**Bagaimana Marhaenisme Mengolah Ketenagalistrikan?: Catatan Kritis Terhadap UU Ketenagalistrikan Tahun 2009**
**Pendahuluan**
Marhaenisme adalah ideologi politik dan ekonomi yang digagas oleh Bung Karno, pendiri bangsa Indonesia. Ideologi ini menekankan kemandirian dan kedaulatan rakyat kecil dalam mengelola sumber daya alam dan ekonomi nasional. Dalam konteks ketenagalistrikan, Marhaenisme menawarkan perspektif yang unik dan relevan, terutama dalam mengkritisi Undang-Undang Ketenagalistrikan Tahun 2009. UU ini telah menjadi landasan hukum bagi pengelolaan sektor ketenagalistrikan di Indonesia, namun banyak menuai kritik terkait keberpihakannya pada kepentingan rakyat kecil dan keadilan sosial.
**Prinsip Marhaenisme dalam Ketenagalistrikan**
Marhaenisme mendorong pengelolaan sumber daya yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak, bukan hanya segelintir elite. Dalam konteks ketenagalistrikan, ini berarti:
1. **Kedaulatan Energi**: Sumber daya listrik harus dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan diserahkan kepada swasta atau asing.
2. **Keadilan Sosial**: Tarif listrik harus terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah.
3. **Pemberdayaan Lokal**: Pembangunan infrastruktur listrik harus melibatkan dan memberdayakan masyarakat lokal, baik dalam bentuk tenaga kerja maupun pengelolaan.
**Kritik Terhadap UU Ketenagalistrikan 2009**
UU Ketenagalistrikan No. 30 Tahun 2009 mengatur tentang penyediaan tenaga listrik yang dapat dilakukan oleh BUMN, BUMD, badan usaha swasta, dan koperasi. Meskipun demikian, undang-undang ini menuai beberapa kritik utama dari perspektif Marhaenisme.
1. **Liberalisasi Sektor Ketenagalistrikan**
  UU ini membuka peluang bagi sektor swasta untuk berpartisipasi dalam penyediaan tenaga listrik. Dari sudut pandang Marhaenisme, liberalisasi ini dikhawatirkan dapat mengurangi kedaulatan energi nasional. Keterlibatan swasta, terutama perusahaan asing, bisa menggeser kontrol strategis sektor ketenagalistrikan dari tangan negara ke pasar bebas. Ini berpotensi menimbulkan ketergantungan dan mengurangi kemampuan negara untuk memastikan tarif listrik yang adil dan terjangkau.
2. **Ketidakadilan Tarif Listrik**
  Meskipun UU mengatur tarif listrik harus berdasarkan prinsip keadilan, kenyataannya, banyak masyarakat kecil yang masih menghadapi tarif listrik yang tidak terjangkau. Subsidi listrik yang diberikan pemerintah sering kali tidak cukup untuk meringankan beban masyarakat miskin. Selain itu, skema tarif berjenjang yang diterapkan lebih menguntungkan konsumen besar, seperti industri dan bisnis, ketimbang rumah tangga kecil.
3. **Kurangnya Pemberdayaan Lokal**
  Implementasi UU ini sering kali tidak melibatkan masyarakat lokal secara optimal dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Proyek-proyek besar sering kali dikerjakan oleh kontraktor besar dari luar daerah, bahkan luar negeri, yang minim melibatkan tenaga kerja lokal. Akibatnya, manfaat ekonomi dari pembangunan ini tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat sekitar.
4. **Dampak Lingkungan**
  Pembangunan infrastruktur listrik, terutama PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang menggunakan batu bara, sering kali mengabaikan dampak lingkungan dan kesehatan masyarakat setempat. Ini bertentangan dengan prinsip Marhaenisme yang mengedepankan kesejahteraan rakyat kecil, termasuk dalam aspek lingkungan hidup yang sehat.
**Alternatif Pengelolaan Ketenagalistrikan Berdasarkan Marhaenisme**
Sebagai solusi, Marhaenisme menawarkan beberapa pendekatan alternatif dalam pengelolaan ketenagalistrikan:
1. **Penguatan Peran Negara**
  Negara harus memperkuat perannya dalam pengelolaan sumber daya listrik, baik melalui BUMN maupun BUMD. Ini memastikan bahwa kontrol strategis tetap berada di tangan negara, sehingga bisa mengatur tarif listrik yang adil dan terjangkau serta mengurangi ketergantungan pada swasta dan asing.
2. **Penerapan Tarif Progresif**
  Untuk memastikan keadilan sosial, penerapan tarif listrik harus lebih progresif, di mana konsumen besar membayar tarif yang lebih tinggi untuk mensubsidi konsumen kecil. Ini membantu meringankan beban masyarakat miskin dan mendukung pemerataan kesejahteraan.
3. **Pemberdayaan Ekonomi Lokal**
  Proyek-proyek ketenagalistrikan harus melibatkan masyarakat lokal secara langsung, baik sebagai tenaga kerja maupun dalam bentuk kemitraan usaha. Ini bisa dilakukan melalui koperasi energi yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat setempat, sehingga manfaat ekonomi dapat dirasakan langsung oleh mereka.
4. **Energi Terbarukan**
  Pemerintah harus lebih serius dalam mengembangkan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan air. Ini tidak hanya mengurangi dampak lingkungan tetapi juga memberikan peluang bagi pengembangan ekonomi lokal yang berkelanjutan.
**Kesimpulan**
Marhaenisme sebagai ideologi yang berakar dari semangat kemandirian dan kedaulatan rakyat kecil, memberikan landasan kritis terhadap UU Ketenagalistrikan Tahun 2009. Undang-undang ini perlu ditinjau ulang untuk memastikan bahwa pengelolaan ketenagalistrikan di Indonesia benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat banyak dan mencerminkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Dengan mengedepankan peran negara, penerapan tarif progresif, pemberdayaan ekonomi lokal, dan pengembangan energi terbarukan, pengelolaan ketenagalistrikan di Indonesia dapat lebih sesuai dengan nilai-nilai Marhaenisme dan memberikan manfaat maksimal bagi seluruh lapisan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H