1. **Liberalisasi Sektor Ketenagalistrikan**
  UU ini membuka peluang bagi sektor swasta untuk berpartisipasi dalam penyediaan tenaga listrik. Dari sudut pandang Marhaenisme, liberalisasi ini dikhawatirkan dapat mengurangi kedaulatan energi nasional. Keterlibatan swasta, terutama perusahaan asing, bisa menggeser kontrol strategis sektor ketenagalistrikan dari tangan negara ke pasar bebas. Ini berpotensi menimbulkan ketergantungan dan mengurangi kemampuan negara untuk memastikan tarif listrik yang adil dan terjangkau.
2. **Ketidakadilan Tarif Listrik**
  Meskipun UU mengatur tarif listrik harus berdasarkan prinsip keadilan, kenyataannya, banyak masyarakat kecil yang masih menghadapi tarif listrik yang tidak terjangkau. Subsidi listrik yang diberikan pemerintah sering kali tidak cukup untuk meringankan beban masyarakat miskin. Selain itu, skema tarif berjenjang yang diterapkan lebih menguntungkan konsumen besar, seperti industri dan bisnis, ketimbang rumah tangga kecil.
3. **Kurangnya Pemberdayaan Lokal**
  Implementasi UU ini sering kali tidak melibatkan masyarakat lokal secara optimal dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Proyek-proyek besar sering kali dikerjakan oleh kontraktor besar dari luar daerah, bahkan luar negeri, yang minim melibatkan tenaga kerja lokal. Akibatnya, manfaat ekonomi dari pembangunan ini tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat sekitar.
4. **Dampak Lingkungan**
  Pembangunan infrastruktur listrik, terutama PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang menggunakan batu bara, sering kali mengabaikan dampak lingkungan dan kesehatan masyarakat setempat. Ini bertentangan dengan prinsip Marhaenisme yang mengedepankan kesejahteraan rakyat kecil, termasuk dalam aspek lingkungan hidup yang sehat.
**Alternatif Pengelolaan Ketenagalistrikan Berdasarkan Marhaenisme**
Sebagai solusi, Marhaenisme menawarkan beberapa pendekatan alternatif dalam pengelolaan ketenagalistrikan:
1. **Penguatan Peran Negara**