Saya adalah manusia produk Orde Baru. Meski lahir di era Orde Lama, 4 bulan sebelum meletusnya peristiwa G30S, saya tidak sempat mengingat bagaimana situasi dan kondisi di era itu. Kalaupun ada yang dirasakan dari zaman orde lama adalah sulitnya hidup akibat buruknya perekonomian nasional, yang diwariskan ke era Orde Baru.
Konon kata guru SMP saya, politik mercusuar yang digunakan oleh Bung Karno telah mengakibatkan inflasi yang membumbung tinggi. Saking tingginya inflasi saat itu, mungkin tidak akan terulang lagi dalam sejarah Indonesia.Â
Bayangkan, kata guru saya lagi, dalam kemudaan Republik dalam karut marutnya politik, dalam buruknya petekonomian negara, Bung Karno membangun Istiqlal, Monas, Gelora Senayan, dan menjadi tuan rumah Asian Games. Semuanya didanai oleh uang hasil mencetak Rupiah, bukan dari hasil perputaran ekonomi. Nilai rupiah jatuh demikian dalam yang kemudian diakhiri dengan sanering, pemotongan nilai rupiah.
Kondisi itulah yang kemudian diwarisi oleh Pemerintahan era Orde Baru, yang pada tahun 1969 berhasil menumbangkan Rezim Orde Lamanya Bung Karno.
Sebagai penguasa baru, Soeharto bekerja sangat keras membangun Indonesia Baru lewat Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun yang dituangkan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Melalui Repelita I sampai Repelita V, Indonesia beroleh kemajuan yang luar biasa. Berhasil mewujudkan swasembada pangan, pada saat yang sama bermetamorposis menjadi negara industri.
Di era orde baru, keamanan relatif terjaga dengan baik. Penembakan misterius (Petrus) digunakan sebagai jalan pemberatasan premanisne. Premanisme jalanan bisa ditekan sampai titik minimal, meski premanisme politik dan premanisme ekonomi tetap dirawat.
Premanisme politik dan premanisme ekonomi melahirkan oligarki. Golkar, yang tidak mengakui dirinya sebagai parpol menjadi mesin politik penguasa. Sementara dua partai hasil fusi yaitu PPP dan PDI hanyalah penghias belaka.Â
Pemilu hanyalah ajang formalitas untuk memperkokoh Soeharto. Dalam pencoblosan akan dengan sangat mudah diketahui siapa saja dalam suatu TPS yang tidak mencoblos Golkar. Asas LUBER (Langsung Umum dan Bebas Rahasia) hanya menjadi slogan kosong.
Premanisme ekonomi telah melahirkan konglomerasi yang sebagian besar dikuasai oleh lingkaran besar istana. Konglomerasi yang kemudian juga menjadi benteng yang kokoh untuk kekuasaan Soeharto.
Era Orde Baru bukanlah era keterbukaan. Era yang tidak memberikan kenyamanan bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi, meski hal itu merupakan amanat Konsitusi UUD 45. Pembreidelan Tempo dan Detik adalah salah satu contoh buruknya kebebasan berpendapat.
Dunia Kampus dipinggirkan dengan Program NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus). Mahasiswa dan akademisi diminta fokus kepada aktifitas pembelajaran. Para penandatangan Petisi 50 yang sebagian diantaranya adalah jenderal-jenderal vokal, dikucilkan dan diawasi gerak-geriknya selama 24 jam.
Seniman dan budayawan dikekang dengan sangat kuat. Rhoma Irama "dihukum" tak boleh tampil di TVRI yang merupakan satu-satunya stasiun TV di tanah air.Â
Sebaiknya Eddy Sud berjaya dengan Aneka Ria Safari dan Kamera Ria. Arswendo ditidurkan di Hotel Prodeo. Tidak ada kebebasan berekspresi, kecuali untuk penyokong kekuasaan.
Orde Baru adalah era dimana kebebasan bagi rakyat adalah barang yang sangat mahal harganya. Kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi barang langka.Â
Tapi bagi masyarakat kebanyakan, itu semua tidak penting. Tercukupinya kebutuhan hidup sudah cukup untuk mengeliminasi keburukan Orde Baru.Â
Harus diakui, dalam lebih dari dua pertiga masa kepemimpinannya, sebagian besar rakyat merasakan manfaat besar kepemimpinan Soeharto. Tidak salah kalau belakangan populer meme "Piye kabare? Enak zamanku tho?" menyertai Gambar Soeharto tersenyum.
Jujur saya harus mengakui hal itu. Zaman Orba saya bisa membeli rumah bagus, membeli mobil bagus, menyekolahkan anak di sekolah yang bagus.Â
Sebaliknya di zaman reformasi saya harus menjual rumah dan mobil yang saya miliki, memindahkan anak ke sekolah yang biasa-biasa. Dan yang paling terasa, di era Orba gigi saya masih kuat dan lengkap, tapi di zaman reformasi ini gigi saya sudah rompal di sana sini (maaf guyon ya).
Soeharto dengan segala kekurangan dan keburukannya adalah salah seorang putra terbaik Indonesia. Karenanya saya menaruh hormat untuknya.Â
Meski begitu saya bukanlah pengagum berat Soeharto, tidak seperti saya mengagumi Bung Karno dan Kiai Hasyim Ashari. Mungkin subjektif, Â saya menjadi pengagum berat Bung Karno bisa jadi karena darah PNI yang mengalir di tubuh saya. Seperti juga saya menjadi pengagum berat Kiai Hasyim Ashari karena nafas nadliyin saya.
Saya juga bukan pengagum berat Amin Rais yang disebut-sebut sebagai Bapak Reformasi. Saya lebih mengagumi Cak Nur dan Cak Nun yang konon katanya menjadi bagian dari tokoh-tokoh yang berhasil meluluhkan hati Soeharto untuk mendengar aspirasi rakyat yang menginginkan perubahan.Â
Aspirasi yang selam 30 tahun terendam dalam lumpur oligarki kekuasaan. Aspirasi yang kemudian digaungkan dengan sangat masif oleh mahasiswa, buruh, akademisi dan elemen-elemen masyarakat lainnya.Â
Atas jasa mereka ini melalui pergerakan yang sangat melelahkan dan tertumpahnya darah dan nyawa para aktivis, Soeharto dengan sangat terpaksa menanggalkan kekuasaan yang digenggamnya selama 30 tahun.
Hari ini kita berada di era reformasi. Era dimana keterbukaan menjadi keniscayaan. Era dimana kebebasan berpendapat dan berekspresi mendapatkan arena yang sangat luas.
Pemerintah dipaksa untuk berubah paradigma dari "penguasa" menjadi "pelayan". Rakyat tidak peduli berapa rupiah uang yang dikorbankan oleh seseorang untuk meraih jabatan publik baik sebagai kepala daerah atau presiden.Â
Rakyat kebanyakan juga tidak terlalu peduli apakah jabatan itu berkesan dinasti politik atau tidak. Rakyat hanya ingin para pemegang jabatan publik itu mampu mengendalikan birokrasi yang dipimpinnya untuk menjadi pelayan yang baik bagi rakyat. Melayani dengan hati dan menempatkan rakyat sebagai tuan. Bukan sebaliknya menganggap rakyat sebagai abdi birokrasi.
Karena rakyat adalah tuan, maka birokrasi pemerinntahan haruslah mengembangkan keterbukaan, sebagai salah satu implementasi dari semangat melayani rakyat.
Dengan keterbukaan, partisipasi rakyat dalam pembangunan akan bisa digerakan. Rakyat dalam berbagai tingkatan, dari berbagai elemen, dapat leluasa menyampaikan pendapat. Rakyat juga bisa berekspresi dalam berbagai bentuk untuk menyampaikan aspirasinya.
Indonesia di era  sekarang, di mana keterbukaan menjadi sebuah keharusan, kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi tidak lagi menjadi barang mahal.Â
Tidak ada lagi bentuk-bentuk pengekangan yang dilakukan secara struktural. Produk hukum seperti UU ITE adalah bentuk regulasi, bukan untuk mengekang kebebasan berpendapat dan bereksprresi.
Dibandingkan dengan era Orba, kebebasan berpendapat dan berekspresi hari ini jelas jauh lebih baik. Jika di era Orba pengekangan menjadi warna biasa, maka hari ini kebebasan malah cenderung kebablasan.
Demontrasi dan unjuk rasa yang tidak mensyaratkan ijin (cukup pemberitahuan kepada kepolisian) membuat siapapun dapat dengan mudah memobilisasi massa untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.Â
Unjuk rasa secara masip dapat dengan mudah terjadi untuk isu-isu yang belum jelas kebenarannya. Mereka yang selalu merasa paling benar, merasa paling tahu tentang republik ini, seolah mendapat panggung raksasa untuk mengekspresikan pendapatnya. Mereka yang cenderung kontroversial akan dengan mudah mendapatkan barisan follower.
Berkembangnya teknologi informasi dan sosial media menjadi faktor pendukung dari kecenderungan kebablasan ini. Dengan sosial media, orang bisa dengan mudah mengungkapkan pendapat terhadap satu isu. Meributkan hal yang tidak produktif seperti pro-kontra mudik dan pulkam, menjadi hal biasa.
Masyarakat umum menjadi kehilangan hasrat untuk berpikir tentang baik-buruk, tentang bermanfaat tidaknya, tentang benar tidaknya, sebuah isu yang digulirkan oleh seseorang atau sebuah kelompok.
Seorang tetangga saya, yang saya tahu persis dia tidak tamat SD, dengan wawasan keagamaan yang sangat dangkal, tiba-tiba mempersoalkan penutupan masjid dalam pandemi covid-19.Â
Dia mengatakan penutupan masjid itu adalah ulah Jokowi yang tidak perlu diikuti. Dengan tegas dia mengatakan tidak percaya kepada Jokowi karena Jokowi itu PKI.Â
Dia tidak paham bahwa penutupan masjid adalah tuntunan dari MUI bagi umat Islam dalam menjalani kondisi Pandemi. Dia juga tidak paham isu Jokowi PKI adalah isu usang yang terus dihembuskan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Kondisi kebebasan berpendapat dan berekspresi yang cenderung kebablasan ini merupakan kondisi yang sangat mengkhawatirkan bagi masa depan Bangsa. Rakyat banyak telah kehilangan kemerdekaannya untuk berpikir objektif dan rasional.Â
Kemerdekaannya telah dirampas oleh segelintir orang atau sekelompok orang yang mempertuhankan kebebasan. Bagi mereka ini tidak ada yang namanya kebebasan yang bertanggung jawab, yang ada adalah kebebasan sebebas-bebasnya, kebebasan tanpa batas.
Mereka berlindung di balik konstitusi yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga negara untuk menyatakan pendapat. Mereka tidak paham atau pura-pura tidak paham bahwa kebebasan bukanlah tujuan dari kemerdekaan Indonesia.Â
Kebebasan berpendapat dan berekspresi hanyalah sarana untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Seperti yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa bahwa Indonesia adalah sebuah wellfare state (negara kesejahteraan), negara yang menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan.
Semoga semangat Peringatan Kemerdekaan Indonesia yang ke 75 yang kebetulan berlangsung dalam kondisi Pandemi Covid-19 ini dapat menggugah kembali kesadaran kita akan cita-cita Kemerdekaan.
Dirgahayu Indonesia
< Kang Win, Agustus 11, 2020 >
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H