Negara harus memperkuat perannya dalam pengelolaan sumber daya listrik, baik melalui BUMN maupun BUMD. Ini memastikan bahwa kontrol strategis tetap berada di tangan negara, sehingga bisa mengatur tarif listrik yang adil dan terjangkau serta mengurangi ketergantungan pada swasta dan asing.
2. **Penerapan Tarif Progresif**
  Untuk memastikan keadilan sosial, penerapan tarif listrik harus lebih progresif, di mana konsumen besar membayar tarif yang lebih tinggi untuk mensubsidi konsumen kecil. Ini membantu meringankan beban masyarakat miskin dan mendukung pemerataan kesejahteraan.
3. **Pemberdayaan Ekonomi Lokal**
  Proyek-proyek ketenagalistrikan harus melibatkan masyarakat lokal secara langsung, baik sebagai tenaga kerja maupun dalam bentuk kemitraan usaha. Ini bisa dilakukan melalui koperasi energi yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat setempat, sehingga manfaat ekonomi dapat dirasakan langsung oleh mereka.
4. **Energi Terbarukan**
  Pemerintah harus lebih serius dalam mengembangkan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan air. Ini tidak hanya mengurangi dampak lingkungan tetapi juga memberikan peluang bagi pengembangan ekonomi lokal yang berkelanjutan.
**Kesimpulan**
Marhaenisme sebagai ideologi yang berakar dari semangat kemandirian dan kedaulatan rakyat kecil, memberikan landasan kritis terhadap UU Ketenagalistrikan Tahun 2009. Undang-undang ini perlu ditinjau ulang untuk memastikan bahwa pengelolaan ketenagalistrikan di Indonesia benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat banyak dan mencerminkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Dengan mengedepankan peran negara, penerapan tarif progresif, pemberdayaan ekonomi lokal, dan pengembangan energi terbarukan, pengelolaan ketenagalistrikan di Indonesia dapat lebih sesuai dengan nilai-nilai Marhaenisme dan memberikan manfaat maksimal bagi seluruh lapisan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H