1. **Proses Konstitusional**: Mengubah Watimpres menjadi DPA memerlukan perubahan konstitusi. Proses ini tidak mudah dan memerlukan persetujuan dari banyak pihak, termasuk DPR dan MPR.
2. **Resistensi Politik**: Tidak semua pihak akan mendukung perubahan ini. Beberapa pihak mungkin melihat ini sebagai langkah mundur atau bahkan sebagai upaya memperkuat kekuasaan presiden dengan mengontrol lembaga konsultatif yang lebih kuat.
3. **Pendanaan dan Sumber Daya**: Menghidupkan kembali DPA akan membutuhkan anggaran dan sumber daya yang tidak sedikit. Pemerintah perlu memastikan bahwa pengeluaran ini sepadan dengan manfaat yang diharapkan.
### Perspektif Sejarah
DPA memiliki sejarah panjang dalam pemerintahan Indonesia. Didirikan pada masa awal kemerdekaan, DPA berfungsi sebagai lembaga penasehat utama bagi presiden. Namun, perannya sering kali dianggap simbolis dan tidak efektif dalam mempengaruhi kebijakan besar. Kritik terhadap DPA pada masa Orde Baru mencakup pandangan bahwa lembaga ini lebih menjadi "stempel" kekuasaan daripada memberikan pertimbangan yang kritis dan independen.
### Manfaat Potensial
Jika berhasil direalisasikan, ada beberapa manfaat potensial dari perubahan ini:
1. **Kualitas Nasihat yang Lebih Baik**: Dengan struktur yang lebih kuat dan independen, DPA dapat memberikan nasihat yang lebih mendalam dan terinformasi kepada presiden.
2. **Peningkatan Akuntabilitas**: DPA yang memiliki kredibilitas tinggi dapat menjadi mekanisme kontrol dan keseimbangan yang efektif terhadap keputusan presiden, meningkatkan akuntabilitas dalam pemerintahan.
3. **Fokus pada Kebijakan Strategis**: DPA dapat difokuskan pada isu-isu strategis jangka panjang, membantu pemerintah untuk tidak hanya fokus pada masalah-masalah sehari-hari, tetapi juga merencanakan masa depan yang lebih baik.
### Kesimpulan