"Win jid uing ngajoprak teu kuat lambung j lieur suku tiris pisan" (Win, Jid, aku sakit tidak kuat lambung dan pusing kaki dingin sekali), melalui WA seorang kawan "sambat" kepada saya pada hari kedua puasa Ramadhan tahun ini.
"Ngajoprak" adalah bahasa sunda yang artinya badan lemas, kehilangan tenaga sehingga hanya bisa rebahan tapi tidak tertidur.
Kondisi yang dialami kawan saya tadi, di masyarakat sunda sampai generasi saya dikenal sebagai "salatri". Istilah itu sekarang sudah tidak banyak digunakan lagi. Sama seperti "koneng" (kuning) untuk menyebut orang dengan gejala hepatitis A, atau "mengi" untuk orang dengan gejala gangguan pernapasan seperti asma.
Salatri, mungkin merupakan gejala umum dari gangguan lambung seperti maag. Selama bulan ramadhan, ketika sebagian besar umat Islam berpuasa maka, "salatri" menjadi keluhan yang paling banyak muncul.
Pada saat puasa, keluhan seperti ini menjadi hal sulit, apalagi jika keluhan itu muncul di siang hari. Maka "mokel" (membatalkan puasa sebelum waktunya) menjadi salah satu opsi, tentu saja ini merupakan opsi terakhir apabila upaya lain tidak berhasil mengatasi sehingga segera minum obat menjadi keharusan.
Bagi masyarakat padesaan yang berada di pelosok dengan akses faskes yang terbatas, keluhan seperti salatri justru tidak terlalu menjadi problem serius yang misalnya menyebabkan harus mengambil opsi "mokel". Daya tahan, semangat dan ketulusan yang menjadi keseharian dari masyarakat padesaan yang mungkin menjadi penguat "imun".
Dalam hal terjadi salatri ketika puasa, masyarakat padesaan punya cara sendiri mengatasinya. Cukup dengan rebahan dan berusaha bisa tertidur. Kalau tersedia biasanya dilakukan kompres dengan air hangat di sekitar perut atau dengan mengoleskan minyak angin di sekitar perut dan kening. Cara itu relatif cukup ampuh.
Di era milenial seperti sekarang, salatri tidak lagi dikenal. Bukan karena keluhan tidak pernah muncul. Sekarang ini, keluhan seperti salatri, biasanya didiagnosa sebagai sakit maag. Maka "obat maag" menjadi fokus kita ketika muncul keluhan. Masalahnya ini sedang puasa sehingga minum obat dengan konsekuensi "mokel" harus menjadi opsi terakhir. Maka tidak ada salahnya mencontoh cara masyarakat padesaan di atas. Tentu saja, jika berhasil diatasi harus dilanjutkan dengan minum obat pada saat berbuka puasa sesuai dengan anjuran dokter. Dan yang paling penting tentu saja mengatur asupan makanan yang tepat baik dari sisi kandungan gizi maupun timing dan cara mengkonsumsinya, agar keluhan tidak muncul selagi puasa.
Puasa memang, suatu kondisi yang cenderung "memunculkan" beberapa keluhan sakit dari orang yang berpuasa. Kondisi perut kosong, seringkali menyebabkan udara di sekitar kita "terasa" dingin, meski sebenarnya temperatur saat itu sedang panas.
Puasa tahun ini, selain bertepatan dengan pandemi covid-19, juga berbarengan dengan musim pancaroba, peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau. Saat pancaroba seperti ini banyak dipercaya selalu memunculkan keluhan-kaluhan penyakit, tetutama yang berhubungan dengan saluran pernapasan. Banyak gejala ISPA ( Infeksi saluran pernapasan akut) muncul dikeluhkan banyak orang. Gejala yang paling ringan adalah batuk yang disertai flue.
Pengalaman saya mengatasi flue dan batuk mungkin bisa menjadi pilihan ketika keluhan muncul selama puasa.Â
Saya termasuk orang yang tidak menjadikan obat kimia sebagai pilihan utama ketika ada keluhan sakit ringan. Bukan karena tidak suka dengan pahitnya obat (bukankah jaman sekarang lebih banyak obat yang tidak pahit), bukan tidak percaya kepada ilmu farmasi dan ilmu kedokteran. Tapi bagi saya, optimisme tentang kesembuhan lebih "mujarab" untuk mengatasi keluhan sakit. Bahkan ketika terpaksa harus konsultasi ke dokter, ketika dokter mengatakan :"gpp gak usah khawatir cuma .... dst" saat itu juga biasanya sudah merasakan kesembuhan sehingga tidak perlu lagi menebus resep dokter di apotek. Lumayan menghemat pengeluaran.
Untuk mengatasi flue dan batuk, biasanya saya cukup dengan tidur, berselimut tebal sehingga keringat dengan deras keluar sampai harus beberapa kali mengganti baju kaos yang dipakai. Ketika tidur sudah dirasa cukup, maka saat bangun badan akan terasa "lebih enak", biasanya flue langsung hilang, hanya tersisa batuk yang kadang butuh waktu 2-3 hari untuk sembuh. Saya biasanya melanjutkan dengan minum perasan jeruk nipis pada saat berbuka puasa. Banyak-banyak minum air putih di antara waktu buka dan sahur akan cukup membantu meningkatkan ketahananan tuhuh. Yang perlu diperhatikan, minum perasan jeruk nipis tentunya tidak dianjurkan bagi yang punya keluhan maag.
Itulah pengalaman saya mengatasi keluhan sakit ringan sehingga ibadah bisa tetap jalan.
Semoga bermanfaat.
Selamat berpuasa bagi yang menjalankannya
Salam hangat
April 28, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H