Sayangnya waktu tak pernah mau berkompromi, untuk sejenak berhenti. Memberi kesempatan Riyan sekadar mengatur langkah dan menata emosi. Waktu tetap saja berjalan seiring dunia yang terus berputar. Tak ada jeda walau masalah berat di depan mata rasanya ingin dihindari.
Tak ada kabar lagi dari Riyan, usai kunjungannya terakhir kali ke rumah Fitri. Tak ada juga yang mengalah mendahului menyapa sekadar bertanya kabar. Walau sesekali Fitri mengecek akun whats app Riyan dalam posisi online.
Mungkin dia juga sesekali mengecek akunku. Fitri hanya menggumam dalam hati.
Mestinya kalau positif mau nikah, terus kirim undangannya. Apa tidak tega Riyan mengirimi undangan kepadaku? Sesekali terpikir juga dalam benak Fitri, kok Riyan sama sekali belum kunjung mengirimi undangan pernikahannya.
Memasuki bulan ketiga kepindahannya dari Kebumen, Riyan kembali diguncang kegalauan. Kali ini lebih tinggi tingkatannya dibanding sebelumnya. Pernikahan yang direncanakan orang tuanya akhirnya gagal. Calon mempelai perempuan mendadak membatalkan secara sepihak.
Hanya pesan singkat melalui whats app yang diterima Riyan dari Lastri, calon istri pilihan orang tuanya.
"Maaf Mas, saya tidak mau merebut calon suami orang."
Dari mana Lastri tahu tentang Fitri? Riyan hanya bisa terbengong-bengong. Sudah terlanjur pindah kerja. Sudah terlanjur memutuskan hubungan dan bahkan komunikasi dengan Fitri. Ternyata batal menikah. Mau menyalahkan orang tuanya?
Riyan baru bisa memahami kalimat Fitri untuk belajar melihat masalah jangan hanya dari sudut kepentingan sendiri.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H