Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kisah Seorang Camat, Bekerja di Bawah Todongan Parang

10 September 2015   22:12 Diperbarui: 11 September 2015   03:14 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka kata Akbar, datang membawa parang disuruh pengusaha galian yang izinnya dia cabut, karena memang merugikan warga, cemari lingkungan. " Saya duduk depan pintu. Tapi itu parang digores-goreskan ke meja saya.

Menurut Akbar, mungkin jika dia takut, sudah terkencing-kencing. Waktu itu gaji dia hanya 380 ribu. Dia jadi camat dari tahun 2002-2004. Karena itu dia sedih, ketika Ahok mengusulkan pembubaran IPDN.

" Jadi Pak Ahok jangan hanya lihat dengan versi Jakarta saja. Di Jakarta itu semua bisa dimobilisasi dengan gampang. Coba di daerah. Nangis darah. Coba saja  di rolling yang tinggal di jakarta, tugas di Papua atau di pedalaman," katanya.

Akbar pun kembali menuturkan pengalamannya saat bertugas. Suatu waktu, ia diminta pergi ke Papua untuk memantau daerah yang sedang konflik di sana. Uang saku yang ia terima hanya 500 ribu. " Kita masuk daerah konflik. Saya jalan kaki ke sana, minta bantuan orang sana, untuk penunjuk jalan yang harus diberi upah. Uang 500 ribu tak cukup," kata Akbar.

Pengalaman tak kalah menegangkan ia alami juga saat jadi camat. Ketika itu ada sekelompok warga datang malam-malam, mengendarai beberapa mobil. Mereka datang banyak yang membawa senjata tajam. Rupanya mereka datang untuk memprotes pembangunan pasar di kecamatannya. Waktu itu ia langsung mencegat kelompok warga yang marah.

" Saya berpikir jangan sampai warga di sekitar pasar bangun semua, kalau bangun, bisa bentrok. Saya cari pemimpinnya. Ketemu, saya peluk, sampai saya ngemis-ngemis. Dan akhirnya amarah mereka reda dan mau pulang mereka,"ujar Akbar.

Prinsip yang di pegang, jangan pernah takut kalau untuk kebenaran. Itu pula yang selalu ditanamkan di IPDN. Dan yang masih ingat pernyataan Presiden Soeharto, ketika mewisuda dirinya.

" Saya masih ingat, itu terjadi tahun 1997, hari Rabu. Pak Harto bilang,  sebelum saya tutup arahan saya, jangan sakiti hati rakyat. Itu saya ingat betul," ujar Akbar, mengingat kembali pesan mendiang mantan Presiden Soeharto.

Ya, kata Akbar, Ahok benar, dengan UU ASN, kalangan swasta bisa direkrut bekerja di lembaga pemerintahan. Tapi, ia ragu, apakah orang swasta yang biasa berpenghasilan cukup bersedia misalnya tugas di pedalaman, atau pergi ke daerah konflik, dengan bekal uang saku seadanya.

" Ini kami di sini, di subdit fasilitasi, sekarang sedang merumuskan paket UU Politik. Kami harus pulang malam. Kami ini kerja, bermodalkan indomie dan kopi. Swasta memang boleh. Tapi kan mereka biasa orientasinya untung rugi," ujar Akbar.

Ia sebenarnya tak mau membanding-bandingkan. Ia sadar, negara telah membiayai sekolahnya. Dan pesan yang terpatri dalam pikirannya saat sekolah di IPDN adalah bagaimana ia bisa memberikan sesuatu kepada negara. "Bukan justru mengambil sesuatu dari negara. Kami di kasih 250 ribu saja sudah ikhlas, itu sudah bangga. Kalau teman-teman swasta kan terbiasa berpenghasilan mapan. Tapi negara sudah bantu kami," tuturnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun