Ratapan di Balik Dinding Kumuh
Di balik dinding kumuh ini, aku tinggal,
Di mana mimpi-mimpi terkikis debu jalanan,
Di sela retak-retak tembok yang lembap,
Tertulis kisah-kisah perjuangan yang tak terdengar.
Di sudut-sudut sempit, bayang-bayang merangkak,
Menjelajahi lorong-lorong sempit tanpa cahaya,
Di setiap langkah, ada jejak derita,
Terpampang nyata, meski sering diabaikan mata.
Anak-anak berlari tanpa alas kaki,
Menggenggam harapan di telapak tangan kecil mereka,
Namun, seringkali, harapan itu terlepas,
Terkikis kerasnya kenyataan yang mereka genggam.
Lihatlah, ibu-ibu yang berjuang tanpa henti,
Menjinakkan lapar dengan sisa-sisa harapan,
Dalam senyum mereka, tersembunyi tangis,
Tangis yang tertahan, agar kuat terlihat di mata anak-anak.
Ayah-ayah pergi sebelum matahari terbit,
Mengadu nasib di jalanan yang tak pasti,
Mereka membawa pulang sejumput rezeki,
Namun, selalu ada mulut yang masih lapar di rumah.
Di sini, di balik dinding kumuh ini,
Kehidupan terus berputar dalam lingkaran yang sama,
Tak ada jeda untuk bernafas lega,
Hanya ada ratapan yang berbisik di setiap malam.
Langit malam menjadi saksi bisu,
Dari setiap doa yang terucap lirih,
Memohon keadilan yang sering tak hadir,
Mengharapkan perubahan di tengah ketidakpastian.
Ratapan di balik dinding kumuh ini,
Adalah nyanyian sunyi dari jiwa-jiwa yang terlupakan,
Mereka menunggu tangan-tangan yang peduli,
Untuk meruntuhkan dinding kumuh ini, menggantinya dengan harapan.
Hingga suatu hari nanti, di sini,
Akan terdengar tawa yang merdu,
Di balik dinding yang kokoh dan hangat,
Menghapus ratapan, menggantikannya dengan kebahagiaan yang sejati.