Mohon tunggu...
Kang Sole
Kang Sole Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Masih belajar agama di pinggirang Kota Yogyakarta | Pemilik akun twitter @sajakharmoni | Hobi: Meracik Kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Putri Senja di Jalan Depan Rumahku

15 Oktober 2016   00:29 Diperbarui: 15 Oktober 2016   00:42 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namamu adalah Mina, tetapi aku lebih sering memanggilmu Putri. Entah apa alasannya hingga akhirnya aku memanggilmu dengan nama Putri. Bagiku nama itu adalah cerminan dari seseorang yang punya nama tersebut. Mungkin karena dirimu begitu anggun, mungkin juga kau yang sangat ramah kepada semua orang sampai akhirnya aku suka memanggilmu Putri.

Setiap sore kamu selalu berada ditikungan jalan dipinggir desa, di tepi sungai yang kering sambil menunggu, menatap langit yang mulai menghitam untuk menyaksikan matahari ditelan oleh makhluk besar yang kamu namai sendiri tanpa kamu beritahukan kepada orang lain. Kamu pernah bercerita kepada orang lain mengenai makhluk besar tersebut, kamu ceritakan mitos-mitos yang telah kamu hafal hingga orang-orang tersebut merasa baru pertama kali mengetahui sebuah cerita yang belum pernah mereka dengar selama hidup di perkampungan ini. 

Aku tak tahu pasti cerita yang kamu bawa, aku hanya mendengar dari orang-orang yang membicarakan ulang ceritamu sambil tertawa. Aku tak tahu maksud mereka, aku juga tak terlalu tertarik dengan ceritamu, aku hanya suka membicarakanmu, membicarakan semua tentangmu.

Ketika malam sudah berada diantaramu, kamu akan perlahan bangun dari dudukmu, menatap sekelilingmu seolah mencari seseorang yang bisa kamu ajak pulang dan bercerita sepanjang jalan. 

Tapi, kamu tak akan pernah menemukan seorangpun disitu, entah kenapa setiap pergantian antara siang dan malam semua orang seolah sudah terjadwal untuk berada didalam rumah, mengunci semua pintu dan jendela. Kamu sendirian. 

Berdiri sejenak, kamu balikkan badanmu perlahan dan mulai menyusuri jalanan yang gelap tanpa satupun lampu jalan yang terpasang disana. Hanya sisa cahaya sore tadi yang masih berada dalam penglihatanmu yang kamu gunakan untuk menerangi setiap langkahmu.

Tepat pukul 8 malam kurang 20 menit, kamu akan melewati rumahku. Rumah yang pertama kamu lewati, karena rumahku ini merupakan pembatas antara kampung dan lembah-lembah sunyi. Di dalamnya aku akan bersandar pada kursi goyang peninggalan kakekku, dan menyalakan sebatang lilin merah untuk menemani awal malamku. 

Disaat kamu perlahan nampak dikegelapan menyusuri sunyinya jalanan kampung, disaat itu pula aku bangun dari kursi goyang kakekku untuk menyapa bayangmu. Dari balik pintu yang engselnya tinggal bagian atas, karena engsel bawah sudah lama berkarat dan termakan usia, meninggal bersama dengan almarhum kakekku, disitu aku berpindah. “Pintu ini mungkin akan tertawa melihat tingkahku,” bisikku pada bayanganku sendiri yang menari bersama lincahnya api pada ujung lilin di meja sana.

Putri yang cantik, tambah jelita bila berjalan di bayang-bayang malam. Saban hari, tak pernah alpa, aku akan menyapamu dari balik pintu. Meski dalam dada dan dalam pikiran, kata dan sapaku hanya kutujukan padamu. Sesekali aku ingin keluar, mendobrak pintu jelek yang menjadi penghalang antara aku dan dirimu. 

Sebelum jauh kau melewati rumahku, aku ingin sekali berbincang denganmu. Mengatakan bahwa aku telah menemukan nama indah untuk menghiasi seluruh lembar-lembar hidupmu. “Aku telah lama memanggilmu Putri, dari sejak kamu pertama melewati rumahku, hingga nanti jika Tuhan menjadikan dirimu bagian dalam rumahku”, kataku tepat didepanmu. 

Tak apa bila akhirnya kamu menolaknya, yang pasti seluruh dunia telah menjadi saksi bahwa lidah dan kata-kataku pernah menyapamu dalam gema malam. Tapi kenyataannya pintu itu tertutup rapat, tak bergeser sama sekali, tak bersuara sama sekali, pintu itu tetap sunyi menghantarkan kepergianmu langkah demi langkah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun