Jika ada pekerjaan yang lain, Tarmo sebenarnya ingin berhenti sebagai Tukang Ukir. Tapi sayang, lelaki yang baru saja bercerai dengan istrinya itu, tak memiliki keahlian lain. Sebenarnya, dia ingin seperti beberapa tetangganya, menjadi satpam di gudang dan perusahaan. Dia punya alasan yang kuat, kenapa ingin menjalani profesi tersebut.
Tapi memang tak mungkin. Tarmo hanya berijazah SMP. Jika ingin menjadi satpam dengan gaji yang besar, harus berijazah minimal SMA, dan bersertifikat Satpam. Barangkali memang benar kata orang-orang. Penyesalan, selalu saja datangnya di akhir.
Setelah menyelesaikan pendidikan SMP, Tarmo tidak mau melanjutkan sekolah. Dia lebih memilih belajar mengukir dengan pamannya. Untuk apa bersekolah, capek-capek belajar setiap hari. Lebih enak belajar mengukir, langsung kerja, dan punya banyak duit.
Anggapannya, dengan duit yang banyak, apa pun yang dikehendaki dapat dengan mudah dia miliki. Memang tidak salah. Salah satunya adalah mantan istrinya, Sonya. Perempuan cantik, yang tubuhnya padat dan berisi. Setiap kali berjalan, aroma parfumnya saja, masih bisa tercium dari jarak hampir dua ratus meteran.
Banyak pemuda saat itu yang mendambakan Sonya untuk dijadikan istri. Anggapan banyak pemuda saat itu, dengan menikahi perempuan yang berkulit putih itu, siapa tahu bisa memperbaiki keturunan. Atau jika diajak kondangan, membuat semua mata menjadi iri. Membayangkan bagaimana beruntungnya, laki-laki yang mampu memperistri perempuan yang begitu cantiknya.
Demi apa pun. Sonya harus didapatkan. Harga diri, kebanggaan, semua menjadi motivasi Tarmo untuk mendapatkan gadis pujaannya. Dia paham betul, jika hanya bermodalkan wajah yang tampan, serta tubuh yang kekar, tentu tak menjadi jaminan. Baginya, duit yang melimpah, adalah satu cara untuk menaklukkan hati Sonya.
Tanah warisan peninggalan orang tuanya, yang membentang dari ujung utara sampai ujung selatan desa, terpaksa dia jual murah ke pengembang perumahan. Semuanya, dihargai mencapai ratusan juta. Jumlah yang seumur hidupnya, tak pernah melihat uang sebanyak itu.
Berbekal sedikit pengetahuan tentang usaha mebel kayu, Tarmo yang semula berprofesi sebagai tukang ukir, berniat banting setir sebagai pengusaha mebel. Sebagian uang hasil penjualan tanah, dia gunakan untuk modal usaha. Sebagiannya, untuk membangun rumah, dan sebagiannya lagi untuk mobil dan persiapan pesta pernikahan.
Orang menyebutnya orang kaya baru. Menurut orang-orang, Tarmo sekarang berubah. Menjadi jarang bergaul dengan tetangga. Kalaupun bergaul, tak lagi senang bercanda, apalagi sampai tertawa lepas seperti dulu. Namun Tarmo tak peduli. Baginya, omongan orang-orang itu tak perlu di dengarkan. Biarkan saja mereka mau ngomong apa.
Usaha mebelnya menunjukkan kemajuan. Banyak menerima pesanan dari berbagai daerah. Karyawannya, kini mencapai puluhan. Semua jeri payah itu, dia lakukan demi mendapatkan hati Sonya.
Dengan uang jutaan rupiah, Tarmo mendatangi orang tua Sonya. Berniat untuk melamar anak gadisnya. Padahal, tinggal beberapa bulan lagi, pesta pernikahan Sonya dengan pemuda tampan dari kampung sebelah, akan segera dilangsungkan.
Nyatanya, benar apa yang menjadi keyakinan Tarmo. Semua bisa dibeli dengan uang. Barangkali, jika ada kesempatan memilih, Sonya akan tetap dengan pilihannya. Namun sayangnya, pilihan itu tidak berada di tangan Sonya, melainkan ada di tangan orang tuanya.
Tarmo lebih menjanjikan. Kuberlimpahan materi, membuat mata orang tua Sonya silau. Hingga akhirnya, rencana pernikahan yang semula, terpaksa dibatalkan. Jika ditanya kenapa, tentu ada banyak alasan yang bisa disampaikan.
Tak bisa menolak. Sonya menuruti keinginan orang tuanya. Menikah dengan Tarmo, seorang pengusaha mebel, yang berjanji akan membahagiakannya, dengan cara, memberikan apa saja yang dia minta, apa pun itu.
Memang di awal pernikahan, semua berjalan dengan baik dan terlihat bahagia. Usaha Tarmo yang berjalan baik, dia bisa memenuhi semua kebutuhan istrinya. Seperti perawatan tubuh, yang tiap minggunya bisa menghabiskan ratusan ribu. Belanja pakaian, tas, sepatu, dan sebagainya.
Namun seperti yang lainnya, namanya usaha selalu saja ada naik dan turun. Demikian juga yang dialami Tarmo. Dia tertipu oleh pembeli online. Jumlahnya tidak sedikit, mencapai ratusan juta. Sebelumnya, pembeli tersebut memesan barang, kemudian membayarnya. Namun ketika pembeli tersebut memesan satu kontainer, setelahnya, tidak membayar dan justru menghilang.
Mencoba menyelidiki keberadaan sang penipu ke beberapa alamat, semua tak membuahkan hasil. Percuma saja, hanya membuang waktu serta biaya. Biar lah semua itu menjadi pengalaman. Tak hanya untuk Tarmo, tapi juga bagi semua pengusaha. Selalu saja hati-hati, dan tak mudah percaya dengan orang lain. Semua orang berpotensi melakukan itu.
Dikala usaha sedang turun, Tarmo berharap ada yang menguatkannya. Istrinya. Tapi tidak. Sonya tak mau tahu dengan segala usaha suaminya. Baginya, semua kebutuhannya harus terpenuhi. Dengan cara apa pun dia tak peduli. Bahkan, jika sampai usaha suaminya bangkrut sekali pun.
Selalu saja terjadi pertengkaran. Sonya menuntut ini dan itu. Sementara Tarmo juga menuntut, agar istrinya bisa menyadari kondisi usahanya yang sedang bangkrut seperti sekarang.
Tak ada saling pengertian. Satu sama lain, saling menguatkan ego masing-masing. Untuk apa mempertahankan perahu yang sebagian besarnya sudah bocor dan rapuh, sementara ombak makin besar, dan siap menenggelamkan perahu tersebut.
"Aku ceraikan kamu!" kata Tarmo kepada istrinya
"Syukurlah, Memang sudah lama aku menunggunya." Jawab Sonya dengan enteng.
Mereka bercerai. Sonya, sepertinya kembali dengan lelaki yang dulu akan menikahinya. Sementara Tarmo, kembali menjadi tukang ukir. Setelah usahanya bangkrut dan tak dapat bangkit kembali. Sebagian besar asetnya juga sudah berpindah tangan, karena sebagian besar diatas namakan Sonya, mantan istrinya.
"Memang Kamu ingin kerja apa?" kata temannya, yang juga sesama tukang ukir.
"Aku ingin menjadi Satpam." Jawab Tarmo.
"Haha ... Seperti Saridin, Mukmin, Samiun, dan yang lainnya?"
"Iya, Aku ingin seperti mereka."
"Apa enaknya menjadi seorang Satpam?"
"Jika aku menjadi Satpam, aku bisa mengamankan perusahaan dari karyawan-karyawan maling. Yang sukanya mengambil keuntungan pribadi. Tak peduli siapa pun yang akan dirugikan."
"Maksudmu?"
"Usahaku bangkrut, sebenarnya, bukan hanya disebabkan oleh pembeli online yang menipuku. Tapi, banyak perilaku karyawanku sendiri yang cara kerjanya sudah seperti maling."
Tarmo menyerahkan penuh, usaha mebel, pada karyawannya. Semuanya, mulai pembelian bahan baku, penggajian, menangani pembeli, menangani pengrajin dan semuanya.
Tak sedikit dari mereka yang berkhianat. Banyak harga yang sengaja dinaikkan. Gaji karyawan yang direkayasa. Bahkan, tak sedikit pula pengrajin yang harus menyetor uang imbalan, agar mendapat order dari perusahaan.
Sejujurnya, Tarmo tak memiliki kemampuan untuk mengatur mereka semua. Dia hanya tahu teknik mengukir yang baik. Namun dia tak tahu bagaimana caranya menjalankan usaha yang baik. Bahkan, laporan keuangan pun, dia tak paham. Bahkan ketika Sonya meminta semua aset diatasnamakan dirinya, pun dia izinkan.
"Mereka yang menangani pembeli, dengan sengaja mengarahkan pembeli ke perusahaan lain. Perusahaan yang diam-diam mereka dirikan. Yang pemiliknya, barangkali saat ini sedang tersenyum puas. Sambil menikmati segelas anggur di kasur yang empuk. Atau sedang menikmati bulan madu dengan mantan istriku, Sonya." Keluh Tarmo.
Jepara, 27 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H