Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pertarungan Si Elang dan Si Naga di Perang Dagang Internasional

27 April 2018   19:19 Diperbarui: 28 April 2018   09:04 2285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah bukan rahasia lagi, bahwa Amerika Serikat (AS) merupakan negara adidaya yang memiliki kekuatan besar di perekonomian global. Hegemoni AS di pasar global membuat banyak negara di dunia bergantung terhadap kondisi perekonomiannya. Maka dari itu, serangkaian kebijakan yang dilakukan pemerintah AS berpengaruh besar bagi perekonomian negara-negara lain di hampir seluruh dunia, khususnya yang memiliki ketergantungan tinggi dengan AS.

Terpilihnya presiden baru Amerika Serikat, Donald Trump, tahun 2017 silam telah membuat gaya baru dalam sikap AS di perdagangan internasional. Negara Paman Sam tersebut seringkali mengeluarkan berbagai kebijakan yang kontroversional dengan dalih untuk melindungi negaranya. 

Gaya Trump yang sangat berbeda dengan gaya kepemimpinan presiden AS sebelumnya, membuat AS dianggap bukan lagi negara yang mendukung perdagangan bebas. Tindakan proteksionisme yang dilakukan oleh Trump tidak hanya mengganggu perekonomian global, melainkan juga dapat menghancurkan impian perdagagangan bebas global di masa depan.

Tindakan proteksionisme AS yang masih hangat adalah rencana kebijakan tarif impor baja dan alumunium yang membuat geram negara-negara lain. Salah satu negara yang sangat geram dan terganggu adalah Tiongkok. Negara yang perekonomiannya saat ini tengah tumbuh pesat merasakan dampak yang begitu besar akibat kebijakan AS tersebut. Kegeraman Tiongkok dinilai oleh para pelaku ekonomi dapat menggiring tindakan balasan bagi Tiongkok untuk menyentil AS. 

Para ekonom menilai bahwa apabila Tiongkok membalas tindakan nakal AS tersebut, dapat semakin memperparah ketidakstabilan perekonomian global, ditengah berbagai permasalahan global lainnya. Lalu mengapa Tiongkok merupakan lawan yang seimbang bagi AS dalam perang dagang ini? Bagaimana dampak perang dagang ini terhadap kestabilan perekonomian dunia dan impian perdagangan bebas di masa depan? Di sisi lain adakah solusi untuk mengatasi perang dagang ini?

Menilik Perekonomian Tiongkok

Republik Rakyat Tiongkok atau Tiongkok merupakan negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi pesat semenjak tahun 1970an. Terbukti dari data World Bank, pertumbuhan rata-rata ekonomi Tiongkok selama 56 tahun hingga tahun 2016 sebesar 8,25 persen. 

Keberhasilan Tiongkok memanfaatkan sumber daya manusia yang dimiliki dan agresifnya pembangunan di negeri tirai bambu tersebut telah mendorong negara ini menjadi pesaing terberat AS dalam perekonomian dunia. Menurut Wang Huisheng, Chairman State Development and Investment Corporation (SDIC), kemajuan Tiongkok didorong oleh tiga kunci pembangunan Tiongkok, yaitu : 1) Visi dan perencanaan pembangunan jangka panjang yang solid melalui program rencana pembangunan lima tahun yang berkesinambungan

2) Menerapkan strategi pengembangan pengetahuan dasar; 3) Adanya birokrasi yang kuat dan efektif yang dimotori oleh Partai Komunis China (PKC) sebagai partai yang berkuasa. Kemajuan Tiongkok juga dilatarbelakangi oleh produktivitas sumber daya manusia yang berakar pada nilai-nilai dasar bangsa Tiongkok dan sejarah kemajuan peradaban Tiongkok di masa lampau.

Pertumbuhan perekonomian Tiongkok yang pesat bahkan membuat Tiongkok diprediksi menjadi negara perekonomian terbesar di dunia mengalahi AS pada tahun 2030. Hal ini tentu saja membuat geram presiden AS saat ini yang tidak ingin eksistensi negaranya dikalahkan oleh negara miskin pada era perang dunia silam. Terlebih tindakan berani Trump untuk membuat perekonomiannya kembali bertumbuh pesat, sangat berdampak besar bagi ekonomi Tiongkok.

Skema Perang Dagang yang Terjadi

Skema perang dagang antara dua negara diawali oleh adanya pengumuman AS untuk mengenakan tarif impor 25% untuk produk baja dan 10% untuk alumunium dari sejumlah negara, termasuk Tiongkok, yang merupakan produsen baja terbesar di dunia. Meskipun berdasarkan data International Trade Administration, Tiongkok tidak termasuk dalam 10 besar negara pengekspor terbesar baja ke AS. 

Namun, persentase nilai ekspor baja terhadap total ekspor Tiongkok cukup besar yaitu sebesar 0.5 persen. Sehingga kebijakan tarif impor baja dan alumunium oleh AS cukup berpengaruh terhadap penurunan nilai ekspor Tiongkok.

Pemerintahan yang beribukota di Beijing ini pun membalas dengan mengenakan tarif impor tambahan sebesar 15 persen bagi 128 jenis produk yang berasal dari negara Paman Sam, dengan nilai total sebesar 3 mililar dollar AS. Hal ini tentu saja dapat berakibat pada penurunan ekspor dan peningkatan defisit perdagangan internasional AS. 

Selain itu, Tiongkok juga berencana menetapkan tarif impor tambahan bagi sorgum, kacang kedelai, dan daging babi asal AS. Dimana Tiongkok merupakan negara pengonsumsi daging babi terbesar di dunia, dengan jumlah konsumsi mencapai 735.100.000 daging babi pada tahun 2014. 

Penetapan tarif impor tambahan bagi produk asal AS membuat pemerintahan Paman Sam tersebut berencana memukul balik dengan memberikan tarif bagi produk-produk teknologi asal Tiongkok. Tarif impor yang dikenakan Trump terhadap produk-produk teknologi kali ini berbeda dari sebelumnya karena secara spesifik membidik Tiongkok, bukan negara-negara lain seperti halnya impor baja dan aluminium. 

Langkah tersebut diambil setelah pemerintah AS melakukan investigasi terkait dugaan pencurian kekayaan intelektual AS yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok. Jika langkah ini diterapkan maka akan memukul Tiongkok lebih dalam. Hal ini disebabkan total impor produk mesin dan elektronik dari Tiongkok sebesar 48 persen dari total impor AS terhadap Tiongkok (World Bank).

Bagaimana Ekonomi Memandang Tarif Impor Dalam Teori Perdagangan Internasional

Adanya perdagangan bebas internasional mampu menciptakan economies of scale, sehingga mampu menciptakan efisiensi yang tinggi. Jika merujuk teori perdagangan internasional, adanya tarif dapat mendorong peningkatan harga di negara pengimpor dan penurunan harga di negara pengekspor. Ketidakseimbangan ini berdampak menurunnya volume perdagangan internasional. Maka dari itu, kebijakan tarif impor dapat mengagalkan efisiensi yang ingin dicapai dari perdagangan bebas internasional.

Dampak Negatif Perang Dagang 

Perang dagang yang melibatkan dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia, menimbulkan dampak negatif baik bagi kedua negara maupun bagi perekonomian global. Bagi kedua negara, adanya tarif yang dikenakan oleh kedua negara juga dapat mendorong naiknya sejumlah harga produk-produk asal kedua negara, sehingga menurunkan ekspor dan meningkatkan defisit neraca perdagangan negara yang dikenakan tarif. 

Sementara bagi perekonomian global, hal tersebut dapat berakibat turunnya permintaan global, karena kedua negara memiliki nilai perdagangan internasional sangat besar, mencapai US$ 7.395 miliar. Sehingga hal ini tentu dapat mendatangkan sentimen negatif terhadap pertumbuhan ekonomi global.

Lebih jauh lagi jika kebijakan perang dagang ini tidak segera diatasi, dapat menghancurkan impian untuk menciptakan pasar bebas yang kompetitif di tingkat global. Berbagai perjanjian perdagangan bebas internasional, seperti APEC atau WTO dapat gagal terwujud akibat adanya kebijakan tarif yang tidak sesuai dengan hukum perdagangan bebas global. Selain itu, kebijakan perang dagang dapat memanaskan hubungan politik kedua negara yang memiliki perbedaan ideologi tersebut. 

Bagi Indonesia sendiri, meskipun tidak menimbulkan dampak langsung, namun adanya perang dagang tetap menimbulkan dampak tidak langsung. Seperti dapat menurunkan nilai ekspor Indonesia akibat melesunya perekonomian mereka. Hal ini disebabkan ketergantungan ekspor yang tinggi oleh Indonesia dari dua negara tersebut. 

Selain itu, pertarungan dua negara besar ini juga dapat menimbulkan membanjirnya produk-produk impor Tiongkok ke Indonesia, sebagai dampak dari penstabilan nilai ekspor Tiongkok karena hilangnya sejumlah permintaan dari AS. Penurunan ekspor dan peningkatan impor ini dapat melemahkan nilai tukar rupiah.

Solusi Bagi Kedua Belah Pihak

Dengan penguasaan hampir 40 persen dari persen GDP Dunia, konsultasi dan negosiasi perlu dilakukan sesegera mungkin oleh AS dan Tiongkok, untuk mencegah timbulnya berbagai dampak negatif yang dikhawatirkan dapat terjadi. 

Sebenarnya Tiongkok sendiri telah menegaskan niatnya untuk menyelesaikan isu dagang dengan Amerika Serikat. Pintu negosiasi pun dibuka agar kemarahan Amerika Serikat akan defisit neraca perdagangan mereka dan tudingan pencurian hak kekayaan intelektual bisa mereda. 

Juru Bicara Kemenlu Tiongkok, Hua Chunying (28/3) menyatakan, perundingan perdagangan harus didasari oleh sikap saling menghargai. Keterbukaan diantara dua negara diperlukan untuk bisa meredam potensi kekacauan akibat perang dagang. Hal ini mengingat kerugian yang ditimbulkan akibat perang dagang tersebut tidaklah sedikit. Bukan hanya bagi perekonomian kedua negara tersebut, tetapi juga kepada perekonomian global.

Kesimpulan  

Serangkaian kebijakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat untuk membangkitkan kembali gelora perekonomiannya, telah menimbulkan beberapa gangguan terhadap ekonomi global. Salah satu kebijakan tersebut adalah tarif impor baja sebagai bentuk kebijakan proteksionisme yang dilakukan oleh pemerintahan AS yang baru. Kebijakan ini juga mengundang amarah bagi kompetitor AS, yaitu Tiongkok. 

Negara yang merupakan produsen baja terbesar di dunia tersebut lantas membalas tindakan AS tersebut. Pukulan balik tersebut menandai ditabuhnya genderang perang dagang antara dua negara adidaya tersebut.

Adanya perang dagang dalam bentuk tarif di kedua negara telah menimbulkan banyak kerugian dan kekhawatiran di masyarakat global, termasuk Indonesia. Dampaknya adalah mendorong naiknya harga-harga produk asal kedua negara serta melambatnya pertumbuhan ekonomi global. 

Lebih jauh lagi, adanya perang dagang tersebut dapat memancing konflik politik yang dapat merugikan kedua negara, serta menggagalkan impian terwujudnya kerjasama pasar bebas internasional. Bagi Indonesia sendiri, dapat menurunkan net ekspor dan melemahkan nilai tukar Rupiah. Maka dari itu, perlu adanya konsultasi dan negosiasi kedua belah pihak untuk mencegah kerugian yang lebih besar akibat adanya perang dagang tersebut.  

Oleh Putra Yudhatama - Ilmu Ekonomi 2017 - Staf Kajian KANOPI FEB UI 2018

 

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun