Lepas Belenggu Konstitusional, Idealkah?
Konflik antar ideologi dalam bentuk dialektika intelektual terjadi antar sesama ekonom terkait topik ini. Tyler Cowen berpendapat sebaliknya dari beberapa ekonom yang pemikirannya telah tertera diatas dan percaya bahwa peran pemerintah dalam melakukan intervensi perihal penyediaan serta penegakkan hukum sangatlah vital dan dibutuhkan. Perihal argumen mengenai penyediaan hukum sebagai komoditas layaknya di sistem pasar, Tyler mengkhawatirkan akan menonjolnya tendensi industri yang keji -- kolusi dan monopoli.
Berawal dari kesalahpahaman antar konsumen institusi penyedia hukum yang seharusnya dapat diselesaikan dengan proses arbitrase dan persetujuan, berbedanya butiran hukum yang dirancang oleh kedua institusi hukum tersebut ternyata juga mempersulit keadaan.
Problematika mulai bermunculan di saat dua pihak yang terlibat dalam tindak kriminal tersebut mempekerjakan institusi hukum yang berbeda serta memiliki butiran hukum yang berbeda. Upaya penyelesaian konflik dapat beragam bahkan secara teoritis bisa di bawa ke medan perang. Namun, berkaitan dengan tingginya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan peperangan, upaya negosiasi-lah yang akan digencarkan apabila problematika seperti ini bermunculan.
Upaya arbitrase dengan mempekerjakan institusi yang terspesialisasi dibidang tersebut merupakan solusi yang disuguhkan oleh ekonom pro-anarki. Namun, kerjasama dan interaksi antar sesama institusi arbitrase akan terjadi demi mewujudkan suatu sistem legal yang terunifikasi sehingga hanya terdapat satu sistem hukum yang berlaku.
Kolusi dan persatuan antar institusi arbitrase-lah yang disebut sebagai "arbitration network". Jejaring arbitrase ini memonopoli pasar dan bertindak sebagai oknum arbitrase final yang menentukan penyelesaian konflik. Tentu, lain dengan pemerintah, jejaring arbitrase ini merupakan perkumpulan kolektif beberapa institusi yang tujuan utamanya masih memenuhi ketamakan mereka akan laba maksimal.
Tendensi untuk berkolusi serta menciptakan monopoli pun bisa terjadi pada tingkat institusi atau agen penyedia proteksi hukum. Beberapa agensi penyedia proteksi hukum memiliki insentif untuk berkolusi serta bekerja sama untuk menciptakan laba maksimal dengan cara melakukan kerjasama serta persetujuan penyelesaian konflik.
Pengejewantahan dari monopoli proteksi hukum merupakan teori "Ultraminimal State" yang dikemukakan oleh Nozick di mana jaringan yang merupakan perserikatan agensi menguasai pasar dan berwenang untuk meyediakan proteksi dan penegakkan hukum dengan kekuatan monopoli yang telah dikumpulkan. Agensi dominan yang berkuasa dengan kekuatan monopoli di sini bisa berjumlah satu institusi ataupun beberapa institusi yang berkolusi serta menciptakan oligarki.
Agen-agen yang berukuran kecil yang berkeinginan untuk berkompetisi dengan jejaring oligarki agensi tersebut tidak diperbolehkan karena wewenang yang dimiliki ultraminimal state untuk menghalangi terjadinya hal tersebut. Namun, apabila agensi tersebut rela untuk berserah diri pada peraturan konstitusional yang telah ditetapkan oleh perserikatan agensi, maka agensi tersebut dapat bergabung.
Kekuatan monopoli yang digenggam oleh satu ataupun perkumpulan institusi di dalam jejaring tersebut memiliki tendensi untuk luber dan membahayakan sektor ekonomi lain di saat kekuatan mereka sudah dianggap mumpuni. Pengusaha independen yang sama sekali tidak terikat dengan negarapun dapat terancam tidak mendapatkan proteksi hukum apabila tidak mengabdi kepada kebesaran konstitusional agensi hukum.
Untuk bebas atau diatur merupakan romantika terlarang yang telah timbul semenjak awal penelisikan akan pemikiran filosofis manusia terlaksana. Perihal konsiderasi pertukaran antara kebebasan dari belenggu dan efisiensi dengan tendensi ketamakan instansi, tergantung preferensi individu. Pada akhirnya pertanyaan yang perlu dijawab adalah, signifikankah rasa muak atas belenggu konstitusional yang kita rasakan? Ataukah justru ketergantungan akan balutan hangat ketertiban negara menguasai?
Oleh Muhammad Faisal Harits | Ilmu Ekonomi 2018 | Staff Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2019