Ketiga, gembar-gembor bahwa neoliberalisme bisa melahirkan pemerintahan bersih juga terbukti isapan jempol belaka. Alhasil, isu pemberantasan korupsi-kolusi-nepotisme sebagai salah satu jualan andalan rezim neoliberal tak lagi laku di kalangan rakyat marhaen.
Dalam konteks ini, meningkatnya dukungan rakyat marhaen terhadap "partai-partai nasionalis" harus dimaknai sebagai kehendak perubahan, atau lebih kongkritnya untuk keluar dari sistem ekonomi-politik neoliberal saat ini dan menerapkan sistem ekonomi-politik yang memprioritaskan kepentingan nasional dengan rakyat marhaen sebagai subyek utama di dalamnya.
Kebutuhan Persatuan dan Hambatan Kepentingan Sempit Parpol
Sangat disayangkan, kemenangan representasi kekuatan politik "nasionalis "di lapangan pemilu legislatif ini belum ditindaklanjuti dengan konsolidasi politik yang solid untuk menghadapi pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Persaingan di antara sesama kubu nasionalis telah menggiring kekuatan-kekuatan tersebut untuk saling serang dan saling menjatuhkan.
Dapat dipahami, bahwa riil politik pemilu adalah persaingan atau bahkan pertarungan antar kekuatan yang ada. Tapi sebagai suatu pembelajaran bagi massa rakyat, persaingan politik tanpa mengedepankan gagasan-gagasan yang mencerdaskan hanya akan menjerumuskan bangsa ini ke keterpurukan yang semakin dalam. Pemilu seharusnya menjadi arena untuk mengajukan gagasan-gagasan politik, tentang apa yang terbaik bagi bangsa ini ke depan, yang berkonsekuensi pada pilihan siapa atau kubu mana yang paling layak untuk memimpin.
Kami memandang bahwa kepentingan sempit partai politik masih mendominasi proses yang sedang berlangsung. Kepentingan sempit parpol ini tercermin dalam beberapa gejala. Pertama, kuatnya hasrat berkuasa untuk partai sendiri. Muncullah apa yang disebut oleh Bung Karno sebagai nafsu 'mau kursi, bukan demokrasi'. Dan karena didorong oleh kepentingan sempit itu, elit parpol menghalalkan segala macam cara untuk menjatuhkan lawan-lawan politik.
Seperti tercermin di pileg lalu, parpol dan para pendukung calon presiden-nya sibuk mencari amunisi untuk saling menjatuhkan. Bahkan kadang mengungkit-ungkit hal-hal yang tidak ada kaitan dengan persoalan yang dihadapi rakyat atau bangsa ini.
Di sini kami melihat peran negatif media massa yang turut menjadi 'kompor' dalam memanaskan pertikaian itu dengan mengeksploitasi sisi pribadi/privasi para capres dari masing-masing koalisi. Jika memihak kepada demokrasi dan rakyat marhaen, media seharusnya fokus menginterogasi gagasan, konsep, dan program-program partai dan capres agar terbuka dengan terang di hadapan rakyat marhaen.
Ironisnya, sesama "partai nasionalis" ini saling tuding 'antek asing'. Sementara partai yang diidentifikasi sebagai "antek asing" yang sebenarnya, atau partai-partai yang cenderung menghindar dari isu kedaulatan nasional alias cari selamat, justru bebas mengonsolidasikan kekuatan diri.
Kedua, kuatnya kepentingan sempit "parpol nasionalis" juga tercermin dari kuatnya ambisi mereka untuk mengusung calon presiden masing-masing. Dalam situasi seperti itu, bila tidak ada yang mau mengalah, maka jalan persatuan nasional menjadi tidak mungkin.
Berbeda jika setiap parpol menempatkan kepentingan bangsa dan rakyat marhaen di atas kepentingan sempit kelompoknya, maka negosiasi seharusnya bukanlah soal partai mana yang berhak mengajukan calon presiden, melainkan agenda politik bersama apa yang bisa disepakati dan diperjuangkan dalam kerangka menyelesaikan persoalan bangsa ini.