Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menyoal Politisasi Dana Bansos di Era Jokowi

27 Maret 2019   21:05 Diperbarui: 27 Maret 2019   21:11 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isu soal politisasi dana bantuan sosial atau bansos menjadi tema dalam diskusi Topic of The Week. Diskusi bertajuk Topic of The Week sendiri merupakan diskusi rutin yang digelar Sekretariat Nasional Prabowo-Sandiaga, salah satu organ pemenangan capres dan cawapres nomor urut 02.

Sederet narasumber, antara lain Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle, Syahganda Nainggolan, Direktur Eksekutif Seknan Prabowo-Sandi, George Edwin dan mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai jadi pembahas dalam diskusi. Mengawali diskusi, Direktur Eksekutif Seknas Prabowo-Sandi George Edwin mengatakan, dalam  tiga minggu menjelang pemungutan suara pemilu 2019, dinamika politik kian hangat. Dan seiring itu, dana bansos ditebarkan.

"Kami lihat dana bansos itu ada dua. Dari APBN dan dari siluman. Dana bansos dari siluman kami temukan melalui laskar pengawas kecurangan pemilu yang seknas bentuk. Paket-paket sembako berisi uang, dan pasangan calont tertentu sudah mulai bertebaran," kata George, di kantor Seknas Prabowo-Sandi, di Jakarta, Rabu (26/3).

Dana bansos siluman, lanjut George Edwin, arahnya sudah ditebak, untuk menangguk dukungan.  Tapi yang miris, dana bansos yang lewat APBN. Ia tenggarai, ada upaya untuk mempolitisasi dana bansos lewat angaran negara. Faktanya, tahun 2018, sekitar bulan Agustus, ada berita dana bansos naik 100 persen. Bahkan, ada berita kala itu, Mensos  berharap masyarakat pilih Jokowi lagi.

"Jejak digitalnya ada, hanya Mensos sudah masuk dalam (penjara)," katanya.

Sepertinya yang dimaksud George adalah Idrus Marham, mantan Menteri Sosial yang kini sudah dibui karena kasus suap di proyek PLTU.  George melanjutkan, dana Bansos saat musim pemilu kecenderungannya meningkatkan. Akhir Januari saja, dana  bansos sudah mencapai 15,1 triliun rupiah. Jadi ada lonjakan tajam jumlah dana bansos  dibandingkan periode sebelumnya yang hanya mencapai 5,3 triliun rupiah.

"Kita sebagai rakyat setuju-setuju saja kalau dana bansos untuk masyarakat. Akan tetapi momennya ini yang menjadi masalah. Jelang hajatan besar baru digelontorkan. Kenapa tidak 2014 akhir," George mempertanyakan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle, Syahganda Nainggolan dalam paparannya sempat menukil sepenggal kisah menarik soal dana bansos. Syahganda mengaku, ia sempat jadi pelaku politisasi dana bansos tahun 1998. Ketika itu, ada program KUT. Ia katanya otak dibalik program itu.

"Sama Adi Sasono. Kami rancang gimana KUT disalurkan. Habis itu dikonversi jadi partai. Rakyat menghukum kami. Itu 20 tahun yang lalu. Jadi politisasi bansos itu selalu terjadi di setiap rezim. Saya juga waktu itu pemakan uang bansos," kata Syahganda.

Tahun 2009, Presiden SBY, lanjut Syahganda,  juga menyalurkan dana bansos. Dan dana bansos memang kemudian dipolitisasi oleh SBY. Hanya saja SBY canggih melakukannya.  Dan itu yang  membuat Megawati marah. " Jangan buat rakyat seperti budak, manusia hina. SBY pintar dia balikkan lagi. Rakyat marah. Kok dikasih bansos, rakyat pilih SBY. Sekarang apa yang dibuat SBY ditiru Jokowi," katanya.

Namun yang pasti kata Syahganda, dana  bansos setiap lima tahun pasti akan dipolitisasi.  Ia contohkan, Jokowi pada tahun 2015 sempat mencuit  seperti Mega tahun 2005, bahwa untuk apa rakyat diajari malas pakai bansos dan lain-lain. Lalu, tahun 2016, dana bansos dikurangi.  Uangnya masuk ke infrastruktur.

"Waktu itu Jokowi sudah tahu bahwa uang kita tak kuat, maka uang-uang dari bansos ditarik lalu dibelanjakan sebagai infrastruktur. Jadi kalau  era SBY dana bansos masih Rp 97 triliun yang mengucur, turun ke 40-an triliunan.  Sekarang jadi 77 triliun. Ini sebenarnya menjelang Pilpres, kebutuhan politisasi bansos sudah jadi sebuah kenyataan," urai Syahganda.

Syahganda lantas mengungkit soal cerita tentang mantan Mensos Idrus Marham.  Kata dia, ketika jadi Mensos,  Idrus Marham pernah mengatakan secara terbuka,  bahwa  dana PKH telah dinaikan, karena itu kalau bisa rakyat berterima kasih ke Jokowi dengan memilihnya lagi. Menteri Desa juga melakukan hal serupa.

"Dana  desa naik, pilihlah lagi Jokowi. Jadi politisasi itu terjadi. Sekarang kita harus berpikir sampai kapan bansos ini berakhir. Apakah Prabowo menang 2019 ini, dia akan lanjutkan  politisasi bansos ini. Saya inginnya ini dihentikan," kata Syahganda.

Bagi Syahganda politisasi dana bansos merupakan penghinaan kepada rakyat. Sebab  yang namanya bantuan langsung  rakyat diperlakukan seperti pengemis. Padahal di  negara barat, bantuan seperti dana bansos tak ada yang langsung. Semuanya trasnfer. Makanya tidak perlu banyak kartu.

"Satu saja KTP seperti kata Sandiaga Uno. Berapa orang jumlahnya penerima, langsung data, tiap bulan transfer. Kalau rakyat tidak datang sebagai pengemis, maka tak akan utang budi sama individu. Sekarang rakyat seolah-olah berutang budi pada Jokowi," katanya.

Padahal dana bansos itu kata Syahganda uangnya dari pembayar pajak. Sementara faktanya pembayar pajak secara proporsional kebanyakan adalah dari buruh. Sementara gaji buruh,  gajinya dikisaran 3 jutaan.

"Untuk makan 1,5 juta, dia masih bayar pajak 10 persen, 15 persen. Buruh-buruh ini menyumbangkan uang melalui pajak kepada negara melalui pemerintah, karena ada solidaritas disalurkan kelebihan uang pajak menjadi bansos," ujarnya.

Jadi kata dia,  politisasi dana bansos ini harus diakhiri. Karena yang terjadi, dana bansos dari bulan  Februari , Mei sampai  Agustus disalurkan, kemudian ditarik semua. Kini, sebelum April kembali dicairkan. Ini sudah jelas politisasi.

"Jangan sampai rakyat jadi pengemis di negerinya sendiri.  Itu hak rakyat.  Politisasi bansos ini politik gentong babi. Menyuap rakyat untuk menjadi votersnya dia," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati mengatakan, soal ada tidaknya politisasi dana bansos, biarkan masyarakat yang menilai. Ia hanya akan menyorot apa yang ideal dalam program di APBN maupun APBD. Karena selama ini yang namanya APBN dan APBD mekanismenya sudah standar. Karena ada aturan yang harus dipenuhi dalam penyaluran.

"Dari besaran sendiri. Terjadi peningkatan dana bansos pada 2018 dan 2019, iya. Karena data-datanya pun dipublis. Apakah ini sesuatu yang wajar? Menurut kami iya. Kalau soal peningkatan dana, kalau kita bandingkan era Pak SBY jilid 1 dan 2, hampir selalu setiap terjadi hajatan pemilu, bansos selalu meningkat," urai Enny.

Tetapi mekanismenya dan mungkin dalam hal timming, kata dia, yang bisa dicermati. Kalaupun waktu itu bertepatan pemilu, karena memang ada kebijakan pemerintah yang perlu respons emergency. Misalnya kenaikan BBM. Pemerintah memberikan rescue dalam dana-dana cash transfer agar masyarakat terjaga daya belinya. Jadi ada dana yang digelontorkan karena sebab musabab. Selain bansos ada juga kenaikan gaji. Dalam pembahasan APBN 2019 ada soal kenaikan gaji.

"Tapi kenaikan yang direncanakan tahun 2019 terjadi kapan, termasuk pemberian gaji 13 dan 14.  Seingat kami dalam historisnya, gaji 13 belum pernah diberikan sebelum semester 1, kecuali kondisi darurat," ujarnya.

Artinya, kata Enny,  kalau tiba-tiba pemerintah ingin memberikan gaji ke 13 atau 14, itu dalam time frame sebelum April misalnya, ini mestinya, melalui mekanisme kenegaraan. Karena itu DPR bisa persoalkan hal tersebut."  DPR bisa tidak bolehkan itu. Bansos ada skema di APBN dan APBD. Bansos ada yang bantuan langsung tunai, termasuk dulu rastra diganti non tunai, di dalamnya ada PKH dan sebagainya. Bansos non APBN boleh diberikan kepada siapa saja masyarakat. Tapi kalau ada identitas kampanye pasangan calon siapapun, aturannya jelas," kata Enny.

Apapun kata dia, yang bersifat atau biaa dikategorikan money politic, tidak boleh. Baik itu dari masyarakat umum, apalagi dari APBN. Jadi kalau misalnya ada paket-paket, jika hubungannya sudah mempromosikan satu kandidat, apakah presiden atau caleg dan itu berpotensi ada hubungan timbal balik, sudah pasti melanggar. 

Sekarang persoalannya, apalagi kalau sumber pendanaannya melalui APBN, pasti ukurannya lebih mudah lagi. Karena seluruh program-porgram yang ada di APBN harus mendapatkan persetujuan dari Senayan. Artinya kalau ada penyaluran, pengalokasian dan belanja apapun yang tidak sesuai dengan persetujuan DPR dan pemerintah sudah pasti menyalahi aturan.

"Sehingga sekarang, kalau memang ini bisa dibuktikan bahwa ada satu aktivitas atau penyalahgunaan dari alokasi anggaran atau bentuk penyelewenangan tadi jalurnya sederhana," kata Enny

Enny menambahkan,  politisasi APBN tidak hanya sekadar melanggar aturan pwmilu, tapi ini sudah inskonstitusional. Karena konstitusi sudah mengatur belanja APBN dan sebagainya. Pembicara lainnya, mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, mengatakan, dana bansos  harus dipantau. 

Apalagi dana bansos itu hampir mencapai 54,3 triliun. Jadi dana bansos itu, alat penguasa untuk melakukan kebijakan populis. Ia contohkan di Venezuela. Waktu Hugo Chavez elektabilitasnya jatuh dan oposisi menguat, Hugo Chavez menggelontorkan anggaran untuk orang-orang kecil. Sehingga Hugo kembali naik. Lalu dilanjutkan Nicolas Maduro.

"Bantuan-bantuan ini, kebijakan populis presiden Jokowi ini sama dengan memanfaatkan pengaruh, karena ada jabatan yang melekat. Orang yang manfaatkan pengaruh itu disebut dagang pengaruh. Dagang pengaruh itu lebih dekat kepada penyuapan. Penyuapan itu lebih dekat kepada money politic," kata dia.

Ia pun menilai bantuan-bantuan yang digelontorkan saat musim pemilu oleh  pemerintah tidak lazim. Itu lebih dekat kepada memperdagangkan pengaruh atau menyalahgunakan kewenangan. " Penyuapan itu ada take and give. Saya berikan anda, anda berikan berupa vote," katanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun