Saat itu, dengan antusias saya mulai membuka halaman pertama sebuah buku terjemahan non-fiksi yang saya beli dari market place. Jika dilihat dari judulnya yang mengundang, eye catching dan ditambah cover yang cantik, saya punya ekspektasi besar bahwa buku tersebut benar-benar sangat saya butuhkan dan memiliki faidah yang luar biasa untuk hidup saya.
Harapan saya semakin membuncah ketika saya melihat keterangan edisi cetakan di halaman kedua. Buku itu sudah dicetak belasan kali. Maka tak heran jika kemudian menyandang gelar best seller!
Dengan ditemani secangkir kopi susu dan sebungkus cemilan saya pun mulai mengawali petualangan ilmiah saya. Untuk beberapa halaman di bab pertama, saya belum menemukan inti dari apa yang saya baca, halaman-halaman berikutnya kening saya mulai berkerut, kemudian beberapa lembar sebelum tamat bab pertama, saya benar-benar mengernyit.
Satu bab telah usai. Saya menutup buku sembari menatap langit-langit ruang kamar saya dimana sepasang cecak tengah diamuk birahi--ini cecak nggak sopan betul sih--sembari berpikir kira-kira apa yang sudah saya dapatkan dari aktivitas membaca saya kali ini.Â
Lupakan tentang si cecak yang tak tahu sopan santun, saya hanya bertanya-tanya di dalam hati, "Barusan saya habis baca apa ya? Kok nggak paham?" Apa saya yang bodoh atau memang ada yang salah dengan bukunya?"
Apakah pengalaman mengecewakan ini hanya dialami oleh saya pribadi atau ada orang lain yang mengalami hal yang sama? Maka, untuk menjawab rasa penasaran ini saya mencoba membaca ulasan dari buku tersebut di Goodreads, jejaring media sosial khusus mengulas dan memberi penilaian terhadap buku.Â
Sayangnya, saya tidak menemukan ulasan untuk versi terjemahan bahasa Indonesia. Tapi sekilas saya melihat ulasan dalam bahasa inggris yang menganggap buku itu terlalu klise dan mengulang apa yang sudah dimafhumi oleh kebanyakan orang.
Oke, tapi yang akan kita bahas kali ini adalah soal kualitas terjemahan buku kita. Dimana, saya merasa kecewa terhadap kualitas terjemahannya, bukan tentang apa isi bukunya.
Pertanyaan saya, pernah nggak sih kamu merasakan hal yang sama? Dimana kamu sudah membaca sebuah buku terjemahan, tapi kamu benar-benar tidak paham apa yang ditulis oleh si penulis buku tersebut? Atau paling tidak, kamu memang memahaminya, tapi tidak maksimal.Â
Banyak bagian yang tidak bisa kamu pahami. Â Dan rata-rata, saya mengalami lack of information ini ketika membaca buku-buku terjemah. Sementara ketika saya membaca buku (fiksi/non-fiksi) yang ditulis oleh penulis lokal, saya memahaminya dengan maksimal.
Dimana masalahnya? Kenapa buku-buku terjemahan seringkali sulit dipahami? Kenapa buku terjemahan terkesan rigid?
Menurut pengamatan saya, ada beberapa hal yang melatari alasan kenapa buku terjemahan tidak bisa kita nikmati.
Pertama, penerjemah menerjamahkan buku tersebut secara leterlek/harfiah, sehingga kualitas alih bahasa tidak bisa dinikmati oleh para pembaca dari bahasa tujuan.
Menerjemahkan sendiri memiliki dua metode. Pertama, metode menerjemahkan secara semantik. Kedua, menerjemahkan secara komunikatif. Penerjemah yang menggunakan metode semantik akan menerjemahkan teks secara harfiah tanpa pengubahan makna atau penambahan.Â
Jalan ini biasanya diambil untuk menghormati keaslian pemikiran penulis. Sebaliknya, bagi penerjemah komunikatif, pemahaman yang purna dari pembaca adalah hal yang diutamakan sehingga dia bisa mengubah makna, mencari padanan kata yang pas bahkan bisa mengurangi atau menambahkan beberapa bagian dengan alasan supaya pembaca bisa memahaminya secara komprehensif.
Kedua, mungkin apa yang ditulis si penulis berdasar pengalaman, budaya dan hal-hal yang tidak familiar dengan keadaan dan kondisi dari pembaca di negara atau budaya lain. Saya pernah membaca sebuah buku yang memuat sebuah joke yang saya pikir itu bukan joke. Saya sendiri tidak tertawa ketika membacanya. Tapi penulisnya mengatakan ini joke yang luar biasa.
Perlu diingat bahwa aktivitas menerjemahkan sebuah teks bukan hanya sekedar mengalihkan bahasa, tapi juga memahami korelasi dan perbedaan budaya antara dua bahasa. Sayangnya, ada saja penerjemah yang tidak memahami secara komprehensif kebudayaan dan literatur bahasa asal.
Ketiga, penerjemah memiliki keterbatasan waktu dengan adanya deadline yang singkat. Apa lagi jika buku yang diterjemahkan itu adalah pesanan penerbit, bukan penerjemah sendiri yang menawarkannya kepada penerbit.
Keempat, apresiasi yang minim dari pihak penerbit kepada penerjemah. Saya tidak terlalu paham seperti apa mekanisme royalti yang diberikan penerbit untuk para penerjemah buku. Hanya saja, sependek pengetahuan saya, para penerjemah ini mendapatkan bayaran dengan sistem beli putus.
Terlepas dari semua itu, kita harus menyadari bahwa menerjemahkan teks itu tidaklah gampang. Mungkin menerjemahkan artikel tidak terlalu sulit, tapi bagaimana dengan buku? Lebih-lebih buku non fiksi yang penuh dengan muatan istilah-istilah ilmiah, tentunya jauh lebih sulit lagi. Maka, disinilah para penerjemah harus memiliki kompetensi yang memadai dalam menerjemahkan teks.
Kita harus memahami bahwa tidak ada terjemahan yang sempurna. Bagaimana pun juga, setiap bahasa memiliki perbedaan yang tidak bisa dengan mudah diterjemahkan dengan baik ke dalam bahasa lain.
Misal, dalam bahasa Sunda, ada istilah 'tijengkang, tikusruk, tiseureuleu, tisoledat'. Semua kosakata tersebut memiliki arti 'terjatuh'. Yang membedakannya adalah dari penyebab terjatuhnya. Nah, penerjemah harus memahami kompleksitas bahasa asal dengan bahasa tujuan.
Sebagai simulasi, saya akan memberikan contoh terjemahan yang kaku dan luwes seperti teks di bawah ini:
Teks 1
"Who wants to jump first?"
"I'll do it!"
Terjemahan 1:
"Siapa yang mau loncat pertama kali?"
"Aku akan melakukannya!"
Terjemahan 2:
"Siapa yang mau loncat duluan?"
"Aku saja!"
Nah, tentunya kamu lebih menyukai gaya terjemahan kedua, bukan? Kesannya lebih enak dibaca dan lebih luwes.
Mari kita ambil contoh penerjemahan teks narasi yang diambil dari novel 'Hunger Game' yang ditulis Saudari Tania Vey di Quora untuk menjawab pertanyaan 'Apa yang Membuatmu Kurang Menyukai Buku Terjemahan?'
Mari kita simak,
Saat aku terbangun, bagian samping ranjangku ternyata dingin. Jemariku terulur, mencari kehangatan Prim tapi hanya menemukan kain kanvas kasar yang menutupi kasur. Dia pasti mengalami mimpi buruk dan naik ke ranjang ibu kami. Tentu saja, dia pasti mimpi buruk. Ini hari pemungutan. (dari Gramedia Digital, juli 2019)
Bandingkan dengan teks aslinya,
When I wake up, the other side of the bed is cold. My fingers stretch out, seeking Prim's warmth but finding only the rough canvas cover of the mattress. She must have had bad dreams and climbed in with our mother. Of course, she did. This is the day of the reaping.
Dari dua teks tersebut, justru saya lebih memahami konteks ketika membaca naskah aslinya. Untuk alasan inilah barangkali ada beberapa pembaca yang jauh lebih menyukai membaca teks asli dibandingkan membaca versi terjemahan. Kenapa? Karena teks terjemahan seringkali rentan terdistorsi dari makna dan keluasan cakupan bahasa.
Lalu apa solusinya supaya kualitas karya terjemahan bisa semakin baik? Saya pikir harus ada pihak yang turut mengontrol kualitas buku-buku terjemahan sehingga tidak ada lagi buku-buku terjemahan yang terkesan mengecewakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H