Pangeran Charles, pewaris tahta Kerajaan Inggris itu meninggalkan Lady Diana istri yang telah memberinya 2 orang anak dan merelakan tahta tidak menjadi miliknya demi mengejar wanita lain, Camila Martin yang merupakan cinta pertamanya
Sebaris kalimat di atas sebenarnya menggambarkan seorang yang paling berhak menduduki tahta kerajaan inggris apabila Sang Ratu yang menduduki tahta saat ini mangkat atau memutuskan mundur. Namun demi mengejar cintanya kepada seorang wanita lain yang bukan istrinya, ia merelakan melepas kesempatan menduduki tahta kerajaan.
Sepintas tampak tidak ada yang aneh pada kalimat di atas. Namun apabila ditelisik sedikit lebih teliti, akan terlihar ada yang ganjil. Titik pangkalnya adalah penggunaan kata pewaris.
Pewaris adalah seseorang yang memberikan warisan, mewariskan. Bukan penerima warisan.
Misalnya anda seorang ayah mewariskan sebuah rumah tinggal kepada anak pertama anda. Bangunan rumah tinggal itu adalah objek warisan, sedangkan anda adalah pewaris, yang mewariskan. Lalu apa sebutan kepada anak anda dalam konteks sebagai penerima warisan ? Anak anda adalah ahli waris. Jadi si penerima warisan disebut ahli waris, bukan pewaris.
Maka dalam contoh kalimat di atas menjadi aneh ketika yang akan memberikan warisan (pewaris) merelakan warisan itu tidak jatuh ke tangannya. Bukankah warisan itu mau tidak mau akan dilepaskannya kepada yang berhak ?
Sejatinya konteks kalimat di atas tidak seperti itu. Pangeran Charles bukan yang akan memberikan warisan tahta kerajaan, justru dialah yang akan (seharusnya) menerima warisan tahta kerajaaan. Jadi kalau begitu Pangeran Charles bukan pewaris tahta kerajaan tapi ahli waris tahta kerajaan.
Maka kalimat yang benar dalam konteks seperti itu adalah :
“Pangeran Charles, ahli waris tahta kerajaan inggris itu ……dst”
Mari kita lihat kalimat di bawah ini :
Pasang surut prestasi bulutangkis Indonesia di kancah dunia terus terjadi tapi tidak pernah absen menyumbang medali emas olimpiade sejak olimpiade barcelona.
Seperti contoh kalimat di awal tulisan ini, kalimat di atas sepintas tampak tidak ada keganjilan. Mari kita lihat lebih dekat lagi.
Istilah pasang surut mempunyai arti kondisi gerakan gelombang air laut yang menjauhi pantai untuk beberapa waktu. Dengan perkataan lain, air laut tampak surut dan berada jauh dari tepi pantai.
Lawan dari pasang surut adalah pasang naik, yaitu saat dimana air laut mencapai tepi pantai untuk beberapa lama.
Jadi pada saat pasang naik, ketinggian air laut di tepi pantai naik. Sebaliknya ketika pasang surut, air laut di tepi pantai turun ketinggiannya bahkan menjauhi tepi pantai.
Kalau pasang surut prestasi bulutangkis Indonesia di kancah dunia terus terjadi, berarti prestasi turun terus tidak pernah naik. Tapi bagaimana mungkin dengan prestasi yang terus menurun, mampu terus menerus menyumbangkan medali emas olimpiade kepada Kontingen Indonesia.
Sebenarnya konteks kalimat di atas adalah naik turunnya prestasi, bukan terus menerus turun. Kalau seperti itu konteksnya, maka kalimat yang seharusnya adalah sebagai berikut :
“Pasang naik dan pasang surut prestasi bulutangkis …….. dst”
Hal yang dikemukakan di atas adalah contoh salah kaprah penggunaan kata dan istilah dalam Bahasa Indonesia. Kesalahan yang umum ditemukan dalam keseharian kita. Banyak contoh lain mengenai kesalah-kaprahan dalam penggunaan kata dan istilah ini.
Jujur harus saya katakan bahwa saya tidak cukup kompeten untuk mengulas persoalan ini, karena saya bukan ahli linguistik. Saya juga bukan seorang pengamat bahasa yang intens mengamati perkembangan bahasa khususnya Bahasa Indonesia.
Jadi bisa saja yang saya anggap sebagai kekeliruan itu, saat ini sudah dipakemkan sebagai kata atau istilah yang benar dalam bahasa Indonesia. Jika ini yang terjadi, mohon kiranya anda yang mengetahui bisa memberikan koreksi atas tulisan ini.
Kalaupun saya memberanikan diri menulis topik ini semata karena keprihatinan saya atas persoalan ini. Jadi anggap saja ini sebuah tinjauan dari seorang penutur bahasa Indonesia yang awam dalam ilmu linguistik.
Keprihatinan saya sebenarnya sangat sederhana. Awalnya hanya merasa ganjil saja membaca atau mendengar kata-kata dan istilah serta pengucapan yang menurut saya tidak tepat (untuk tidak mengatakan salah).
Sebagai penutur aktif basa sunda, seringkali merasa ganjil mendengar kata kedaluwarsa diucapkan oleh reporter atau news anchor suatu stasiun TV. Bagi saya kata kedaluarsa terasa ganjil di telinga. Kata kadaluwarsa lebih terasa nyaman di dengar.
Saya berpikir ini siapa yang salah. Si reporter atau news anchor yang salah mengucapkan ? Atau justru saya yang keliru.
Iseng-iseng saya buka KKBI online dan dari situ saya baru tahu ternyata sayalah yang keliru. Dalam bahasa Indonesia yang benar adalah kedaluwarsa bukan kadaluwarsa.
Saya kemudian melanjutkan pencarian saya untuk kata lain yang juga seringkali diucapkan seorang reporter atau seorang news anchor, yakni carut marut yang sering pula diucapkan karut marut.
Contoh kalimat yang sering terdengar hari-hari belakangan ini, misalnya sbb :
“Karut Marut PPDB di DKI adalah bukti ketidakpedulian pemerintah kepada dunia pendidikan”
Untuk idiom ini saya semula menduga ucapan karut marut itu keliru, dan yang benar adalah carut marut.
Namun dugaan saya keliru. Dari KKBI saya mendapatkan pengetahuan baru bahwa carut marut dan karut marut adalah dua idiom yang berbeda.
Carut marut bermakna macam-macam perkataan keji. Sedangkan karut marut KKBI menjelaskan sbb :
Ka.rut-ma.rut a 1 kusut (kacau) tidak karuan ; rusuh dan bingung (tt pikiran, hati, dsb) ; banyak bohong dan dustanya (tt perkataan dsb) ; berkerut-kerut tidak karuan (tt muka, wajah, dsb).
Dengan demikian penggunaan idiom karut marut pada contoh kalimat di atas adalah benar, dan menjadi salah bila yang digunakan carut marut.
Saya baru tersadarkan bahwa selama ini saya banyak keliru dalam menggunakan kata dan istilah dalam bahasa Indonesia. Dan menurut saya, saya tidak sendirian. Banyak sekali kita melakukan kekeliruan dalam berbahasa Indonesia.
Kata pasca, misalnya, yang berarti setelah (sesudah) sering kali diucapkan bahkan ditulis paska.
Saya menduga kesalahan untuk kata ini karena mengira kata pasca itu serapan dari bahasa inggris. Seperti kita ketahui suku kata ca dalam bahasa inggris dibaca ka. Ini hanya dugaan saja dari seorang yang bukan ahli bahasa.
Tapi bagi saya ini sangat memprihatinkan. Apalagi kekeliruan-kekeliruan itu banyak dipertontonkan oleh para pelaku media elektronik. Baik dilakukan oleh reporter, news anchor maupun host-host acara khusus dari stasiun TV.
Cobalah perhatikan, seorang reporter hampir semuanya selalu memulai reportasenya dengan kata memang, yang sama sekali tidak nyambung dengan kalimat-kalimat lanjutnya. Kita juga bisa menghitung berapa kali dia mengulang-ngulang kata memang itu dalam satu reportase.
Seorang news anchor tiba-tiba mengucapkan kata dan padahal tidak ada kata-kata atau kalimat yang hendak dihubungkan dengan kata dan itu. Seolah-olah kata memang bagi seorang reporter serta kata dan bagi seorang news anchor adalah kata-kata bertuah yang kemudian menjadi pakem bagi mereka.
Saya kemudian berpikir apakah mereka tidak mendapatkan sesi bahasa Indonesia dalam pelatihan-pelatihan mereka.
Kita bisa memaklumi, mereka yang menjadi reporter, news anchor, host, maupun produser acara sebagian besar tidak berlatar pendidikan bahasa Indonesia. Mereka datang dengan berbagai latar belakang pendidikan.
Tapi bukankah mereka belajar Bahasa Indonesia setidaknya selama 12 tahun (6 tahun di SD, 3 tahun di SMP dan 3 di SMA) plus 1 semester di perguruan tinggi. Lagi pula Bahasa Indonesia kan bukan sesuatu yang sulit untuk kita.
Bagi saya alasan satu-satunya yang dapat diterima dari terjadinya kesalahan-kesalahan ini adalah ketidak-pedulian kepada Bahasa Indonesia dari kita semua. Kita tidak peduli kepada Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa ibu bagi dunia pendidikan kita.
Sebagai orang yang pernah mengalami hidup di jaman ORBA saya harus mengatakan bahwa Bahasa Indonesia di masa itu lebih mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Pemerintah Pusat saat itu memiliki sebuah lembaga yang khusus mengurusi pembinaan Bahasa Indonesia. Lembaga ini yang mempunyai sebuah acara pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI. Sebuah acara yang dipandu Prof. Jus Badudu, Guru Besar UNPAD, dengan tujuan memasyarakatkan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kini, penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar tampaknya tidak lagi menjadi concern kita. Kebanggaan kita kepada Bahasa Indonesia sedikit demi sedikit mulai terkikis.
Kita tentu tidak berharap Bahasa Indonesia menjadi bahasa nomor dua di negara kita, seperti yang dialami Bahasa Melayu di Malaysia dan Singapura.
Tidakkah kita bisa menghargai suku bangsa Melayu yang merelakan bahasa etniknya menjadi soko guru Bahasa Indonesia. Tidakkah kita bisa menghormati 300 suku bangsa lainnya dengan 700 bahasa etniknya yang telah turut memperkaya Bahasa Indonesia.
Penghormatan kepada Bahasa Indonesia adalah bentuk kebanggaan kita sebagai bangsa. Jangan biarkan Bahasa Indonesia merana dengan pembiaran terhadap kesalahan-kesalahan dalam penggunaannya.
Salam Bangga Berbahasa Indonesia
< Kang Win, Juni 30, 2020 >
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H