2 kali lebaran setelah itu kami mudik dengan selalu diantar driver itu. Sejak 1999 saya memberanikan diri mengemudikan sendiri mobil kami saat pulang mudik. Ada beberapa pertimbangan yang mendorong says untuk tidak membawa driver saat mudik. Pertimbangan pertama adalah saya tidak mau mengganggu waktu lebaran dari driver saya. Oh ya driver saya yang Jemaat Bethani itu meninggal dunia 2 hari menjelang lebaran tahun sebelumnya.
Ada cerita yang tidak bisa saya lupakan terkait dengan meninggalnya. Seperti biasanya saat mengantar mudik, begitu sampai di Bandung, sorenya langsung balik ke Surabaya naik kereta api dan selama kami di Bandung dia akan menginap sambil berjaga di rumah kami di Surabaya. Keesokan hari dari kedatangan kami di Bandung saya merasakan hal yang aneh. Merasa tidak enak di hati dan  entah kenapa teringat terus kepadanya. Saya menelepon ke rumah di Surabaya dan saya tanya kabarnya, dia mengatakan baik-baik saja. Namun itu tidak menghilangkan perasaan tidak enak di hati dan akhirnya saya putuskan untuk balik dulu ke Surabaya.
Berangkatlah saya dengan pesawat dari Bandung, menjelang magrib sudah sampai rumah di Surabaya. Diapun kaget kok saya balik lagi. Saya hanya bilang ada urusan mendadak yang harus diselesaikan. Karena says ada di rumah, dia pamit pulang ke rumahnya. Sekitar pukul 9 malam telepon rumah berdering, ternyata dari RS Darmo yang memberitahu bahwa driver saya itu meninggal beberapa saat setelah masuk IRD. Sayapun bergegas menuju rumah sakit dan membawa jenazah ke rumah duka. Malam itu saya menunggui jenazahnya hingga pagi sampai rombongan jemaat gereja bethani berdatangan untuk mengurus pemakamannya.
Saya membayangkan jika saja saya tidak balik dulu ke Surabaya, bisa jadi driver saya itu meninggal di rumah saya tanpa ada seorangpun yang tahu. Saya pulang ke rumah dengan lunglai. Urang Sunda menggambarkan kondisi saya itu dengan ungkapan "reuwas kareureuhnakeun" yang artinya mengalami kekagetan yang amat sangat setelah semuanya selesai.
Setelah meninggalnya dia, driver  yang baru adalah seorang Muslim. Inilah yang jadi pertimbangan saya tidak mau mengganggu waktu lebarannya itu.
Dengan mengemudi sendiri bisa menikmati perjalanan
Pertimbangan kedua yang mendorong saya mudik tanpa membawa driver adalah ingin menikmati mudik ini sebagai perjalanan keluarga yang tidak diburu waktu. Kami ingin enjoy menikmatinya. Pertimbangan kedua ini diperkuat dengan alasan bahwa saya sudah mengenal dengan baik medan di rute mudik kami. Usia saya yang masih muda membuat saya merasa dalam layak untuk mengemudi dari Surabaya ke Bandung. 10 kali lebaran berturut-turut kami mudik lebaran dengan mobil tanpa membawa driver.
Saat mudik diantar driver dan saya duduk di depan di sebelah driver, saya tidak bisa dengan nyaman menikmati perjalanan karena terus memperhatikan jalan dan lalu lintas di depan kami serta memperhatikan driver  mengemudi. Kaki serasa ikut ngerem jika driver nginjak rem secara mendadak. Tangan terasa seperti ikut pegang setir saat driver menginjak pedal gas untuk menyalip sekaligus beberapa kendaraan di depan. Meskipun diserang kantuk, sulit untuk bisa tidur. Ini jauh berbeda saat mengemudikan sendiri kendaraan, saya bisa menikmati perjalanan dengan nyaman. Perjalanan yang seharusnya sangat melelahkan, hampir tidak terasa. Seolah ada energi lain yang tiba-tiba muncul. Pengalaman-pengalaman menarik dan menyenangkanpun bermunculan.
Pengalaman Mudik Paling Melelahkan
Anak kedua dan ketiga kami lahir di Surabaya tahun 1997 dan 2000. Jadi keduanya sempat mudik ketika masih di dalam perut ibunya. Saya masih ingat betul saat mudik tahun 1997 perjalanan pulang dari Bandung ke Surabaya membawa 2 orang ibu yang sedang hamil tua. Â istri saya dan bibi (tante) dari istri saya yang mau pulang ke Makassar. Rencananya dari Surabaya baru naik pesawat ke Makassar. Ini adalah pengalaman mengemudi yang paling melelahkan. Saya harus ekstra hati-hati dengan kecepatan yang sangat dibatasi untuk ukuran perjalanan luar kota agar tidak mengganggu atau membahayakan kondisi kehamilan keduanya.
Pengalaman Yang Paling Menyenangkan