Mohon tunggu...
kania ditarora
kania ditarora Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pengajar di madrasah swasta

Menulis adalah sebuah implementasi mencintai diri sendiri, sesama, dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yanda

7 Juli 2023   21:28 Diperbarui: 7 Juli 2023   21:42 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:  @Smoker/Pinterest

Kubereskan tumpukan kertas yang berserakan. Savin, anak semata wayangku memang suka berfantasi dengan kertas. Meski usianya mau genap 11 tahun kebiasaan sejak Paud bermain dengan kertas masih berlanjut.

Kutengok Mama di kamar dengan maksud pamitan. Ia sedang melipat tumpukan baju. "Ma!,"aku berangkat dulu, bekas mainan Savin sudah kuberesin." Memberi tahu Mama yang hanya menoleh sekilas. Sempat kulihat Mama gelengkan kepala menatap punggungku yang buru-buru keluar kamar.

"Hati-hati,Nduk!" Terdengar teriakan Mama menggema sampai luar. Kuhidupkan motor Vario warna merah yang selama ini menjadi teman setia ke tempat kerja. Lokasi tempatku kerja sebuah toko ritel di ibu kota kabupaten berjarak lebih kurang 7 Km dari rumah.

Sebagai single parent aku memilih shift siang agar aku dapat bantu-bantu Mama di rumah. Beruntung Bosku longgar mengatur jam kerja dengan catatan tetap komitmen dan disiplin. Di toko aku bekerja sebagai penyortir barang-barang yang ada di gudang lantas melaporkan ke bagian supervisor jika tak sesuai dengan nota yang tertera.

Setelah dirasa pekerjaanku sedikit lowong, aku biasanya swafoto lantas mengupload ke media sosial. Beberapa kali dipergoki rekan kerjaku membuatku jadi salah tingkah. Sebelum memposting foto tak lupa menulis caption penyemangat diri.

"Amboi, Selfi melulu, mentang-mentang, kerjaanmu sudah luang begini"goda rekan kerjaku yang biasa kupanggil, Nala. "Hihi, biasalah,"hibur diri sendiri jawabku sekenanya.
"Eh ngomong-ngomong, kuperhatikan, kamu sering senyum-senyum sendiri depan HP sebulan belakangan ini, Mel,"Nala mendekatiku dengan senyum mengembang.
"Aih, kepo kamu, Nala,"menimpuk boks baju sembarangan, mengalihkan pertanyaan,Nala.
"Nggak usah pura-pura, Mel, meski kamu berusaha berbohong, aku sudah tahu kok, kamu sedang second puberty,"Nala makin nyerocos meminta kepastian.

Sejak biduk rumah tanggaku terempas batu karang dan karam.  Aku menutup rapat-rapat hatiku untuk lelaki. Banyak yang coba mendekati. Dari sekadar menggodaku, pdkt, bahkan sampai mengajakku menikah, termasuk juga mantan suamiku. Namun aku bergeming, mengabaikannya. Trauma kdrt masih membekas dan jadi alasanku masih sendiri.

Memang menurut teman-temanku wajahku mirip Marsha Timoty aktris, istri dari aktor Vino Bastian. Sehingga rekan-rekan kerjaku yang cewek terkadang sering menggodaku, terutama si Nala yang suka gemas mencubit pipiku.

"Cobalah kamu buka hatimu, nggak semua lelaki seperti mantan suamimu yang kasaran,"seperti biasa, Nala menceramahiku.
"Aku lebih nyaman sendiri untuk saat ini, Nala"
"Aku harus kuat, sabar, dan semangat," menyemangati diri.

Selain itu Savinlah yang membuatku kuat. Aku berusaha menjadi ibu sekaligus ayah yang baik baginya. Meski harus kuakui status janda muda tidaklah mudah. Stigma negatif dari sebagian orang terhadap seorang janda jadi pendorongku untuk bertumbuh jadi pribadi yang lebih baik.

***

Hari itu sebelum pulang, seperti biasa aku swafoto dengan latar belakang tempat kerja. Mengepostkannya ke media sosial dengan caption "bertahan sendiri adalah kebijaksanaan atas ketidaknyamanan bersama".

Usai mengecek ulang satu dua nota terakhir, memastikan semua beres--aku langsung meluncur pulang. Beberapa menit jelang Isya aku memasuki pekarangan rumah.

"Ma, Savin,"pergi ngaji kan?"memastikan anakku ngaji di Mushalla kampung.
"Ngaji, Nduk, tadi sebelum berangkat kuingatkan untuk lekas pulang jika pengajian usai"

Sambil menunggu Savin, kubuka ponselku.  Beberapa notifikasi masuk di akun media sosialku. Kuabaikan saja beberapa komen dari teman media sosial yang memang kukenal secara langsung. Satu komen yang tak kukenal "Buat apa bertahan sendiri? Sebab sendiri adalah kerawanan dan bersama adalah kekuatan"  

Kucermati komennya lantas mengecek profil untuk memastikan akun abal-abal dan tidak. "Aman, akun ini ada pemiliknya dan aktif" menggumam sendiri.
Sejak saat itu ia semakin intens mengomentari statusku dan menginbokku via messenger.

Semula aku balas sekenanya sesuai topik komentar. Namun entah mengapa dengan orang ini, hatiku yang sekian tahun kututup, akhirnya kubuka pelan-pelan. Setiap kali ngobrol baik melalui telepon atau pesan aku merasa nyaman dan tak canggung lagi. Akhirnya nomor whatsapp pun kuberitahu.

Hari demi hari berlalu  ia minta bercerita tentang diri masing-masing. Mulai dari makanan, hobi, maupun warna kesukaan tak luput dari obrolan. Kuceritakan diriku hanya janda penikmat puisi yang kebetulan ketika SMA masuk dalam manajamen penerbitan Buletin sastra. Ketika ia bertanya mengapa aku menyukai puisi.

Sampai ketika ia mulai meneleponku atau video call, aku makin percaya ia serius. Dari VC pertama kuketahui ia seorang penulis dan berasal dari pulau seberang.

Malam Minggu pertama bulan Juli ia mengirim pesan sedikit panjang via WA;
"Izinkan aku memulai hubungan kita, menyebut namamu dengan panggilan khusus, yaitu,'Yinda'."

Tak serta merta kubalas pesannya. "Apakah kata 'Yinda' merupakan bahasa daerah?"Membalas pesannya setelah Savin tertidur.
"Yinda, itu maksudnya,
Yakin adalah pengakuan
Intisari dari  hubungan
Nirmala cinta
Dari kita yang dilema
Antara menerima dan melepaskan"

"Kalau begitu aku memanggilmu dengan kata,'Yanda'" membalas pesannya disertai emoticon tertawa.
"Dari mana kamu dapat kata 'Yanda'?,"renyah tawannya terdengar ketika ia meneleponku. "Spontanitas saja membalas sebutan 'yanda,'' kamu tahu maksud kata, 'Yanda'?" sembari kuketik pesan via WA. "Sebentar lagi kukirim, maksud dari kata 'Yanda'."kataku menutup obrolan.

Kubrowsing di internet mencari beberapa penyair dan penulis muda yang sering kujadikan caption di media sosial. Memilah milihnya, lantas merangkainya biar membentuk kata 'Yanda'.

"Maksud kata 'Yanda' itu;
Yakin itu kesejatian diri
Atas orang yang percaya cinta
Namun mengerti sebuah percaya
Dasar ikatan hubungan
Agar rasa kinasih kian padu"
mengiriminya pesan WA disertai emoticon pusing.

Mulai malam itu, ia resmi kupanggil 'Yanda'.  Dan malam-malam selanjutnya tak ada malam kecuali mengobrol dengannya.

"Aku cari waktu, kita ketemuan,"ujarnya di seberang sana, saat ia meneleponku. "Tepatnya,kapan?"meminta kepastian. "Tiga kali aku ke kotamu, sedikit tahu beberapa tempat yang pas untuk ketemuan, kebetulan ada kenalan juga"
Ia akan mengabariku dalam waktu dekat jika waktu dan tempatnya sudah oke.

***

Sabtu siang itu, cuacanya cukup cerah. Beberapa hari sebelumnya langit murung dipeluk mendung. Kumasuki gudang tempat barang-barang toko yang baru diturunkan dari truk.

"Dapat cerita, dari Bos, kamu izin pulang selepas Asyar,"tiba-tiba Nala berlagak seperti seorang penyidik. Temanku yang satu ini keponya kebangetan.

Di tempat kerjaku setiap ada yang izin, Bos akan melakukan rotasi, menempatkan orang lain sebagai pengganti.
"Hehh, tahulah, Narti yang memberitahuku, katanya ia akan menggantikan posisimu nanti,"meneruskan kalimatnya, santai.

Tiba-tiba ponsel yang belum sempat kumasukin ke saku celana bergetar. Ada panggilan masuk, tangan Nala yang lebih dekat dengan posisi ponselku terlebih dahulu menyambar.

"Hahh, dari Yanda,"serunya sambil menahan napasnya, pura-pura kaget. Tanpa banyak kata segera kurebut hp, lantas memencet tombol terima.

"Cie-cie, Yanda nama cowok itu, Mel, nama yang keren,"Nala semakin semangat menggodaku.

Beruntung Nala tak curiga dengan kepulanganku yang lebih awal dari biasanya. Itu karena kami memang kerap kali rotasi posisi bila ada acara mendadak.

Sesuai petunjuk darinya aku harus tiba di kota Kabupaten sebelum pukul 17.00. Katanya ia telah memesan tempat--sebuah kafe yang 3 bulan lalu dibuka. Aku tidak tahu nama kafe itu, namun alamatnya kuketahui.

Setelah tiba segera kutelepon Yanda. "Di sebelah kanan jalan dekat SPBU, kutunggu di meja nomor 4, dekat kasir, "suara di seberang memberi petunjuk.

Kuarahkan motorku ke tempat yang dituju sekitar 200m dari tempatku menepi. Terlihat suasana Kafe yang dihiasi lampu remang-remang. Aku terkesiap, di gapura utama, terpampang nama kafe dengan tulisan menyembul warna kuning emas, "Kafe Yanda"

Irama jantungku semakin kencang. Tak banyak pengunjung hanya 2 meja yang terisi. Segera kudekati meja nomor 4. "Yanda,"aku menyapanya.
Ia menoleh sambil berdiri.
"Yinda, Yinda, Mel, Meli, tunggu sebentar,"teriaknya. Tanpa menoleh lagi kuberlari ke tempat parkir. Menderu motor pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun