Di bawah langit merah senja,
terlukis wajah-wajah nestapa,
cerita getir dari sudut kota,
terselip dalam gemerlap pura-pura.
Di balik gedung-gedung megah,
ada tangis yang tak terdengar,
jerit perut kosong yang melapah,
tersembunyi dalam gemuruh suara pasar.
Di balik jendela mobil mewah,
ada tatapan kosong penuh tanya,
tentang keadilan yang hilang arah,
terserak di antara janji yang menguap sirna.
Langit merah merona,
membawa serta ironi yang mencubit sukma,
dimana harapan dan kenyataan berseteru,
di sudut jalan yang berdebu.
Di balik senyum manis para pejabat,
ada dusta yang merajalela,
rakyat kecil digilas roda birokrasi,
terbungkus rapat dalam kebijakan yang berdusta.
Berkeliling mencari sesuap nasi,
di kota yang katanya penuh rezeki,
namun tangan-tangan licik mencuri mimpi,
menyisakan hanya ilusi.
Langit merah merekah,
seakan memerah karena malu,
menyaksikan kejamnya nasib,
yang tertawa di atas luka-luka.
Di bawah jembatan, di kolong jalan,
manusia-manusia terlupakan,
hidup dalam bayang-bayang gelap,
tertekan oleh himpitan keadaan.
Ironi di bawah langit merah,
seperti sajak tanpa rima,
tak beraturan, kacau, dan pilu,
namun begitu nyata di depan mata.
Di setiap sudut, di setiap lorong,
ada kisah yang tak terungkap,
tentang harapan yang dipaksa layu,
di tengah himpitan tirani waktu.
Langit merah pun perlahan menghitam,
menutup hari dengan keperihan,
membawa serta cerita suram,
tentang ironi yang tak pernah padam.
Dan ketika malam menjemput,
kita bertanya dalam diam,
kapan ironi ini berakhir?
di bawah langit merah yang penuh dendam.