Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kisah Seorang Camat, Bekerja di Bawah Todongan Parang

10 September 2015   22:12 Diperbarui: 11 September 2015   03:14 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Namanya, Akbar Ali. Badannya tinggi besar. Saya mengenalnya saat menjalankan tugas liputan di Kementerian Dalam Negeri. Adalah usul Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, agar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dibubarkan, yang mengenalkan saya kepada Ali Akbar.

" Saya Kasubdit Fasilitas Kelembagaan Partai Politik, Ditjen Politik Kemendagri mas," kata Ali Akbar, saat mengenalkan diri.

Awalnya ia mengaku, tak mau bicara-bicara soal IPDN. Namun, usulan pembubaran IPDN yang dilontarkan Ahok, membuatnya merasa tersengat. Ia terus terang, tersinggung dengan ucapan Ahok. Almamater yang ia banggakan, meski ia juga akui pasti banyak kelemahan, di usulkan orang untuk dibubarkan. " Coba siapa yang tak marah. Walau kami juga akui, masih banyak kekurangan," kata Ali.

Di IPDN, ia merasa mental dibentuk. Dan, itu ia rasakan, sangat berguna ketika menghadapi masalah di medan tugas. Mungkin kata dia, Ahok belum tahu, betapa beratnya awal-awal ia bertugas memangku tugas sebagai pamongpraja. Bahkan, pernah suatu ketika, nyawa dia pun terancam.

" Saya contohkan saya pernah jadi camat di daerah Sulawesi, tepatnya di Kecamatan Wajo. Waktu itu saya di telepon ada persoalan di sebuah desa," kata Ali Akbar.

Sementara kata Akbar, dari kantor camat ke desa yang sedang muncul masalah itu, jaraknya sangat jauh. Jalan kesana, harus melewati tiga gunung kecil. Tapi, karena tugas, ia pun berangkat naik mobil. Tapi, itu pun hanya setengah perjalanan, karena mobil tak bisa lagi melanjutkan perjalanan.

" Saya sambung naik ojek, setelah itu saya naik kuda, sampai disana tengah malam," kata dia.

Di sana, ia pun bersama dengan Danramil dan Kapolsek, coba mendamaikan dua pihak yang sedang bertikai. Perdamaian pun, akhirnya dicapai. " Kalau tak dibina fisik, bisa saja saya bilang aduh saya lagi demam, maaf tak bisa kesana," katanya.

Dan pengalaman tugas yang paling menegangkan, kala dia disatroni tujuh orang yang emosi bawa parang. Tujuh orang yang datangi rumah dinasnya sudah menenteng parang. Ia pun kaget bukan kepalang.

"Saya didatangi tujuh orang bawa parang sudah dicabut dari tadi.  Mereka berteriak-teriak, kalau bapak tak mencabut yang bapak tanda tangani, bapak berhadap-hadapan dengan kami. Begitu mereka berteriak-teriak," tuturnya.

Dirinya pun coba menenangkan yang datang bawa parang. Ia pun mengarahkan mobil mereka ke garasi kantor camat. " Saya kenakan jaket. Kantong jaket saya isi pasir semua, " katanya, menceritakan kisah menegangkan saat dia jadi camat.

Mereka kata Akbar, datang membawa parang disuruh pengusaha galian yang izinnya dia cabut, karena memang merugikan warga, cemari lingkungan. " Saya duduk depan pintu. Tapi itu parang digores-goreskan ke meja saya.

Menurut Akbar, mungkin jika dia takut, sudah terkencing-kencing. Waktu itu gaji dia hanya 380 ribu. Dia jadi camat dari tahun 2002-2004. Karena itu dia sedih, ketika Ahok mengusulkan pembubaran IPDN.

" Jadi Pak Ahok jangan hanya lihat dengan versi Jakarta saja. Di Jakarta itu semua bisa dimobilisasi dengan gampang. Coba di daerah. Nangis darah. Coba saja  di rolling yang tinggal di jakarta, tugas di Papua atau di pedalaman," katanya.

Akbar pun kembali menuturkan pengalamannya saat bertugas. Suatu waktu, ia diminta pergi ke Papua untuk memantau daerah yang sedang konflik di sana. Uang saku yang ia terima hanya 500 ribu. " Kita masuk daerah konflik. Saya jalan kaki ke sana, minta bantuan orang sana, untuk penunjuk jalan yang harus diberi upah. Uang 500 ribu tak cukup," kata Akbar.

Pengalaman tak kalah menegangkan ia alami juga saat jadi camat. Ketika itu ada sekelompok warga datang malam-malam, mengendarai beberapa mobil. Mereka datang banyak yang membawa senjata tajam. Rupanya mereka datang untuk memprotes pembangunan pasar di kecamatannya. Waktu itu ia langsung mencegat kelompok warga yang marah.

" Saya berpikir jangan sampai warga di sekitar pasar bangun semua, kalau bangun, bisa bentrok. Saya cari pemimpinnya. Ketemu, saya peluk, sampai saya ngemis-ngemis. Dan akhirnya amarah mereka reda dan mau pulang mereka,"ujar Akbar.

Prinsip yang di pegang, jangan pernah takut kalau untuk kebenaran. Itu pula yang selalu ditanamkan di IPDN. Dan yang masih ingat pernyataan Presiden Soeharto, ketika mewisuda dirinya.

" Saya masih ingat, itu terjadi tahun 1997, hari Rabu. Pak Harto bilang,  sebelum saya tutup arahan saya, jangan sakiti hati rakyat. Itu saya ingat betul," ujar Akbar, mengingat kembali pesan mendiang mantan Presiden Soeharto.

Ya, kata Akbar, Ahok benar, dengan UU ASN, kalangan swasta bisa direkrut bekerja di lembaga pemerintahan. Tapi, ia ragu, apakah orang swasta yang biasa berpenghasilan cukup bersedia misalnya tugas di pedalaman, atau pergi ke daerah konflik, dengan bekal uang saku seadanya.

" Ini kami di sini, di subdit fasilitasi, sekarang sedang merumuskan paket UU Politik. Kami harus pulang malam. Kami ini kerja, bermodalkan indomie dan kopi. Swasta memang boleh. Tapi kan mereka biasa orientasinya untung rugi," ujar Akbar.

Ia sebenarnya tak mau membanding-bandingkan. Ia sadar, negara telah membiayai sekolahnya. Dan pesan yang terpatri dalam pikirannya saat sekolah di IPDN adalah bagaimana ia bisa memberikan sesuatu kepada negara. "Bukan justru mengambil sesuatu dari negara. Kami di kasih 250 ribu saja sudah ikhlas, itu sudah bangga. Kalau teman-teman swasta kan terbiasa berpenghasilan mapan. Tapi negara sudah bantu kami," tuturnya.

Jadi kata Akbar, jangan melihat pemerintahan dalam kondisi normal, apalagi semata melihatnya dari kaca mata Jakarta, yang semuanya memang tersedia dengan fasilitas lengkap. Coba kata dia, tengok ke daerah pedalaman.

" Tengok ke perbatasan, ke daerah terpencil yang minim fasilitas. Jakarta enak, banyak duitnya. Daerah lain, apa semua seperti Jakarta, banyak duit. Banyak yang minim. Jadi janganlah, semua bisa dianggap gampang diselesaikan, di gaji gede selesai. Di daerah bisa enggak. Kan banyak yang masih minim, " katanya.

Akbar yang sudah bergelar doktor dari Universitas Indonesia, menambahkan, andaipun ia mau hidup mapan, sebenarnya bisa saja. Dan ia pernah merasakan penghasilan besar, ketika dia sedang menempuh gelar doktornya. Saat itu, sambil kuliah dia ditawari NGO Jepang untuk jadi konsultan dari program yang sedang dikerjakan di Indonesia.

" Saya pernah kerja di NGO Jepang, sehari dapat honor 500 ribu. Sebulan saya dapat 15 juta itu," katanya.

Namun selepas ia dapat gelar doktor, seniornya waktu di IPDN, Bahtiar, meminta dia kembali mengabdikan diri ke pemerintahan. " Kembalilah dinda, negara masih memerlukanmu. Pesan itu sadarkan saya," ujarnya.

Ia sendiri sebagai Kasubdit, gaji pokok hanya 4 juta rupiah. Gajinya ini hanya sedikit lebih besar dari petugas kebersihan di DKI Jakarta, yang bergaji 3 juta rupiah. Di DKI Jakarta, hampir seluruh kegiatan pemerintahan digerakan dengan uang. Tapi di Indonesia, ada 514 kabupaten dan 6000 kecamatan. Dan tak semuanya didukung fasilitas lengkap. Banyak yang minus.  Jadi masih banyak kegiatan pemerintahan dilakukan hanya dengan semangat pengabdian.   " Apa mau orang swasta yang tadinya gaji besar bekerja di sini. Berangkat pagi, bahkan sampai larut malam belum pulang", kata Akbar.

Namun kata Akbar, meski ia dengan penghasilan yang jauh lebih kecil dari kalangan swasta, tetap semangat bekerja. Apalagi bila ikut andil menyusun sebuah regulasi yang berdampak pada publik. Kebanggaan itulah yang tak bisa diukur dengan uang. " Setidaknya, kalau saya meninggal, ada yang saya perbuat bermanfaat bagi orang banyak," katanya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun