Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mendidik Anak Itu Tidak Mudah, Inspirasi Siasat Bubur Manado

27 Juni 2020   02:59 Diperbarui: 28 Juni 2020   09:45 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Mendidik anak yang hanya 3 orang ternyata bukan hal yang mudah. Lebih mudah mengurus karyawan yang jumlahnya puluhan atau ratusan. Mengurus karyawan lebih mudah karena terbantu adanya SOP dan struktur organisasi yang telah tersusun rapi. Tapi mengurus (khususnya mendidik) anak, tidaklah sederhana, jauh lebih banyak variabelnya. Tidak ada SOP, Struktur organisasi. Tidak ada pula Key Performance Index (KPI) untuk mengukur keberhasilan

Ini saya rasa rasakan meski hanya mempunyai 3 orang anak. 2 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Saya bisa membayangkan bagaimana orang tua saya harus berjibaku mengurus dan mendidik kami anak-anaknya yang berjumlah 8 orang dengan kondisi financial yang sangat terbatas.

Saya masih ingat, seringkali ayah mengajak kami bikin bubur manado di kebun yang menjadi halaman belakang rumah kami. Kenapa di kebun?

Mungkin untuk mengalihkan perhatian kami dari ketiadaan lauk pauk menjadi sedikit terhibur dengan suasana masak bersama.

Memang seringkali kami hanya punya beras, tanpa lauk pauk, dan membuat bubur manado adalah solusinya. Sayuran yang biasa ada pada bubur manado bisa kami petik langsung dari kebun.

Seringkali sayurannya jauh lebih banyak daripada resep bubur manado yang sesungguhnya. Agar bubur yang dihasilkan jadi lebih banyak.

Ketika bubur manado telah siap, kamipun menyantapnya dengan lahap, masih di kebun. Dan itu menjadi makan kami hari itu. Makan siang sekaligus makan malam. Juga tanpa sarapan di pagi hari.

Kondisi serba terbatas yang saya alami itu, banyak menginspirasi saya dan istri dalam mendidik anak-anak kami. Terutama dalam hal bahwa keterbatasan financial tidak boleh menjadi penghalang dalam memberikan yang terbaik untuk anak-anak.

Orangtua saya telah membuktikannya, dengan bubur manado misalnya, bisa mensiasati beras yang terbatas dan lauk pauk yang jarang hadir.

Tulisan ini tentu bukan sebuah success story, karena memang tugas kami sebagai orang tua belum selesai. Dari ketiga anak kami, belum ada satupun yang "mentas" kalau menurut istilah jawa. 2 anak laki-laki kami baru beberapa bulan yang lalu menyelesaikan S1 nya. Sementara anak ketiga, perempuan, baru mau menginjak semester 5 perkuliahan.

Jadi semuanya masih dalam tanggungjawab kami untuk mendidiknya. Jadi sekali lagi, ini bukan success story, tapi sekedar berbagi pengalaman dalam mendidik anak.

Sebagai keluarga dengan kondisi financial yang tidak begitu bagus, tentu kami harus berpikir dan bekerja keras dalam membesarkan anak-anak.

Dengan keterbatasan finansial, kami tidak bisa bersandar kepada kekuatan materi. Yang bisa kami lakukan adalah bagaimana kami bisa membuat anak-anak kami bisa mandiri pada saatnya. Keterbatasan financial tidak boleh menjadi penghalang untuk mendidik dan membekali mereka.

Menanankan agama sejak dini

Menanamkan dasar-dasar keagamaan menjadi prioritas kami dalam mendidik anak. Bagi kami membekali anak-anak dengan dasar-dasar keagamaan yang kuat sejak dini, akan sangat bermanfaat buat mereka. Jika suatu ketika mereka sempat tersesat akan dengan mudah menemukan kembali jalan yang benar. Ini tentu tidak berarti kami berharap mereka mengalaminya.

Tentang ini kami sangat terbantu dengan lingkungan keluarga besar kami yang boleh dikatakan religius. Kami juga sangat terbantu dengan sekolah mereka terutama di tingkat dasar. Ketiga anak kami bersekolah TK dan SD di sekolah swasta yang berbasiskan Islam di Surabaya sesuai agama yang kami anut.

Anak pertama, TK A di TK Aisyiyah, kemudian pindah ke Al Falah mulai TK B lanjut SD  sampai Lulus SMP saat kami memutuskan pulang kampung ke Bandung. Pada saat yang sama anak kedua kami lulus dari SD Al Falah, sedangkan si kecil baru naik kelas 4 di SD yang sama.

Terus terang kami sangat terbantu dalam menanamkan dasar-dasar keagamaan kepada anak-anak kami. Sekolah Al Falah adalah sekolah berbasiskan Islam dengan pendekatan pluralis dan egaliter. Meski berlatar belakang Muhammadiyah, kebiasaan-kebiasaan NU juga dikenalkan kepada murid.

Membekali kemampuan beradaptasi

Mengajak anak-anak mengunjungi kakek neneknya yang ada di desa, bertandang ke rumah pembantu (ART), makan di kaki lima, belanja di pasar becek, adalah beberapa cara mengenalkan mereka kepada dunia luar yang tidak menjadi habitat mereka.

Dengan cara itu, kami berharap anak-anak memiliki kesiapan untuk berhadapan dengan situasi-situasi yang lain dari yang mereka jalani.

Ini terbukti manfaatnya ketika kami memutuskan pulang kampung ke Bandung. Kami tinggal di kota kecil berjarak 24 km dari pusat kota Bandung.

Kami tinggal di rumah sederhana yang jauh berbeda dengan ketika tinggal di Surabaya. Anak-anak bersekolah di sekolah negeri, tidak lagi di sekolah swasta pavorit.

Yang sempat jadi kekhawatiran kami, bisakah mereka menerima dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru. Kami bersyukur bahwa anak-anak mampu beradaptasi dengan sangat cepat. Mereka tampak enjoy dan baik-baik saja.

Memberi kebabasan untuk menentukan jalan menuju masa depan

Saya dan juga istri, punya pandangan bahwa kami memiliki mereka (anak-anak) hanya sementara, untuk waktu yang sangat singkat.

Ketika mereka akil balig selesailah kepemilikan kami atas mereka. Berdasarkan inilah, setelah mereka lulus SMP mereka kami beri kebabasan untuk menentukan kemana mereka akan melanjutkan sekolah. Juga ketika mereka lulus SMA. Kami hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan secukupnya.

Kami tidak mempersoalkan ketika anak, pertama memilih jurusan IPS di SMA, anak kedua memilih IPA, dan anak ketiga memilih jurusan Bahasa meski waktu test penjurusan hasilnya IPA. Kami justru bersyukur ketiga anak kami memilih jurusan yang berbeda.

Kami juga tidak pernah mempersoalkan ranking di kelas, mereka sendiri yang harus menentukan mata pelajaran apa yang harus diprioritaskan.

Memberi kebebasan seperti ini, bukan tidak mengundang resiko. Ini seperti yang dialami anak pertama yang memilih program studi komunikasi politik. Ia baru lulus 2 bulan setelah adiknya lulus dari fakultas peternakan.

Bukan pilihannya yang salah, tapi aktifitas di luar perkuliahanlah yang menjadi sebab utama kuliah bisa dikatakan berantakan.

Aktif sebagai pengurus teras Viking (komunitas bobotoh Persib) dan lembaga kemahasiswaan menyebabkan kuliah sempat terabaikan. Konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan menjadi lebih besar, dan tentu saja ini menjadi hal yang tidak mudah bagi kami.

Kini saat adiknya sudah bekerja di salah satu perusahaan besar di bidang peternakan, ia masih sibuk mengikuti berbagai program rekrutmen.

Saat tulisan ini dibuat, ia baru saja dinyatakan lolos mengikuti tahap terakhir saringan program beasiswa S2 dari Universitas Pertahanan.

Terlepas dari nantinya benar-benar lolos atau tidak, saya tetap bersyukur karena ia bisa membuktikan mampu bertahan dalam saringan yang sangat ketat dalam beberapa tahap sebelumnya. Ia berhasil lolos ke tahap ini yang menyisakan 450 orang dari peserta awal sekitar 18.000 orang.

Sementara si bungsu yang perempuan, yang sekarang mahasiswa S1 Sastra Jepang, sedang sibuk melengkapi aplikasi beasiswa kuliah D2 di Jepang.

Ketika saya tanya, kalau lolos berarti berhenti dong di UNPAD. Dia jawab, nggak apa-apa kan disana bisa lanjut sampai S1. Lagi pula di sana bisa sambil kerja part time. Saya dan istri tidak bisa menghalangi keinginannya. Kalau itu lebih baik menurutnya.

Keteladanan

Di luar ketiga hal di atas, ada yang tidak boleh dilupakan dan tidak kalah pentingnya dalam mendidik anak, yaitu keteladanan orang tua. Keteladanan sejatinya merupakan key success factor dalam mencapai visi kita dalam mendidik anak, tapi justru ini yang paling tidak mudah untuk dijalankan.

Kita akan bisa menanamkan dasar-dasar keagamaan yang kuat kepada anak-anak, jika dan hanya jika, kita bisa memperlihatkan kesungguhan kita menjalankan ajaran agama.

Dalam hal membekali kemampuan beradaptasi, akan efektif ketika kita mampu memperlihatkan fleksibilitas dan atau keluwesan kita dalam praktek kehidupan sehari-hari.

Sementara itu terkait dengan membebaskan anak untuk menentukan jalan masa depannya, diperlukan konsistensi sikap dari orang tua.

Kesungguhan orang tua dalam menjalankan ajaran agama, fleksibilitas dalam praktek sehari-hari serta konsisten dalam bersikap, adalah hal-hal yang diteladani oleh anak-anak kita.

Pertanyaannya, cukup dan layakkah kita dalam hal-hal tersebut untuk diteladani. Secara pribadi saya harus mengakui bahwa kami sebagai orang tua belum sepenuhnya layak untuk diteladani.

Tapi setidaknya, kesungguhan kami untuk memberikan yang "terbaik" untuk anak-anak kami akan menjadi inspirasi bagi mereka. Seperti kami terinspirasi orang tua saya dengan "siasat bubur manado" nya

Itulah pengalaman saya yang bisa saya bagikan. Tidak untuk membanggakan diri, karena saya pun tidak tahu ending yang mereka capai nantinya. Sukses atau tidak, saya akan tetap apresiasi perjuangan yang telah dan akan mereka lakukan.

Semoga bermanfaat

Salam
< Kang Win, Juni 27, 2020 >

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun