh beberapa mazhab revolusioner. Namun, tentu terdapat pula rasionalisasi tersendiri atas besarnya peran pemerintah dalam menyediakan hukum sebagai barang publik. Benarkan asumsi efisiensi anarki? Atau perlukah kita menerima cengkraman hangat pemerintahan?
Lepas Belenggu Konstitusional, Idealkah?
Konflik antar ideologi dalam bentuk dialektika intelektual terjadi antar sesama ekonom terkait topik ini. Tyler Cowen berpendapat sebaliknya dari beberapa ekonom yang pemikirannya telah tertera diatas dan percaya bahwa peran pemerintah dalam melakukan intervensi perihal penyediaan serta penegakkan hukum sangatlah vital dan dibutuhkan. Perihal argumen mengenai penyediaan hukum sebagai komoditas layaknya di sistem pasar, Tyler mengkhawatirkan akan menonjolnya tendensi industri yang keji -- kolusi dan monopoli.
Berawal dari kesalahpahaman antar konsumen institusi penyedia hukum yang seharusnya dapat diselesaikan dengan proses arbitrase dan persetujuan, berbedanya butiran hukum yang dirancang oleh kedua institusi hukum tersebut ternyata juga mempersulit keadaan.
Problematika mulai bermunculan di saat dua pihak yang terlibat dalam tindak kriminal tersebut mempekerjakan institusi hukum yang berbeda serta memiliki butiran hukum yang berbeda. Upaya penyelesaian konflik dapat beragam bahkan secara teoritis bisa di bawa ke medan perang. Namun, berkaitan dengan tingginya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan peperangan, upaya negosiasi-lah yang akan digencarkan apabila problematika seperti ini bermunculan.
Upaya arbitrase dengan mempekerjakan institusi yang terspesialisasi dibidang tersebut merupakan solusi yang disuguhkan oleh ekonom pro-anarki. Namun, kerjasama dan interaksi antar sesama institusi arbitrase akan terjadi demi mewujudkan suatu sistem legal yang terunifikasi sehingga hanya terdapat satu sistem hukum yang berlaku.
Kolusi dan persatuan antar institusi arbitrase-lah yang disebut sebagai "arbitration network". Jejaring arbitrase ini memonopoli pasar dan bertindak sebagai oknum arbitrase final yang menentukan penyelesaian konflik. Tentu, lain dengan pemerintah, jejaring arbitrase ini merupakan perkumpulan kolektif beberapa institusi yang tujuan utamanya masih memenuhi ketamakan mereka akan laba maksimal.
Tendensi untuk berkolusi serta menciptakan monopoli pun bisa terjadi pada tingkat institusi atau agen penyedia proteksi hukum. Beberapa agensi penyedia proteksi hukum memiliki insentif untuk berkolusi serta bekerja sama untuk menciptakan laba maksimal dengan cara melakukan kerjasama serta persetujuan penyelesaian konflik.
Pengejewantahan dari monopoli proteksi hukum merupakan teori "Ultraminimal State" yang dikemukakan oleh Nozick di mana jaringan yang merupakan perserikatan agensi menguasai pasar dan berwenang untuk meyediakan proteksi dan penegakkan hukum dengan kekuatan monopoli yang telah dikumpulkan. Agensi dominan yang berkuasa dengan kekuatan monopoli di sini bisa berjumlah satu institusi ataupun beberapa institusi yang berkolusi serta menciptakan oligarki.
Agen-agen yang berukuran kecil yang berkeinginan untuk berkompetisi dengan jejaring oligarki agensi tersebut tidak diperbolehkan karena wewenang yang dimiliki ultraminimal state untuk menghalangi terjadinya hal tersebut. Namun, apabila agensi tersebut rela untuk berserah diri pada peraturan konstitusional yang telah ditetapkan oleh perserikatan agensi, maka agensi tersebut dapat bergabung.
Kekuatan monopoli yang digenggam oleh satu ataupun perkumpulan institusi di dalam jejaring tersebut memiliki tendensi untuk luber dan membahayakan sektor ekonomi lain di saat kekuatan mereka sudah dianggap mumpuni. Pengusaha independen yang sama sekali tidak terikat dengan negarapun dapat terancam tidak mendapatkan proteksi hukum apabila tidak mengabdi kepada kebesaran konstitusional agensi hukum.
Untuk bebas atau diatur merupakan romantika terlarang yang telah timbul semenjak awal penelisikan akan pemikiran filosofis manusia terlaksana. Perihal konsiderasi pertukaran antara kebebasan dari belenggu dan efisiensi dengan tendensi ketamakan instansi, tergantung preferensi individu. Pada akhirnya pertanyaan yang perlu dijawab adalah, signifikankah rasa muak atas belenggu konstitusional yang kita rasakan? Ataukah justru ketergantungan akan balutan hangat ketertiban negara menguasai?
Oleh Muhammad Faisal Harits | Ilmu Ekonomi 2018 | Staff Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2019
Referensi tanpa hyperlink.
- Cowen, T. (1992). Law as a Public Good: The Economics of Anarchy. Economics and Philosophy, 8(2), 249--267. doi: 10.1017/s0266267100003060
- Friedman, D. D. (1994). Law as a Private Good: A Response to Tyler Cowen on the Economics of Anarchy. Economics and Philosophy, 10(2), 319--327. doi: 10.1017/s0266267100004788
- Leeson, P. T. (n.d.). Efficient Anarchy*. Anarchy Unbound, 155--169. doi: 10.1017/cbo9781139198813.012
- Ralston, W. (2018, October 7). Anarchy in the GDR. Retrieved from https://www.thenation.com/article/anarchy-in-the-gdr/.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H