Selain itu, suara mereka dalam dunia akademik pun menjadi lebih senyap, sebab mereka diwakili secara tidak adil. Oleh sebab itu, ada perlunya untuk tindakan inklusif di perguruan tinggi terhadap mereka dari status sosio ekonomi rendah, walaupun mereka belum tentu yang paling pintar.
Perlunya Penelitian dan Perubahan
Patut diakui bahwa klaim "kondisi sosial ekonomi mempengaruhi kesuksesan anak dalam ujian masuk tertulis" didasarkan premis yang berasal dari penelitian di luar negeri.Â
Untuk Indonesia, bagaimana hubungan tersebut muncul, dan seberapa kuat, belum terlihat sebab sedikitnya data yang tersedia secara publik dan sedikitnya penelitian mengenai hal tersebut. Selain itu, sistem seleksi masuk perguruan tinggi di Indonesia cukup berbeda dengan kasus-kasus di atas.Â
Berhubung kuota masuk melalui ujian tertulis cukup besar (70% dari jalur reguler), penelitian lebih lanjut mengenai apakah semua orang dari semua lapisan dapat memiliki kesempatan yang sama melalui jalur SBMPTN sangat penting.
Jika ternyata ada bukti bahwa hubungan tersebut memang ada, maka sistem yang ada perlu direformasi untuk mengurangi kesenjangan kesempatan yang dimiliki oleh siswa dari kalangan SES rendah.Â
Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah memberikan bimbingan persiapan yang dapat diakses oleh semua, seperti yang dicapai kerjasama antara The College Board dan Khan Academy untuk SAT. Lalu, memberi bantuan lebih kepada mereka, seperti memperbaiki mutu sekolah atau memberikan transfer uang kondisional seperti KIP, dapat menambal kepincangan yang mereka pegang.Â
Terakhir, kebijakan penerimaan afirmatif, di Indonesia dimanifestasikan dalam bentuk jalur undangan (SNMPTN), dapat dimanfaatkan untuk mengangkat dan melibatkan mereka. Alih-alih memilih siswa berlatar belakang baik dari sekolah favorit, sistem SNMPTN sebaiknya sebaiknya digunakan untuk memilih sebanyak mungkin mereka dari daerah 3T atau kondisi sosio ekonomi rentan.
Kesimpulan
Tiap mahasiswa yang lulus ujian tertulis, seperti SBMPTN, mungkin percaya bahwa mereka mencapai hal tersebut berkat kemampuan dan kemauan mereka saja. Namun, latar belakang, terutama penghasilan orang tua, tidak bisa dilepaskan dari kesuksesan mereka.Â
Para orang tua "mewariskan" kelebihan yang mereka pegang lewat hal yang jelas seperti bimbingan belajar ataupun lewat hal yang lebih halus seperti perawatan anak. Akibatnya, sistem meritokrasi yang buta terhadap latar belakang ini secara sistematis mengabaikan siswa dari kalangan sosio ekonomi rendah, merugikan mereka dan juga negara.Â