Mohon tunggu...
Kang Rozaq
Kang Rozaq Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pendakwah, Aktivis Sosial dan Keagamaan, Laskar Pelayan Jama'ah (LPJ)

Aktivis Gerakan Aksi Sosial dan Keagamaan (GASA) dan Penggiat/Laskar Pelayan Jamaah

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Memilih Pemimpin dalam Islam: Sebuah Tuntunan Syariat dan Hikmah

27 November 2024   08:35 Diperbarui: 27 November 2024   08:38 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan pemimpin merupakan salah satu keputusan besar yang memengaruhi arah kehidupan masyarakat, baik di dunia maupun dalam pandangan akhirat. Islam, sebagai agama yang sempurna, memberikan panduan komprehensif tentang memilih pemimpin yang adil, amanah, dan memberikan maslahat kepada umat.

Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur'an: " Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" 

Ayat ini menunjukkan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar layak, yaitu mereka yang memiliki sifat adil dan mampu menegakkan kebenaran. Nabi Muhammad SAW juga bersabda:  "Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini memiliki makna bahwa jika peran-peran penting dalam masyarakat diberikan kepada orang yang tidak kompeten, maka kehancuran akan datang.

Pernyataan ini juga dapat diartikan sebagai salah satu tanda kiamat, di samping munculnya pemimpin yang tidak berkompeten. Selain itu, mempercayakan urusan kepada orang yang bukan ahlinya juga dapat diartikan sebagai bukti tidak adanya perhatian terhadap agama.

Pemimpin yang tidak amanah dan tidak memahami tanggung jawabnya akan membawa kehancuran, bukan hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi umat yang dipimpinnya. Karena itu, memilih pemimpin yang benar-benar layak adalah kewajiban setiap individu yang memiliki hak pilih. 

Imam Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata:  "Kezhaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang-orang baik.". Ucapan ini adalah seruan yang menggugah hati setiap orang beriman agar tidak apatis terhadap proses pemilihan pemimpin. Mengabaikan kewajiban memilih pemimpin yang baik adalah bentuk pembiaran terhadap kezaliman, yang pada akhirnya akan merugikan umat. 

Sementara Syaikh Yusuf Qardhawi, salah satu ulama besar abad ini, memberikan panduan yang sangat relevan dalam mempertimbangkan pilihan pemimpin, yaitu: 1. Jika semuanya baik, pilihlah yang paling banyak kebaikannya, 2. Jika ada yang baik dan ada yang buruk, pilihlah yang baik, dan 3. Jika semuanya buruk, pilihlah yang paling sedikit keburukannya. 

Panduan ini bukan sekadar strategi politik, tetapi juga bentuk ijtihad yang sesuai dengan maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat). Dalam konteks yang sulit, di mana tidak ada pilihan ideal, umat Islam tetap harus mengambil peran aktif untuk memilih yang paling memberikan maslahat dan mengurangi mudarat. 

Foto Calon Walikota-Wakil Walikota Jogja : sumber KPU Kota Jogja
Foto Calon Walikota-Wakil Walikota Jogja : sumber KPU Kota Jogja

Islam telah menetapkan sejumlah kriteria pemimpin yang ideal, di antaranya:  1. Adil dan Amanah, yaitu pemimpin harus mampu menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Rasulullah Muhammad SAW menyebut imam atau pemimpin yang adil sebagai satu dari tujuh kelompok yang mendapat naungan Allah di hari kiamat. Sebenarnya agama tidak hanya menuntut pemimpin untuk bersikap adil, tetapi juga umat manusia secara umum sebagaimana tercantum dalam Surat An-Nahl ayat 90, yang artinya: "Sungguh Allah memerintahkan (kamu) untuk berbuat adil dan berbuat baik," (Surat An-Nahl ayat 90).

Sementara pada surat lain, Allah juga memerintahkan manusia untuk bersikap adil. Pada Surat Al-Hujurat ayat 9 berikut ini, Allah menyatakan restu-Nya untuk mereka yang berbuat adil, yaitu "Berbuat adillah, Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil," (Surat Al-Hujurat ayat 9).

Adapun sebutan imam atau pemimpin yang adil dapat ditemukan dalam riwayat Bukhari dan Muslim berikut ini. Imam atau pemimpin yang adil disebut pertama sebagai kelompok yang mendapat naungan Allah di hari kiamat.

