Narasumber lainnya, Uchok Sky Khadafi, mengatakan kalau dilihat dari proses pembangunan infrastruktur yang sekarang digenjot habis-habisan oleh pemerintah, Â banyak yang tak nyambung. Akibatnya tidak jelaw mana yang utama dan yang prioritas. Menurut Uchok, tak ada lagi.
" Masalah infrastruktur memang ini diutamakan Presiden Jokowi. Katanya sih agar logistik murah, pemerataan ekonomi, macam-macam alasannya. Tapi kalau kita lihat proses pembangunannya, argumen itu enggak nyambung. Karena di dalam pembangunan infrastruktur ini, di-list dijual kepada investor," tuturnya.
Kata Uchok, proyek infrastruktur didagangkan. Akibatnya, tak jelas mana yang utama dan yang prioritas. Sekarang yang lebih penting, mana  yang laku duluan. Itu lebih utama. Misal " LRT di Palembang dibangun, terutama bukan untuk logistik, pemerataan ekonomi, juga  enggak ada gunanya," kata dia.
Selain itu kata Uchok, dalam pelaksanaannya tidak ada persaingan usaha. Yang ada penugasan BUMN. Jadi perusahaan swasta seperti dibiarkan mati. Proyek-proyek besar seperti jalan tol dikuasai BUMN. Â Padahal biasanya BUMN melakukan sub kontrak ke bawah. Memang BUMN yang cari dana, Â tapi tetap saja pemerintah yang menjamin.
" Â Makanya uang berputar hanya di atas. Harusnya pembangunan infrastruktur untuk pelayanan publik. Masuk ke PU. Tapi kalau masuk ke PU, akan kena UU, defisit anggaran lebih besar dari PDB. Diakalin daripada kena UU, pembangunan infra ditaruh ke BUMN dengan alasan penugasan tersebut," katanya.
Uchok mencatat, hanya ada beberapa BUMN yang menguasai proyek infrastruktur, antara lain Adhi Karya, Jasa Marga dan Waskita. Ironisnya, utang BUMN  berdasarkan audit BPK tahun 2017,  meningkat 260 triliun. Uchok pun menilai, pembangunan infrastruktur justru  membebani BUMN. Bahkan tak tertutup kemungkinan bisa menghacurkan BUMN. Karena semua utang-utang yang harusnya ditanggung pemerintah,  ditanggung BUMN.
" Memang aset meningkat. Tapi kan aset-aset ini bisa djual. Ke depan itu nanti memang, BUMN Â infrastruktur bisa terbang tinggi, bisa mendaratnya jadi bangkrut. Kolaps," kata Uchok.
Sedangkan Marwan Batubara,  Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) dalam paparannya menyorot  Perpres Nomor 56/2018. Dalam Perpres  ini ada daftar. Dan dalam daftar tersebut ada rencana. Misalnya rencana untuk membangun dua kilang BBM yang baru yaitu di Tuban dan Bontang. Pembangunan dua kilang ini,  statusnya membangun dari baru.
" Ada 5 proyek kilang yang direvilitasiasi. Kilang-kilang tua di-upgrade untuk bisa hasilkan produk BBM yang bisa hasilkan produk-produk petrokimia. Itu ada 5 tempat, Cilacap, Dumai, Plaju, Balikpapan," katanya.
Tapi dalam perkembangannya, kata dia, ternyata  setelah dicanangkan sejak 2015, baru satu proyek yang ditetapkan, itu  belum dimulai pembangunannya. Proyek itu baru teken kontrak yaitu proyek  yang ada di Balikpapan.
" Yang lain-lain itu masih dalam porses pembebasan lahan. Atau negosiasi kontrak dengan partner. Kenapa bisa begitu? Ternyata salah satu alasan, kalau ini kerjasama Pertamina dengan partner dari Eropa, Asia, tidak bisa kita mengandalkan patner itu saja yang siapkan dana. Pertamina juga harus ikut siapkan dana," kata Marwan.