Umur anak pertama kami belum genap satu tahun ketika saya memasukkan dia ke dalam bis lewat jendela. Penumpang belum lagi sempat turun ketika sebuah bis "bumel" (non patas) yang baru tiba dari Bandung diserbu calon penumpang yang hendak menuju Bandung.
Desak-desakan hebat diantara calon penumpang terjadi. Kami sangat beruntung ada seorang bapak setengah baya, penumpang yang mau turun menyambut dan memegangi anak kami sampai says dan istri berhasil masuk bis. Kamipun beruntung dapat tempat duduk karena Si Bapak tadi "mengamankan" 2 tempat duduk untuk kami. Itu terjadi Sabtu sore tanggal 25 Pebruari 1995 di Terminal Bis Kampung Rambutan Jakarta Timur, 5 hari sebelum lebaran tahun itu tiba.
Itu pengalaman mudik pertama bersama keluarga. Pengalaman yang tidak bisa dilupakan. Dengan berpeluh keringat kami harus menikmati 8 jam perjalanan dengan bis tanpa AC. Â Penumpang yang berdiri bergelantungan menyesaki bis menambah panasnya udara di dalam bis. Masa itu perjalanan dengan bis ekonomi dari Terminal Kampung Rambutan di Jakarta ke Terminal Kebon Kalapa di Bandung normalnya hanya 3 - 3,5 Â jam saja.
Tahun-tahun sebelumnya (1992 - 1994) mudik tidaklah merepotkan, karena saya sendirian. Lebaran tahun sebelumnya (1994) istri menjalani kehamilan yang pertamanya di Bandung sambil menyelesaikan Tugas Akhir di IKIP Bandung sampai akhirnya diwisuda beberapa bulan setelah kelahiran anak pertama. Tahun itu saya mudik dengan santai karena  mudik ke Bandung dari Boyolali Jawa Tengah. Bulan puasa tahun itu menjadi akhir dari masa kontrak 2 tahun sebagai Technical Asistant di Cooperative Center Denmark (CCD) Perwakilan Indonesia. Itu adalah kerja nyambi atas seijin Kantor. Menjelang akhir masa kontrak itu mengharuskan saya melakukan perjalanan dinas di bulan puasa hampir 2 minggu ke Bandung, kemudian Pandaan dan berakhir di Boyolali. Bagaimana tidak santai, mudik dari Boyolali  ke Bandung dengan menumpang bis angkutan lebaran yang hanya terisi satu arah yaitu dari Barat (Jakarta, Bandung, dsb) ke arah Timur (Yogya, Jawa Tengah dan Jawa Timur). Saya menjadi satu-satunya penumpang bis itu, dengan perjalanan yang relatif lancar karena berlawanan dengan arah arus mudik.
Mudik bersama keluarga tahun 1995 itu menjadi yang pertama sekaligus terakhir dari Jakarta, karena tidak lama setelah lebaran itu saya mendapat tugas baru di salah satu anak perusahaan di Surabaya.
Mudik dari Surabaya
Tahun 1996 menjadi pengalaman mudik pertama dari Surabaya. Menggunakan mobil sendiri menjadi pilihan terbaik bagi kami. Di samping lebih praktis, Â dari segi biaya, relatif lebih murah dibandingkan menggunakan moda transportasi masal baik bis, ketetaapi apalagi pesawat. Sebagai keluarga baru, kami harus berhitung ekstra cermat agar mudik bisa lancar, aman, nyaman tetapi juga efisien dari segi biaya.
Tidak banyak pengalaman yang berarti pada mudik kali ini. Satu-satunya yang cukup berkesan adalah tentang driver kami yang namanya mirip dengan nama saya, cuma beda satu suku kata di depan. Oh ya dalam dalam salah satu artikel, pernah saya tulis bahwa diantara kakak-adik 8 bersaudara saya satu-satunya yang mempunyai nama bernuansa Jawa. Jadi tidak mengherankan ketika kami belum begitu lama di Surabaya banyak yang mengira saya ini orang Jawa.
Driver kami tadi seorang Jemaat Gereja Bethani. Dia mengemudi dari Surabaya ke Bandung sambil berpuasa. Dalam keyakinannya, dia harus berpuasa selama 40 hari, dan dia puasa mendahului saya 10 hari. "Agar selesainya bareng dengan Pak Win" katanya. Sebelum berangkat saya sudah minta dia untuk tidak mengantar kamu, biar diganti driver lain. Tapi dia bersikeras untuk tetap mengantar kami. Alhamdulillah perjalanan menuju Bandung relatif lancar. Kamipun tiba di Bandung dengan selamat. Tiba di Bandung pagi hari, driver kami sorenya langsung pulang ke Surabaya dengan kereta api. Sehari menjelang jadwal kepulangan ke Surabaya dia sudah tiba kembali di Bandung untuk membawa kami pulang ke Surabaya.
Kami harus mengokasikan waktu untuk menginap di rumah Orangtua saya sendiri, orangtua kandung istri  dan orangtua angkat istri. Oleh karena itu kami butuh waktu setidaknya 6 malam berada di Bandung. Inilah alasan saya kenapa minta driverku untuk balik dulu ke Surabaya sementara aku menghabiskan cuti mudikku.
Driver  Meninggal Dunia
2 kali lebaran setelah itu kami mudik dengan selalu diantar driver itu. Sejak 1999 saya memberanikan diri mengemudikan sendiri mobil kami saat pulang mudik. Ada beberapa pertimbangan yang mendorong says untuk tidak membawa driver saat mudik. Pertimbangan pertama adalah saya tidak mau mengganggu waktu lebaran dari driver saya. Oh ya driver saya yang Jemaat Bethani itu meninggal dunia 2 hari menjelang lebaran tahun sebelumnya.
Ada cerita yang tidak bisa saya lupakan terkait dengan meninggalnya. Seperti biasanya saat mengantar mudik, begitu sampai di Bandung, sorenya langsung balik ke Surabaya naik kereta api dan selama kami di Bandung dia akan menginap sambil berjaga di rumah kami di Surabaya. Keesokan hari dari kedatangan kami di Bandung saya merasakan hal yang aneh. Merasa tidak enak di hati dan  entah kenapa teringat terus kepadanya. Saya menelepon ke rumah di Surabaya dan saya tanya kabarnya, dia mengatakan baik-baik saja. Namun itu tidak menghilangkan perasaan tidak enak di hati dan akhirnya saya putuskan untuk balik dulu ke Surabaya.
Berangkatlah saya dengan pesawat dari Bandung, menjelang magrib sudah sampai rumah di Surabaya. Diapun kaget kok saya balik lagi. Saya hanya bilang ada urusan mendadak yang harus diselesaikan. Karena says ada di rumah, dia pamit pulang ke rumahnya. Sekitar pukul 9 malam telepon rumah berdering, ternyata dari RS Darmo yang memberitahu bahwa driver saya itu meninggal beberapa saat setelah masuk IRD. Sayapun bergegas menuju rumah sakit dan membawa jenazah ke rumah duka. Malam itu saya menunggui jenazahnya hingga pagi sampai rombongan jemaat gereja bethani berdatangan untuk mengurus pemakamannya.
Saya membayangkan jika saja saya tidak balik dulu ke Surabaya, bisa jadi driver saya itu meninggal di rumah saya tanpa ada seorangpun yang tahu. Saya pulang ke rumah dengan lunglai. Urang Sunda menggambarkan kondisi saya itu dengan ungkapan "reuwas kareureuhnakeun" yang artinya mengalami kekagetan yang amat sangat setelah semuanya selesai.
Setelah meninggalnya dia, driver  yang baru adalah seorang Muslim. Inilah yang jadi pertimbangan saya tidak mau mengganggu waktu lebarannya itu.
Dengan mengemudi sendiri bisa menikmati perjalanan
Pertimbangan kedua yang mendorong saya mudik tanpa membawa driver adalah ingin menikmati mudik ini sebagai perjalanan keluarga yang tidak diburu waktu. Kami ingin enjoy menikmatinya. Pertimbangan kedua ini diperkuat dengan alasan bahwa saya sudah mengenal dengan baik medan di rute mudik kami. Usia saya yang masih muda membuat saya merasa dalam layak untuk mengemudi dari Surabaya ke Bandung. 10 kali lebaran berturut-turut kami mudik lebaran dengan mobil tanpa membawa driver.
Saat mudik diantar driver dan saya duduk di depan di sebelah driver, saya tidak bisa dengan nyaman menikmati perjalanan karena terus memperhatikan jalan dan lalu lintas di depan kami serta memperhatikan driver  mengemudi. Kaki serasa ikut ngerem jika driver nginjak rem secara mendadak. Tangan terasa seperti ikut pegang setir saat driver menginjak pedal gas untuk menyalip sekaligus beberapa kendaraan di depan. Meskipun diserang kantuk, sulit untuk bisa tidur. Ini jauh berbeda saat mengemudikan sendiri kendaraan, saya bisa menikmati perjalanan dengan nyaman. Perjalanan yang seharusnya sangat melelahkan, hampir tidak terasa. Seolah ada energi lain yang tiba-tiba muncul. Pengalaman-pengalaman menarik dan menyenangkanpun bermunculan.
Pengalaman Mudik Paling Melelahkan
Anak kedua dan ketiga kami lahir di Surabaya tahun 1997 dan 2000. Jadi keduanya sempat mudik ketika masih di dalam perut ibunya. Saya masih ingat betul saat mudik tahun 1997 perjalanan pulang dari Bandung ke Surabaya membawa 2 orang ibu yang sedang hamil tua. Â istri saya dan bibi (tante) dari istri saya yang mau pulang ke Makassar. Rencananya dari Surabaya baru naik pesawat ke Makassar. Ini adalah pengalaman mengemudi yang paling melelahkan. Saya harus ekstra hati-hati dengan kecepatan yang sangat dibatasi untuk ukuran perjalanan luar kota agar tidak mengganggu atau membahayakan kondisi kehamilan keduanya.
Pengalaman Yang Paling Menyenangkan
Pengalaman yang paling menyenangkan saya rasakan ketika anak kami sudah 3. Saya juga masih ingat betul hal-hal lucu yang ditemui dalam perjalanan mudik. Seperti misalnya tingkah anak kedua kami yang selalu menghitung berapa kota lagi akan dilewati. Setiap melintasi sebuah kota dia pasti bertanya : "Berapa kota lagi Pak ?". Sementara anak ketiga kami, perempuan, paling heboh menyemangati saya saat mengemudi. Dia terus berteriak :"ayo pa, ayo pa, kebut pa" itu sering diulang-ulang selama perjalanan. Sebaliknya dia akan berteriak : "awas awas, awas pa, awas pa !" ketika kami melewati perlintasan kereta api. Kebetulan jalur selatan adalah jalur dimana banyak sekali ditemui titik-titik perlintasan kereta api.
Melalui Jalur Utara Saat Menuju Bandung
Saat mudik lebaran kami biasanya mengambil rute jalur utara untuk perjalanan menuju Bandung. Pertimbangan utamanya jalur ini aman untuk perjalanan malam hari. Berbeda dengan jalur selatan yang masa itu cukup rawan gangguan keamanan di malam hari.
Rute jalur utara sebenarnya cukup membosankan karena lebih banyak jalur datar dan lurus kecuali di lintasan Alas Roban dan lintasan dari perbatasan Cirebon - Majalengka - Sumedang sampai Bandung yang jalurnya naik turun dan berkelok. Berbeda dengan jalur selatan yang hampir setengahnya merupakan dataran tinggi dengan pemandangan alam yang indah.
Perjalanan ke Bandung biasanya dimulai dengan berangkat dari rumah sore hari sehingga kami bisa buka puasa di daerah Tuban sebelum masuk wilayah Jawa Tengah. Kalau start dari Surabaya lebih awal dan perjalanan relatif lancar, maka kami akan stop istirahat agak lama di Luwes, Rembang Jawa Tengah. Â Luwes ini rumah makan di hutan hati yang sebenarnya semacam rest area untuk truk barang. Namun banyak juga kendaraan kecil yang ikut berhenti disitu menikmati menu makanan khas Luwes. Aneka masakan yang enak di lidah dengan harga yang miring. Â Menjelang tengah malam biasanya kami sudah lewat Semarang dan berhenti di Alun-alun Batang. Ini adalah penghentian favorit kami. Warung tenda lesehan di sepanjang trotoar alun-alun menjadi pilihan kami untuk istirahat. Anak-anak langsung sibuk pesan ayam goreng dan es jeruk. Kalau saya pasti pesan mie godog dan tentu saja kopi pahit. Sambil menunggu pesanan siap itulah saya sempatkan tidur. Selonjoran di atas trotoar dengan alas tikar.
Kalau lancar kami bisa sholat shubuh di Losari di sebuah masjid yang letaknya hanya beberapa meter dari tugu perbatasan Jawa Tengah - Jawa Barat. Masjid itu sendiri masih berada di wilayah Brebes Jawa Tengah. Oh ya Losari itu unik, 2 kecamatan yang saling berbatasan dengan nama yang sama. Yang satu berada di wilayah Kabupaten Brebes - Jawa Tengah, dan satunya masuk Kabupaten Cirebon - Jawa Barat. Kedua kecamatan yang sama-sama namanya Losari ini dipisahkan oleh Sungai Cisanggarung yang masuk wilayah Brebes. Â
Jika perjalanan agak lambat karena terjebak macet misalnya, biasanya kami stop di tegal sebelum perbatasan dengan Brebes. Istirahat sambil menunggu saatnya sholat shubuh. Namun jika tengah malam belum melewati Semarang, yang berarti kami bergerak cukup lambat, itu tetap bisa kami nikmati. Karena dengan keterlambatan itu kami jadi bisa menikmati  Pekalongan di pagi hari saat toko-toko di sentra-sentra batik baru saja buka.
Yang unik, begitui melintasi Losari perasaan seperti sudah sampai di Bandung. Padahal perjalanan masih 6 - 8 jam lagi tergantung kondisi kepadatan lalu lintas. Rute jalur utara Surabaya - Bandung yang saat normal bisa ditempuh sekitar 14 jam, saat musim mudik bisa memakan waktu tempuh 24 jam. Itu rute yang berlawanan dengan arus mudik. Bisa dibayangkan berapa waktu tempuh dari Jakarta atau Bandung menuju Surabaya saat mudik di masa itu. Di masa sekarang waktu tempuh semakin pendek dengan tersambungnya jalan tol Trans Jawa.
Melalui Jalur Selatan Saat Balik ke Surabaya
Jika saat berangkat mudik menuju Bandung selalu memunculkan energi ekstra yang serta merta mengikis rasa lelah, perjalanan balik ke Surabaya akan terasa sebaliknya. Langkah yang berat seperti menyertai. Inilah yang menjadi pertimbangan kami mengambil jalur selatan saat balik ke Surabaya. Jalur jalan yang bervariasi, dengan pemandangan alam yang indah akan mengurangi tingkat kelelahan saat mengemudi. Berangkat pagi dari Bandung, istirahat di kawasan ciamis, siang menjelang sore kami sudah sampai di Jogja Palace Hotel (yang kemudian berganti nama jadi Jayakarta Hotel). Kami stop di sana, transit semalam menikmati Jogja. Hotel ini selalu jadi pilihan kami karena selain tarifnya relatif murah untuk ukuran hotel bintang 4, letaknya di ujung Jl. Laksda Adisucipto tidak jauh dari airport. Karena letaknya itu, ketika esoknya kami check out sudah langsung masuk ke Jalan raya Jogja - Solo.
Kami betul-betul menikmati Jogja. Kami datangi Kasongan hunting mebel antik. Jika ada yang menarik, kami order dan seminggu kemudian barang sudah sampai di rumah. Bagi kami Kasongan adalah tempat bertemunya kesukaan kami kepada barang antik dengan kondisi kantong kami yang tidak begitu tebal. Karena keterbatasan kondisi keuangan di satu sisi dan kesukaan kepada barang antik di sisi lain, maka kami lebih memilih mengkoleksi barang antik itu yang berupa mebel sehingga bisa diapakai sehari-hari bukan untuk jadi pajangan.
Mirota Batik (Batik Hamzah)  menjadi tempat yang tidak pernah kami lewatkan jika kami berada di Jogja. Mirota Batik adalah toko batik dan souvenir terlengkap di Jogja. Jangan salah kira kawan, kami ke Mirota tidak untuk hunting batik tulis atau batik halus yang tentu mahal harganya. Untuk batik kelas itu kami hanya lihat-lihat sekedar cuci mata. Kalau beli tetap batik yang sesuai dengan dompet tipis kami. Harga barang-barang di Mirota semua sudah dibandrol sehingga kita tidak perlu repot tawar menawar. Ada beberapa Toko Mirota di Jogja. Salah satu agak di luar kota kalau tidak salah terletak di arah menuju Merapi. Kami pernah sekali kesana. Satu yang lain yang paling sering kami kunjungi terletak di ujung Marlioboro (sebenarnya sudah masuk Jl. Ahmad Yani).Â
Jalan-jalan di Marlioboro ? Entah kenapa kami ke sana karena Mirota saja. Makan di lesehan Marlioboro malam hari hanya pernah sekali sekedar menghabiskan kepenasaran. Bisa jadi ini karena waktu itu anak-anak kami masih kecil-kecil. Yang mungkin berkesan buat anak-anak dari Marlioboro adalah naik andong, kemudian naik becak ke sentra Bakpia Pathok.
Kotagede ? Kami pernah sekali kesana. Penasaran ingin tahu sentra kerajinan perak yang terkenal itu. Kami tidak begitu tertarik, bukan karena Kotagede tidak menarik, tapi perak dan perhiasan lainnya adalah barang mewah bagi kami yang tidak berkantong tebal. Kata Urang Sunda daripada ngacai (ngiler) lebih baik tidak melihatnya.
Kami biasa  maksimalkan waktu check out dari hotel. Kadang-kadang kami minta fasilitas late check out gratis sampai Jam 1. Dengan begitu kami masih bisa leluasa memanfaatkan waktu setelah sarapan untuk explore Jogja. Dengan check out sudah siang itu kami juga bisa langsung makan siang di RM Sendang Ayu yang persis berada di pinggir Jalan Raya Jogja - Solo. Rumah makan yang berada di tengah danau buatan dengan membendung sungai ini merupakan rumah makan favorit kami. Naik rakit saat menyebrang menuju rumah makan dan mancing sambil menunggu pesanan disajikan menjadi hal yang berkesan buat anak-anak.
Dari situ kami bablas menuju Surabaya dengan hanya sekali berhenti di Caruban Madiun atau di nganjuk. Lewat Isya biasanya kami sudah tiba di rumah dengan pikiran dan perasaan yang fresh dan siap kembali ke rutinitas normal esok hari .....>|
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI