Mohon tunggu...
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Membaca Buku Dan Mendengarkan Musik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sikap Politik GmnI Komisariat Universitas Terbuka Menyikapi Hasil Pemilu 2024

15 Februari 2024   06:30 Diperbarui: 15 Februari 2024   06:30 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.canva.com/design/DAF8k4HlqXY/xf77zcKl2WI1d0FhK8Vc-A/edit

Bersatu untuk Memenangkan Cita-Cita Proklamasi 17 Agustus 1945!

Tanggal 14 Februari 2024 kemarin, rakyat Indonesia sudah memilih Presiden Dan Wakil Presiden Dan wakil-wakilnya yang akan bertugas di lembaga perwakilan Rakyat: DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Penghitungan suara secara resmi oleh KPU memang belum usai, namun 'hitung cepat' (quick count) yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei telah memberikan gambaran hasilnya.

Berdasarkan hasil hitung cepat itu, GmnI Komisariat Universitas Terbuka memberikan sejumlah penilaian sebagai berikut:

Semangat perubahan: Kemenangan partai-partai nasionalis dan merosotnya Representasi kekuatan neoliberal.

Hasil pemilu 2024 menunjukkan bahwa "partai-partai nasionalis", yang kerap mengangkat tema kemandirian atau kedaulatan nasional, berhasil meraih suara signifikan. PDIP meraih suara terbanyak (17%), Gerindra berhasil masuk ke tiga besar dengan perolehan suara 13%-14%, dan Nasdem berhasil meraih 9% suara di arena pemilu kali ini.

Di sisi lain, partai yang selama ini kita tunjuk hidungnya sebagai representasi kekuatan neoliberal, mengalami penurunan suara cukup signifikan. Padahal, mereka didukung dengan kekuatan logistik dan mesin kekuasaan. Dapat dikatakan bahwa di kalangan sebagian massa rakyat, ketiga partai itulah yang dianggap "alternatif" pada pemilu 2024.

Dengan demikian, hasil Pileg 2024 menunjukkan adanya perubahan konstelasi politik nasional: "partai-partai nasionalis" cenderung menguat, sedangkan partai yang merepresentasikan paham neoliberal merosot. Hal ini juga dapat dilihat sebagai menguatnya sentimen "nasionalisme" di kalangan massa rakyat dan penolakan terhadap model ekonomi neoliberal.

Merosotnya kekuatan neoliberal itu bisa dilihat pada tiga faktor. Pertama, menguatnya wacana anti neoliberalisme dengan frasa "antek asing" dalam momentum pemilu ini. Kemunculan frasa "antek asing" memang bukan datang "dari bawah" tapi menjadi diterima luas karena mewakili kekecewaan rakyat marhaen terhadap ketidakmampuan pemerintah bernegosiasi dengan kepentingan politik modal asing yang disisi lain tetap justru ingin adanya keberlanjutan terhadap Program Program Pemerintah Yang Berjalan Saat Ini

Kedua, menguatnya gugatan terhadap modal asing. Manfaat kehadiran modal asing yang sering digembor-gemborkan kaum neoliberal mulai dipertanyakan. Fakta menunjukkan bahwa kehadiran modal asing telah memicu pencaplokan terhadap sebagian besar sumber daya alam dan aset nasional ke tangan korporasi asing.

Kedua, menguatnya gugatan terhadap modal asing. Manfaat kehadiran modal asing yang sering digembor-gemborkan kaum neoliberal mulai dipertanyakan. Fakta menunjukkan bahwa kehadiran modal asing telah memicu pencaplokan terhadap sebagian besar sumber daya alam dan aset nasional ke tangan korporasi asing.

Ketiga, gembar-gembor bahwa neoliberalisme bisa melahirkan pemerintahan bersih juga terbukti isapan jempol belaka. Alhasil, isu pemberantasan korupsi-kolusi-nepotisme sebagai salah satu jualan andalan rezim neoliberal tak lagi laku di kalangan rakyat marhaen.

Dalam konteks ini, meningkatnya dukungan rakyat marhaen terhadap "partai-partai nasionalis" harus dimaknai sebagai kehendak perubahan, atau lebih kongkritnya untuk keluar dari sistem ekonomi-politik neoliberal saat ini dan menerapkan sistem ekonomi-politik yang memprioritaskan kepentingan nasional dengan rakyat marhaen sebagai subyek utama di dalamnya.

Kebutuhan Persatuan dan Hambatan Kepentingan Sempit Parpol

Sangat disayangkan, kemenangan representasi kekuatan politik "nasionalis "di lapangan pemilu legislatif ini belum ditindaklanjuti dengan konsolidasi politik yang solid untuk menghadapi pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Persaingan di antara sesama kubu nasionalis telah menggiring kekuatan-kekuatan tersebut untuk saling serang dan saling menjatuhkan.

Dapat dipahami, bahwa riil politik pemilu adalah persaingan atau bahkan pertarungan antar kekuatan yang ada. Tapi sebagai suatu pembelajaran bagi massa rakyat, persaingan politik tanpa mengedepankan gagasan-gagasan yang mencerdaskan hanya akan menjerumuskan bangsa ini ke keterpurukan yang semakin dalam. Pemilu seharusnya menjadi arena untuk mengajukan gagasan-gagasan politik, tentang apa yang terbaik bagi bangsa ini ke depan, yang berkonsekuensi pada pilihan siapa atau kubu mana yang paling layak untuk memimpin.