Peyebutan pertama imam atau pemimpin yang adil menandai nilai kehadirannya di tengah masyarakat karena berurusan dengan kepentingan publik dan hajat hidup orang banyak, terutama sebagai pihak yang paling pertama memenuhi kelompok dhuafa dan kelompok masyarakat yang terpinggirkan haknya.

Dari Abu Said Al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: Dari Abu Said Al-Khudri RA: Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah Azza Wajalla dan yang paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat adalah pemimpin yang adil, sedangkan manusia paling dibenci oleh Allah dan paling jauh tempat duduknya di hari kiamat adalah pemimpin yang zalim." (HR Tirmidzi).

Selain itu keriteria ke-2. Beriman dan Bertakwa, dimana pemimpin harus memiliki akhlak Islam yang kuat, karena kebijakan yang dibuatnya akan mencerminkan nilai-nilai tersebut. Dalam Al-Qur'an, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk berkata kepada Fir'aun dengan lembut agar dapat menyampaikan kebenaran:  Di dalam QS. Thaha, yang artinya: "Berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut." (QS. Thaha: 44).

Keriteria ke-3. Pemimpin yang Jujur. Hal ini Rasulullah SAW pernah menegaskan salah satu sahabatnya untuk tidak meminta jabatan, ucapan ini terekam dalam hadis riwayat al-Bukhari, yang artinya: "Dari Abdurrahman bin Samurah, beliau mengatakan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadaku: "Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan dengan tanpa meminta, maka kamu akan ditolong, dan jika kamu diberinya karena meminta, maka kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada suatu yang lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik." (HR Bukhari).

Selain itu, kriteria yang ke-4. Pemimpin yang Ahli dan Cerdas. Dimana seorang pemimpin haruslah orang yang ahli dan cerdas. Keahlian ini meliputi berbagai hal, termasuk menata kewarganegaraan yang akan membawa negara dan rakyat pada kestabilan di berbagai bidang, baik kemananan, ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Lebih-lebih, dalam pemilihan kepala daerah, yang sangat dekat dalam kehidupan kita.

Memberikan kepercayaan kepada yang bukan ahlinya merupakan suatu tanda kehancuran, sebagaimana Rasulullah SAW pernah bersabda, yang artinya: "Apabila sifat Amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat". Orang itu bertanya, "Bagaimana hilangnya amanah itu?" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat". (HR Bukhari).

Keriteria yang ke-5. Berorientasi pada Maslahat Umat, hal ini sebagaimana disampaikan oleh Ustadz Adi Hidayat, pemimpin yang dipilih haruslah seseorang yang mendekatkan umat kepada maslahat-maslahat kehidupan. 

Foto Calon Walikota-Wakil Walikota Jogja : sumber KPU Kota Jogja
Foto Calon Walikota-Wakil Walikota Jogja : sumber KPU Kota Jogja

Untuk itu, Islam mengajarkan bahwa setiap suara yang diberikan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Rasulullah SAW bersabda: "Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, dalam memilih pemimpin, umat Islam tidak boleh hanya mempertimbangkan kepentingan pribadi atau golongan, tetapi memperhatikan maslahat bagi umat secara keseluruhan. 

Proses memilih pemimpin adalah bagian dari usaha menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Ketika orang-orang baik bersikap diam, maka orang-orang jahat akan mengambil alih kekuasaan, sebagaimana diingatkan oleh Imam Ali r.a. Umat Islam harus bersatu untuk menghadirkan suara-suara kebaikan, sebagaimana disampaikan oleh Ustadz Adi Hidayat. 

Dalam QS. Surat Ar-Ra'd ayat 11, yang artinya : "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia". Ayat ini menegaskan bahwa perubahan positif hanya akan terjadi jika umat Islam aktif mengambil bagian dalam proses tersebut, termasuk dalam memilih pemimpin. 

Oleh karena itu, memilih pemimpin adalah tanggung jawab besar yang harus ditunaikan dengan niat ikhlas, pertimbangan yang matang, dan mengacu pada syariat Islam. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Yusuf Qardhawi, jika tidak ada pilihan sempurna, pilihlah yang paling sedikit keburukannya. Sebagai umat Islam, kita tidak boleh diam melihat kezaliman, karena diamnya orang baik adalah pintu masuk bagi kehancuran. 

Semoga Allah SWT memberikan kita pemimpin yang adil, amanah, dan membawa maslahat bagi seluruh umat. Wallahu a'lam bishawab.  (KangRozaq)

#asmidesanta

#asmidesantajogja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun