" Kalau memang belum dikirimkan oleh pengadilan atau MA ke Kejaksaan, berarti pihak MA harus mengevaluasi kinerjanya atas keterlambatan dan ketidakprofesionalannya itu," kata Choky.
Ia meminta persoalan birokrasi tak menghambat eksekusi. Jangan lagi, karena problem birokrasi, kepastian hukum terkatung-katung.
" Segera setelah Jaksa menerima salinan putusan tersebut, sudah
menjadi kewajiban jaksa untuk melaksanakan putusan berdasar Pasal 270 KUHAP," kata dia.
Choky berharap, jangan sampai karena persoalan birokrasi, penegak hukum yang justru melakukan pelanggaran hukum acara pidana. Tentu teramat lucu bila itu terjadi.
" Sangat disayangkan kalau begitu," kata dia.
Namun, kata Choky, penolakan eksekusi juga menunjukan fenomenaketidakpatuhan hukum kian menggejala di Indonesia. Dan itu bukan kabar baik bagi penegakan hukum di Indonesia. Hukum makin tidak dianggap
sebagai supremasi. Jika hukum tak lagi jadi supremasi, apalagi tak di
hormati yang terjadi adalah potensi anarki. Harus ada ketegasan, agar ini tak jadi preseden negatif dikemudian hari.
" Ini semakin menunjukan ketidakpatuhan hukum. Sudah terbukti melanggar UU, membangkang pula dari Putusan Pengadilan. Jaksa harus bertindak tegas dalam mengeksekusi putusan tersebut," ujarnya.
Pihak Kementerian Dalam Negeri pun sama saja, menunggu salinan resmi putusan MA. Begitu salinan diterima, kata Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek, maka Mendagri segera memproses pemberhentian kepala daerah yang telah mendapat vonis tetap
dari MA.
" Tentu setelah mendapat usulan pemberhentian dari gubernur, dalam hal ini adalah Gubernur Jawa Barat," kata Reydonnyzar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H