Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama di Indonesia sejak era reformasi, yang dilaksanakan setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Pemilu ini sangat bersejarah karena menandai kembalinya sistem demokrasi di Indonesia setelah lebih dari tiga dekade berada di bawah kekuasaan otoriter. Salah satu aspek unik dari pemilu ini adalah keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), yang pada waktu itu masih dikenal sebagai ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), dalam parlemen dengan alokasi kursi khusus yang tidak melalui pemilihan umum.
Dalam Pemilu 1999, ABRI mendapatkan 38 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kursi ini tidak didapatkan melalui proses pemilihan, melainkan dialokasikan langsung berdasarkan ketentuan khusus sebagai bentuk representasi militer dalam legislatif. Namun, penting untuk menganalisis bagaimana distribusi kursi partai politik akan berubah jika kursi ABRI ini dihilangkan.
Distribusi kursi partai politik dalam Pemilu 1999 adalah sebagai berikut:
- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P): 153 kursi
- Partai Golongan Karya (Golkar): 120 kursi
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP): 58 kursi
- Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): 51 kursi
- Partai Amanat Nasional (PAN): 34 kursi
- Partai Bulan Bintang (PBB): 13 kursi
- Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI): 4 kursi
- Partai lainnya: 27 kursi
Total keseluruhan kursi di DPR saat itu adalah 500 kursi, termasuk 38 kursi yang dialokasikan untuk ABRI. Tanpa kursi ABRI, total kursi yang diperebutkan melalui pemilihan umum akan menjadi 462 kursi.Â
Untuk melihat bagaimana distribusi kursi partai politik jika kursi ABRI dihilangkan, kita harus melakukan distribusi ulang dari 462 kursi yang ada berdasarkan perolehan suara partai-partai dalam pemilu tersebut. Langkah-langkah yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
1. **Menghitung Proporsi Suara:** Menentukan proporsi suara masing-masing partai dari total suara sah nasional.
2. **Mengalokasikan Kursi Berdasarkan Proporsi Suara:** Menggunakan metode Sainte-Lagu atau metode kuota terbesar untuk mengalokasikan kursi DPR yang tersedia.
Misalkan, proporsi suara nasional partai-partai politik dalam Pemilu 1999 adalah sebagai berikut:
- PDI-P: 33.74%
- Golkar: 22.44%
- PPP: 10.71%
- PKB: 12.61%
- PAN: 7.12%
- Partai lainnya: 13.38%
Dengan menggunakan proporsi ini, kita dapat memperkirakan alokasi kursi baru dari 462 kursi sebagai berikut:
1. **PDI-P:**
  \( 33.74\% \times 462 = 155.84 \approx 156 \) kursi
2. **Golkar:**
  \( 22.44\% \times 462 = 103.73 \approx 104 \) kursi
3. **PPP:**
  \( 10.71\% \times 462 = 49.47 \approx 49 \) kursi
4. **PKB:**
  \( 12.61\% \times 462 = 58.27 \approx 58 \) kursi
5. **PAN:**
  \( 7.12\% \times 462 = 32.87 \approx 33 \) kursi
6. **Partai lainnya:**
  \( 13.38\% \times 462 = 61.83 \approx 62 \) kursi
Berdasarkan perhitungan di atas, distribusi kursi DPR tanpa kursi ABRI akan menjadi:
- PDI-P: 156 kursi
- Golkar: 104 kursi
- PPP: 49 kursi
- PKB: 58 kursi
- PAN: 33 kursi
- Partai lainnya: 62 kursi
Perubahan ini menunjukkan bahwa setiap partai akan mendapatkan tambahan kursi, namun distribusi keseluruhan kursi akan tetap mempertahankan proporsi suara yang diterima masing-masing partai dalam pemilu tersebut. Penghapusan kursi ABRI sebenarnya meningkatkan representasi partai politik yang dipilih oleh rakyat, yang lebih mencerminkan aspirasi pemilih dalam konteks demokrasi yang lebih murni.Â
Pemilu 1999 adalah tonggak penting dalam sejarah politik Indonesia, dan analisis hipotetis ini menunjukkan bahwa penghapusan kursi ABRI dari parlemen dapat meningkatkan legitimasi demokratis institusi legislatif. Namun, perubahan ini juga harus dipertimbangkan dalam konteks dinamika politik dan keamanan pada masa itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H