Mohon tunggu...
Kang Sole
Kang Sole Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Masih belajar agama di pinggirang Kota Yogyakarta | Pemilik akun twitter @sajakharmoni | Hobi: Meracik Kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Putri Senja di Jalan Depan Rumahku

15 Oktober 2016   00:29 Diperbarui: 15 Oktober 2016   00:42 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring dengan berlalumu diantara bayang-bayang pintu sialan ini, aku akan kembali ke kursi goyangku. Menatap sejenak lilin merah yang termakan oleh panasnya api yang masih lincah bergoyang ditengah-tengah ruangan yang sama panasnya. “Sungguh, bahagia sifatmu. Tak berpikir bahwa nanti kau akan mati, sirna ditelan oleh nafasmu sendiri.” Olokku dalam hati yang masih penuh penyesalan.

Malam semakin larut. Lilin merah ini, sebentar lagi akan menemui ajalnya. Aku tak sudi menggantinya khusus untuk malam ini. Biarlah dia merana dalam dukanya sendiri. Rumahku ini, meskipun kecil dan penuh dengan barang-barang yang berserakan, bagiku tetap nyaman. Sesemrawut apapun jika malam telah menyelimutinya dan tak sedikitpun lilin yang menyapa, maka setiap mata yang memandang akan tetap sama. Gelap tak berwarna. Sunyi tak bersuara.

Untuk malam ini, aku akan meluangkan waktu untuk berdoa. Mendekap setiap nafas yang masih tersengal, menderu cepat bersama angin dan merapatkan jemariku didepan dada. Merapalkan doa-doa, memuji keindahanNya dalam keindahanmu, mengagumi ciptaanNya dalam ragamu, dan menyanjung kemurahanNya atas paras cantikmu. Kurangkai kata sesederhana mungkin yang sebenarnya Tuhan sudah paham meski tak tersebut dalam bibir, tapi aku lebih mantap mendoakanmu dalam bibir dan lidahku, maka disitu, untuk malam ini aku memohon kesehatan dan keselamatanmu, semoga malam besok kamu dapat berkunjung ke rumahku. Maksudku berkunjung di jalanan depan rumahku.

Aku hafal sekali bahwa besok adalah ulang tahunmu. Hari lahirnya nama Putri dalam dirimu, tepat setahun setelah kamu pertama kali melewati rumahku. Pertama kali aku mengenal aroma bayangmu dan jejak kaki mungilmu. Aku akan merayakannya bersamamu. Tak ada lagi pintu yang tertutup dan mata yang sembunyi. Juga kata dan kalimat indah akan bertubi-tubi menyanjungmu, yang telah kupersiapkan sebulan yang lalu. Malahan telah aku urutkan mana yang pertama kali dan mana yang harus disampaikan setelah kamu lelah untuk tersenyum.

Telah tiba saatnya, senja menyapa di langit-langit sore. Hiasan awannya yang menguning telah memberikan warna baru bagi mereka yang dirundung kepiluan. Kesedihan yang mendalam. Mau tidak mau harus menikmatinya dan tersenyum akan indahnya senja yang tak satupun awan kelabu bergelayut di pancaranya.

Tatapanku tertuju pada jalan yang berada persis didepan pintu rumahku. Telah kubuka lebar-lebar pintunya yang jelek itu. Engsel atasnya turut serta menyusul kembarannya menuju alam baka. Patah dan terbelah menjadi dua bagian. Aku tak mau membuang waktu hanya karna perlahan menggeser dan membukanya. Dengan sekali tarik, entah perhitunganku yang salah mengenai sudut ataupun tenaga yang dibutuhkan untuk menggeser pintu itu, pintunya lepas dari kediamannya. Baru sekali ini aku melihat pintuku terbaring lemas tak berdaya rubuh didepanku. Tapi ku biarkan. Ku geser kekiri agar dia bisa beristirahat santai menikmati gelisahku yang semakin detik, kian bertambah.

Jelas sudah. Aku terlambat mendobrak pintu rumahku. Dalam alunan senja yang sendu, jalanan sepi. “Ternyata Putri telah berada di singgasananya, diatas sungai kering itu, kini aku disini dan akan menunggunya kembali.” Kursi goyangku segera kuangkat di teras. Tidak jadi mengangkatnya. Terlalu berat untukku. Aku memilih kursi biasa yang berada di sampingnya. Aku menikmati senja bersama rindu yang gelisah. Saat-saat debar dimana kata dan kalimat perlu untuk ditulis, jika tak ingin lupa serta merta menghapusnya.

Senja perlahan turun. Kuamati, Tuhan mulai menyebar bintang-bintang diatas sana. Menggelar petang diantara awan-awan yang hilir mudik mengikuti waktu. Kali ini aku akan menemanimu untuk berbicara, Putri. 

Mencegatmu dalam malam dan tak akan membiarkanmu berlalu begitu saja, termasuk bayangmu. Semua tentangmu akan aku sekap dalam ruang indah bernama rumahku. Aku siap mendengar semua cerita mitos-mitosmu. Aku siap menerjemahkan monster yang ada dikepalamu. Aku bersedia menjadi bagian dari ceritamu yang tak keluar dari kata-katamu. Aku telah mempersiapkan diriku untuk semua hal.

Dengan hitungan waktu seperti kemarin malam. Arloji satu-satunya yang aku punya, berdering. “Putri akan datang.” Maksudku akan lewat. Tak sengaja aku mengangkat kursi yang berada dalam teras rumahku, dan memasukkannya. Mungkin gelisahku menginginkan, aku dan kamu bertukar pikiran bersama lilin merah ini. Lilin yang sama dengan temannya yang sudah terbakar kemarin malam.

 Nanti kamu akan kuperkenankan untuk menduduki kursi goyang peninggalan kakekku. Kalau bisa, lelahmu menunggu saat senja bisa lenyap dalam lelap di ayunan kursi goyang kakekku. Aku cukup duduk dikursi ini, kursi yang tak ada sandaranya. Biar aku tak pernah mengantuk untuk menatap dirimu yang pulas dengan mimpi-mimpi tidurmu. Meski dalam lelapmu tak berlukiskan senyum, itu sudah cukup untuk mengobati seluruh rinduku yang terbelenggu oleh diam dan ketakutanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun