Ini bukan tentang Dewi Kunti dalam Epos Mahabarata. Sedikit tentang Dewi Kunti (Kunthi / Pritha), ia adalah putri dari Prabu Kuntiboja, saudara dari Basudewa yang merupakan ayah dari Baladewa, Kresna dan Subadra.
Dewi Kunti adalah istri dari Pandu. Ia ibu kandung dari Yudistira, Bima dan Arjuna, serta ibu tiri dari kembar Nakula dan Sadewa. Jadi Dewi Kunti (Kunthi atau Pritha) adalah ibu dari Pandawa Lima
Tentang Kunti
Kunti yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kuntilanak. Kami orang sunda menyebut kuntilanak dengan kunti. Bagi kami masyarakat Sunda, kuntilanak dan saudara sebangsanya, pocong, merupakan pengetahuan baru.
Kami mengenal kuntilanak dan pocong, baru sekitar tahun 1981. Mulai tahun itu, kedua species hantu itu viral. Suzana menjadi tokoh yang paling berjasa membawa kuntilanak dan pocong viral di masyarakat Sunda dengan banyak diproduksi film Indonesia yang bertemakan hantu. Sebelum itu kami mengenal kuntilanak dan pocong sebagai kunti.
Namun demikian sejauh itu tidak ada perdebatan terbuka yang tentang sama atau beda antara kuntilanak dan pocong. Kami tidak pernah memperdebatkannya, tidak seperti zaman sekarang kita memperdebatkan tentang sama tidaknya antara mudik dan pulkam, atau antara lockdown dan PSBB.
Bagi mereka yang mempercayai, kunti atau kuntilanak digambarkan sebagai sosok perempuan berambut panjang dan bergaun putih. Cocok jadi brand ambassador produk sampo ya.
Konon, berbeda dengan pocong yang habitatnya di tempat-tempat kotor, kunti lebih menyukai pinggir danau atau sungai yang airnya tidak mengalir terlalu deras. Rupanya hantu dari species ini penikmat keindahan ya. Cocok buat teman bagi yang hobi traveling mengunjungi tempat-tempat yang asri dan tenang.
Sesuai dengan seleranya akan keasrian dan ketenangan, hantu dari species ini termasuk baperan. Ia bisa dengan lepas mengekspresikan perasaan berupa tertawa cekikikan dan sesaat kemudian menangis menyayat hati yang mendengarnya. Bagi yang berniat jadi produser FTV boleh juga tuh mengajaknya casting.
Tentang Waru Doyong
Pohon waru merupakan pohon jenis kayu yang daunnya banyak dimanfaatkan untuk pembungkus makanan. Fungsinya sama dengan daun jati.
Bagi masyarakat Jawa Barat khususnya yang berada di dataran tinggi lebih familier dengan daun waru daripada daun jati. Sebagai catatan, Perhutani sebagai BUMN pengelola hutan produksi di Pulau Jawa membagi hutan yang dikelolanya sebagai hutan produksi menjadi 2 jenis, yaitu Kawasan Jati dan Kawasan Rimba.Â
Tidak seperti Jawa Tengah, DY, dan Jatim yang didominasi oleh Kawasan Jati, hutan produksi di Jawa Barat sebagian besar merupakan kawasan rimba.Â
Kawasan rimba menghasilkan kayu non jati seperti Mahoni, Rasamala, dll. Dengan kondisi seperti itu masyarakat Jawa Barat tidak familier dengan daun jati sebagai pembungkus makanan.
Daun waru sebagai pembungkus makanan, sampai saat ini masih banyak ditemukan digunakan oleh masyarakat, meski sudah mulai banyak berkurang.Â
Penjual peuyeum sampeu (tape singkong) adalah salah satu yang masih menggunakan daun waru. Demikian juga penjual pindang, menggunakan daun waru meski dibantu dengan kertas koran. Yang sudah tidak menggunakan daun waru adalah penjual nasi bungkus. Mereka sudah beralih secara total ke kertas nasi.
Berkurangnya penggunaan daun waru sebagai pembungkus makanan, selain karena munculnya bahan pembungkus lain yang lebih praktis penggunaannya, juga karena semakin berkurangnya populasi pohon waru.
Di tengah-tengah isu larangan penggunaan plastik sebagai pembungkus makanan dan kantong belanja, saatnya kita kembali menengok keberadaan daun waru ini.Â
Sudah waktunya, lembaga-lembaga penelitian dan pembenihan, untuk memproduksi bibit pohon waru secara besar-besaran. Selain daunnya, pohon waru berguna untuk pelindung erosi bantaran sungai atau kali.
Habitat pohon waru adalah punggiran sungai dan danau. Di pinggiran sungai ataupun kali kecil, banyak ditemukan pohon waru.Â
Di antara jejeran pohon waru di pinggir sungai biasanya terselip salah satu pohon yang tidak tumbuh tegak. Entah kenapa, mungkin pada saat kecil pohon itu terinjak orang sehingga miring, kumudian tumbuh ke samping, ke arah badan sungai. Itulah waru doyong.
Tentang Nguseup
Sebelum tahun 90-an, masyarakat di dataran tinggi Jawa Barat umumnya tidak mengenal istilah memancing atau mancing ikan. Istilah mancing baru populer bersamaan dengan dikenalkannya istilah Pilkada Langsung.Â
Mancing, atau mengail ikan di kolam, menjadi wahana untuk mensosialisasikan pencalonan seseorang dalam Pilkada Langsung.
Seorang yang berkepentingan dalam pilkada, biasanya menyewa kolam besar dan mengisinya dengan 1 atau 2 kwintal ikan mas. Pada kesempatan itu, berkumpulah tokoh-tokoh masyarakat bertemu dengan si Calon.Â
Mereka berkumpul untuk mendengar bujuk rayu. Kemudian penandarangan LOI (letter of intent), tentu saja tanda tangan imajiner. LOI tentang pengerahan dukungan "tanpa syarat" dan janji-janji manis yang lebih manis daripada madu asli Sumbawa. Â Sejak itu mancing menjadi hobi baru yang semakin populer bagi sebagian masyarakat.
Jauh sebelum itu, aktifitas memancing ikan di kolam pemancingan yang khusus disediakan bagi mereka yang hobi mancing, tidak disebut dengan istilah mancing atau memancing. Di masyarakat Sunda, aktifitas semacam itu disebut "nayub".
Sejatinya, masyarakat Sunda mengenal istilah "mancing" bukan sebagai aktifitas menangkap ikan. Mancing adalah aktifitas membaca angka dan menganalisa kemungkinan dengan menggunakan kartu domino.Â
Dalam istilah Sunda, menganalisa kemungkinan seperti menggunakan kartu domino itu dianggap sebagai "babaledogan" (melempar-lempar batu), bisa tepat bisa tidak. Tapi uniknya banyak yang tepat juga hasil babaledogan itu.
Nguseup, adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Sunda. Nguseup adalah aktifitas menangkap ikan dengan cara mengail, menggunakan useup yang diikatkatkan pada jeujeur. Jeujeur istilah dalam bahasa Sunda yang berarti joran. Sedangkan useup adalah mata pancing.
Nguseup berbeda dengan nayub. Kalau nayub dilakukan di kolan pancing yang khusus dibuat untuk arena pemancingan, maka nguseup dilakukan di kolam biasa, di sungai atau situ (danau). Kalau peralatan pancing untuk nayub bisa berharga mahal, nguseup hanya menggunakan peralatan pancing yang sederhana.
Apa hubungan nguseup, waru doyong dan kunti ?
Ini cerita beberapa orang tentang hobi nguseup yang banyak ditemui di sekitar tahun 70-an sampai akhir tahun 90-an.
Salah satu tetangga saya, namanya Apun. Seorang etnis China, pemilik salah satu toko terbesar dan paling banyak pelanggannya di desa kami. Saya kenal baik dengan Apun..Â
Selain rumah dan tokonya berdekatan dengan rumah kami, ketiga anaknya, Neneng, Iyan dan Anton adalah teman sepermainan saya. Mereka seringkali bermain di rumah kami.Â
Istri Apun, Lilih, adalah pelanggan ibu saya yang punya usaha jasa menjahit pakaian. Sampai sekarang di usia saya yang sudah melewati 55 saya masih bersahabat dengan Neneng, Iyan dan Anton. Apun sudah lama meninggal, sedangkan Lilih, istrinya masih tampak sehat.
Apun ini punya hobi unik, nguseup. Dia hobi nguseup bukan untuk mendapatkan ikan yang akan dimasak untuk makanan keluarganya. Kalau untuk kepentingan itu, cukup Lily berbelanja di pasar, membeli ikan, dan memasaknya. Selesai.
Pulang nguseup, Apun akan memberikan ikan yang didapatnya kepada siapa saja yang ditemui di jalan. Tidak pernah membawanya pulang. Selayaknya hobi, Apun nguseup hanya untuk senang-senang aja. Untuk melepas penat setelah seminggu menghabiskan waktu mengurus toko.
Hobi nguseup Apun terbilang unik, karena biasa dilakukannya malam hari. Seringkali ia pergi sendiri, kadang-kadang berdua atau bertiga dengan kawannya yang punya hobi sama.
Dari cerita Apun sendiri dan dari kawan-kawanya yang pernah nguseup bersama, saya mengetahui kebiasaan mereka nguseup di malam hari itu.Â
Mereka nguseup di sebuah kali, tidak besar, lebar kalinya hanya sekittar 3 meter saja. Dengan berbekal lampu senter, mereka menuju ke satu tempat di pinggir kali itu.Â
Tempat yang mereka pilih adalah tempat yang tidak jauh dari sebuah waru doyong. Cukup dekat, agar mereka bisa melemparkan useup ke arah bagian sungai tepat di bawah waru doyong.
Kenapa ? Menurut mereka di bawah waru doyong itulah ikan-ikan banyak berkumpul. Dengan begitu mereka bisa mendapatkan ikan dalam jumlah yang banyak. Tentu bukan jumlah puluhan ekor, tapi paling banyak belasan ekor saja. Juga bukan ikan besar, hanya ikan-ikan kecil seukuran 2 atau 3 jari.
Menurut cerita mereka, di bawah waru doyong banyak ikan yang berkumpul karena dipanggil oleh kunti yang biasa duduk manis berayun kaki di waru doyong itu.
Bagi mereka yang percaya, waru doyong adalah tempat yang paling disukai oleh kunti. Saking seringnya kunti bertemu dengan tukang nguseup yang rutin datang ke tempat itu, kunti tidak bisa lagi baperan di hadapan mereka. Kunti segan untuk tertawa cekikikan atau menangis menyayat hati. Hanya duduk manis berayun kaki.
Sampai hari ini, waru doyong tempan Apun dan kawan-kawan nguseup, masih ada, masih hidup dan tentu saja tetap doyong. Tapi saya tidak pernah tahu apakah kunti yang dulu sering menemani Apun masih setia mengunjungi tempat itu, duduk manis dan berayun kaki di waru doyong.
Saya pun tidak pernah sekalipun bertemu dengan kunti maupun pocong saudaranya, bahkan untuk sekedar mendengar cekikikan tawanya atau tangisannya yang menyayat hati. Mungkin karena saya tidak punya kepedulian atas nasib kunti dan saudara-saudara sebangsanya yang habitatnya semakin tergerus arus moderinisasi. Mereka mungkin tidak bisa berbuat apa-apa karena belum ada rumusan HAH (Hak Asasi Hantu).
< Kang Win Juli 22, 2020Â >
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H