Kami memandang bahwa kepentingan sempit partai politik masih mendominasi proses yang sedang berlangsung. Kepentingan sempit parpol ini tercermin dalam beberapa gejala. Pertama, kuatnya hasrat berkuasa untuk partai sendiri. Muncullah apa yang disebut oleh Bung Karno sebagai nafsu 'mau kursi, bukan demokrasi'. Dan karena didorong oleh kepentingan sempit itu, elit parpol menghalalkan segala macam cara untuk menjatuhkan lawan-lawan politik.

Seperti tercermin di pileg lalu, parpol dan para pendukung calon presiden-nya sibuk mencari amunisi untuk saling menjatuhkan. Bahkan kadang mengungkit-ungkit hal-hal yang tidak ada kaitan dengan persoalan yang dihadapi rakyat atau bangsa ini.

Di sini kami melihat peran negatif media massa yang turut menjadi 'kompor' dalam memanaskan pertikaian itu dengan mengeksploitasi sisi pribadi/privasi para capres dari masing-masing koalisi. Jika memihak kepada demokrasi dan rakyat marhaen, media seharusnya fokus menginterogasi gagasan, konsep, dan program-program partai dan capres agar terbuka dengan terang di hadapan rakyat marhaen.

Ironisnya, sesama "partai nasionalis" ini saling tuding 'antek asing'. Sementara partai yang diidentifikasi sebagai "antek asing" yang sebenarnya, atau partai-partai yang cenderung menghindar dari isu kedaulatan nasional alias cari selamat, justru bebas mengonsolidasikan kekuatan diri.

Kedua, kuatnya kepentingan sempit "parpol nasionalis" juga tercermin dari kuatnya ambisi mereka untuk mengusung calon presiden masing-masing. Dalam situasi seperti itu, bila tidak ada yang mau mengalah, maka jalan persatuan nasional menjadi tidak mungkin.

Berbeda jika setiap parpol menempatkan kepentingan bangsa dan rakyat marhaen di atas kepentingan sempit kelompoknya, maka negosiasi seharusnya bukanlah soal partai mana yang berhak mengajukan calon presiden, melainkan agenda politik bersama apa yang bisa disepakati dan diperjuangkan dalam kerangka menyelesaikan persoalan bangsa ini.

Di sini kita perlu belajar dari para Pendiri Bangsa kita. Kendati pandangan politik mereka kerap berbeda dan sering berpolemik, tetapi mereka siap untuk duduk bersama ketika kepentingan bangsa memanggil.

Bila ditelisik program politik "partai-partai nasionalis", nyaris tidak ada perbedaan. Semuanya sepakat mengusung kemandirian ekonomi. Semuanya menyatakan berkehendak mengembalikan haluan ekonomi negeri ini ke jalan konstitusi: Pasal 33 UUD 1945. Semuanya sepakat mengibarkan panji-panji Trisakti Bung Karno: berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya.

Dalam pandangan yang ideal, apabila identifikasi persoalan sudah mencapai kesamaan-kesamaan, platform politiknya juga sudah mengerucut pada solusi yang sama, maka jalan untuk membangun persatuan tidaklah begitu sulit. Bayangkan, kalau kekuatan "partai-partai nasionalis" bisa menyatu, maka kekuatan-kekuatan neoliberal akan sulit menandingi.

Kami berpendapat bahwa persatuan nasional adalah keharusan mutlak jika "partai-partai nasionalis" masih memperjuangkan negara bangsa yang merdeka dan berdaulat sebagaimana dicita-citakan oleh semangat Proklamasi 17 Agustus 1945.

Persatuan nasional adalah jawaban terhadap politik pecah-belah yang senantiasa dilakukan oleh kaum imperialis-kolonialis dan kaki-tangannya. Perlu disadari, bahwa kaum imperialis-kolonialis bisa mempertahankan kontrol politik dan ekonominya atas negara kita hanya karena politik pecah-belah dan adu domba: mengadu domba suku-bangsa yang satu dengan yang lain, partai yang satu dengan yang lain, agama yang satu dengan yang lain, antara penduduk kampung yang satu dengan yang lain, dan seterusnya. Pendek kata, mereka akan memecah-belah segala sesuatu yang bisa dipecah-belah.

Persatuan nasional adalah alat politik untuk menyatukan semua kekuatan nasional, baik di dalam parlemen maupun di luar parlemen, baik partai politik maupun di kalangan organisasi massa-rakyat, dalam rangka melaksakan cita-cita Proklamasi 17 Agustus '45.

Seruan Politik GmnI Komisariat Universitas Terbuka menyikapi hasil Pemilu Legislatif 2024 adalah sebagai berikut:

Pertama, menyerukan kepada semua "parpol yang ber-platform nasionalis" untuk mengedepankan persoalan bangsa dan rakyat marhaen ketimbang kepentingan sempit partainya. "Partai-partai nasionalis" agar menjadikan Pemilu Presiden (Pilpres) yang Serentak dengan Pemilu Legislatif sebagai momentum membangun persatuan nasional dalam rangka memenangkan kembali cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.

Kedua, menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mengawal dan mengamankan suara yang diperoleh "partai-partai nasionalis" dari kemungkinan kecurangan yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan neoliberal.

Ketiga, menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk aktif mendorong "partai-partai nasionalis" yang memiliki platform kemandirian bangsa untuk bersatu guna menyelesaikan persoalan bangsa saat ini. Untuk mendesakkan tuntutan ini, rakyat marhaen bisa mendatangi sekretariat-sekretariat "partai nasionalis", menggalang petisi, menggelar rapat akbar (vergadering), mengirimkan surat aspirasi, menyebarkan opini tentang arti penting "persatuan kaum nasionalis", dan lain-lain.

Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan, semoga menjadi perhatian kita bersama.

Merdeka!

GmnI, Jaya!

Marhaen, Menang!

YUDYA PRATIDINA MARHAENIS!

Bandung, 15 Februari 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun