Di kotamu, traffic light berkelip,
Menyapa tiap jiwa yang melintas,
Merah, kuning, hijau dalam putaran,
Seolah mengatur langkah hidup manusia.
Merah yang berani, memerintah berhenti,
Namun, di balik nyalanya yang garang,
Ada tanda tanya yang tak terucap,
Kenapa ada yang masih berlari, mengabaikannya?
Kuning, peringatan dalam keraguan,
Seperti hidup di bawah bayang-bayang ketidakpastian,
Antara maju dan berhenti,Â
Hidup berayun dalam dilema tak berujung.
Hijau yang memanggil, memberi harapan,
Namun, apakah benar hijau itu bebas?
Di kota ini, harapan seakan ditahan,
Oleh kemacetan, polusi, dan hiruk pikuk yang tak kunjung reda.
Di setiap sudut persimpangan, cerita terungkap,
Senyum yang pudar, mimpi yang terkubur,
Pekerja yang lelah, pelajar yang tergesa,
Semua menari dalam irama kota yang gila.
Traffic light, saksi bisu kehidupan,
Mengamati ketidakadilan yang mengakar,
Orang kaya melaju dengan mobil mewahnya,
Sementara pedagang kaki lima, terhimpit di pinggir jalan.
Kemacetan bukan sekadar tentang jalan,
Tapi tentang kehidupan yang terjebak,
Dalam siklus harian tanpa henti,
Mencari rezeki di bawah langit yang sama.
Di bawah traffic light, kita semua setara,
Namun kenyataan berkata lain,
Kesetaraan hanya ada di lampu,
Di luar sana, ketidakadilan terus menyala.
Wahai penguasa kota, dengarlah jeritan,
Mereka yang terpinggirkan oleh kebijakan,
Yang hanya berpihak pada segelintir,
Meninggalkan mayoritas dalam ketidakpastian.
Traffic light di kotamu, nyalanya bercerita,
Tentang mimpi yang tergantung di udara,
Tentang harapan yang tertunda,
Dan perjuangan yang tak pernah berhenti.
Merah, kuning, hijau, terus berputar,
Dalam siklus yang tak kenal lelah,
Seperti hidup yang terus berjalan,
Meski dihantam badai ketidakpastian.
Mari kita renungkan, di balik warna-warna itu,
Ada makna yang dalam, ada pesan yang tersembunyi,
Bahwa kehidupan harus terus berlanjut,
Meski di tengah segala keterbatasan dan ketidakadilan.
Traffic light di kotamu, bukan sekadar lampu,
Tapi simbol dari kehidupan kita semua,
Yang berharap suatu saat, hijau benar-benar berarti,
Bebas dari kemacetan, bebas dari ketidakadilan,
Menuju kota yang lebih baik, lebih adil, dan manusiawi.
Udara panas sesakkan dada, pun petikan gitar para pengamen
Yang turun naik bis kota, membikin puisi wajah kota ini, juga wajah
Pada potret keluarga yang pecah berhamburan.
Kota ini saudara, rindu akan gurat hati nurani dan kejujuran kata-kata
Nyanyi keindahan cinta, sambil mengunyah kacang goreng, dada,
dan paha fried chicken dan seteguk soft drink
Sambil terus tertawakan sebuah kesetiaan
Juga pada matahari yang tak peduli pada siapa saja yang berjalan di bawah selangkangannya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H