Yaitu posisi dimana sama-sama lupa bahwa ada jiwa muda negeri ini yang sedang menyaksikan "keintiman" mereka. Mengamati segala bentuk cela yang siap ditiru kelak, saat yang muda itu makin dewasa.
Dan akhirnya, tembok yang bergetar pun mempertanyakan.
Apa beda penjual sprei yang mencela Ibunda seorang raja, dengan pecinta kopi yang membela raja nya dengan cara hampir serupa. Membicarakan sosok Ibunda sang pencela.
Padahal raja dan ibundanya, diam seribu bahasa. Tak ada sedikitpun niat untuk membalas dengan kedengkian yang sama. Mereka sangat tahu, ini adalah hari raya. Mereka sangat tahu, diam tak bersuara adalah aplikasi terbijak seorang pejuang saat menalar peribahasa "Kalah jadi abu, menang jadi arang".Â
Dan kita,
Sudahlah biarkan saja.
Maha Benar semesta, tanpa segala nyinyirannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H