Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Beramai-ramai Menolak Eksekusi

21 Maret 2012   05:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:40 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Otonomi daerah alih-alih melahirkan kesejahteraan rakyat, dan pemimpin yang amanah, namun yang justru dicatat publik, makin massifnya praktek korupsi di daerah. Duit negara yang mestinya untuk rakyat, kenyataannya banyak disunat dan disalahgunakan. Ironisnya yang menyalahgunakan adalah kepala daerah yang diberi mandat rakyat
dalam Pilkada.

Dan, kemudian sejarah mencatatkan, kepala daerah seperti mengantri masuk bui karena korupsi. Bahkan yang baru terpilih sekalipun seperti Agusrin M Najamuddin, gubernur non aktif Bengkulu, harus merasakan pil
pahit terjerat kasus korupsi dan kini siap dibui. Sisanya bersiap
untuk di eksekusi.

Masuk penjara bagaimana pun nyamannya, tetap saja adalah aib. Apalagi bagi kepala daerah yang sarat ambisi. Maka, sebisa mungkin mereka coba berkelit, dan menolak eksekusi. Itu yang dilakukan Mochtar Mohammad
dan Eep Hidayat. Mochtar adalah orang nomor satu di Kota Bekasi, dan Eep, Bupati di Subang.
Keduanya kini bersiap di eksekusi. Tapi keduanya pula coba 'melawan'.

Kata Direktur Eksekutif Initiative Institute, Hermawanto, mereka yang melawan eksekusi hanya elit yang sedang dilanda power sindrom. Dan tak tanggung tanggung dari yang tadinya berkuasa, kini bersiap untuk dibui.

"Ya inikan cuma bentuk kecongkakan politisi, berkelit di era tranparansi dan kebebasan informasi," kata Hermawanto, di Jakarta, kemarin.

Mereka merasa masih punya gigi. Dan meraka masih merasa partai
pengusungnya akan membelanya. Maka berani untuk mengulur eksekusi. Hermanto menyebut polah Eep dan Mochtar hanya sebuah bentuk kebandelan hukum dari para pejabat politik daerah.

" Jadi ya mereka santai walaupun sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Sisi lain juga ketidak tegasan Mendagri atas penegakan hukum di birokrasinya," katanya.

Mochtar sendiri, harusnya di eksekusi oleh KPK pada Kamis kemarin. KPK sendiri sudah melayangkan surat bernomor Spgl/5571/24/03/2012, tertanggal 9 Maret 2012 yang isinya meminta Mochtar datang ke KPK untuk menjalani eksekusi.

Eksekusi sendiri, tindak lanjut dari putusan Mahkamah Agung bernomor 2547 K/PID.SUS/2011, dimana dalam putusan itu Mochtar di vonis hukuman enam tahun penjara dan diharuskan membayar denda 300 juta dan uang pengganti sebesar 639 juta.

Putusan itu adalah putusan kasasi, menjawab pengajuan banding dari
jaksa penuntut. Kasus yang melilit Mochtar adalah kasus penyuapan
terhadap anggota DPRD Kota Bekasi sebesar 1,6 milyar untuk memuluskan pengesahan APBD tahun 2010.

Kasus Mochtar lainnya adalah, penyalahgunaan anggaran makan minum sebesar 639 juta dan suap untuk mendapatkan piala Adipura tahun 2010 senilai 500 juta.

Tapi saat hendak di eksekusi, Kamis pekan kemarin, kuasa hukum Walikota Bekasi non aktif itu, Sira Prayuna, menegaskan kliennya tak akan memenuhi panggilan KPK sebelum mendapat salinan putusan kasasi dari MA. Sebab kata Sira, berdasrkan Pasal 270 KUHAP, pelaksanaan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, tak bisa begitu saja dilakukan. Panitera pengadilan harus mengirimkan salinan putusan.

Eep Hidayat pun sama saja. Oleh sidang kasasi hakim agung MA, Eep diputuskan bersalah dalam kasus korupsi biaya pemungutan pajak bumi dan bangunan (BP PBB) di Pemkab Subang tahun 2005-2008.

Majelis hakim yang diketuai, Artidjo Alkostar dengan anggota, Leo Hutagalung dan Syamsul Chaniago memutuskan Eep bersalah dan di vonis lima tahun penjara, dan denda 200 juta subsider tiga bulan penjara.

Maka, dengan vonis itu ambisi Eep mencalonkan diri pada Pilgub Jawa
Barat terancam gagal, karena ia siap di eksekusi masuk bui. Atas
putusan itu Eep coba melawan, dengan melakukan aksi demo gigit sandal di depan gedung MA. Dan mendatangi kantor Mendagri disertai beberapa aparatur Pemkab Subang, mengancam mogok kerja.

Menurut mantan Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Ibrahim Fahmi
Badoh, harusnya Eep dan Mochtar sudah bisa di eksekusi. Karena bila
berlarut-larut hanya akan menyebabkan ketidakpastian hukum dan mencederai rasa keadilan di mata publik.

" Ini pola lama. Di zaman awal reformasi proses hukum sering
terhalang izin presiden masalahnya juga keterlambatan pengiriman surat permohonan ijin pemeriksaan atau ketidakjelasan proses di Sekneg," kata Fahmi.

Fahmi menyayangkan lambatnya surat salinan diberikan. Kepala daerah yang hendak di eksekusi pun mestinya tak coba berkelit, apalagi di era transparansi sekarang ini. " Mestinya hal ini tidak terjadi lagi," katanya.

Sedangkan Abdullah Dahlan dari ICW menyebut sikap Eep dan Mochtar yang menolak di eksekusi menunjukkan bahwa keduanya tidak taat dan tunduk pada hasil peradilan. Atau secara umum membangkang pada hukum.

Memang, setiap putusan yang divonis harus menerima salinannya. Hanya saja, kata Abdullah, beberapa persoalan sering kali muncul, misal kejaksaan yang telat mengeksekusi putusan peradilan dengan dalih yang sama. Dan ada kejadian, karena terlambat di eksekusi yang di vonis melarikan diri.

" Inilah penyakit birokrasi, yang lambat menindak lanjuti. Harusnya
itu tak terjadi lagi, kalau mereka berkomitmen dalam memberikan efek jera pada pelaku korupsi," kata Abdullah.

Ketua Presidium Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi),Choky Risda Ramadhan, mengkritik lambannya salinan putusan diberikan pada Mochtar dan Eep. Artinya kerja birokrasi di pengadilan, khususnya MA masih masih menyisakan masalah. Dan itu harus dievaluasi.

" Kalau memang belum dikirimkan oleh pengadilan atau MA ke Kejaksaan, berarti pihak MA harus mengevaluasi kinerjanya atas keterlambatan dan ketidakprofesionalannya itu," kata Choky.

Ia meminta persoalan birokrasi tak menghambat eksekusi. Jangan lagi, karena problem birokrasi, kepastian hukum terkatung-katung.

" Segera setelah Jaksa menerima salinan putusan tersebut, sudah
menjadi kewajiban jaksa untuk melaksanakan putusan berdasar Pasal 270 KUHAP," kata dia.

Choky berharap, jangan sampai karena persoalan birokrasi, penegak hukum yang justru melakukan pelanggaran hukum acara pidana. Tentu teramat lucu bila itu terjadi.

" Sangat disayangkan kalau begitu," kata dia.

Namun, kata Choky, penolakan eksekusi juga menunjukan fenomenaketidakpatuhan hukum kian menggejala di Indonesia. Dan itu bukan kabar baik bagi penegakan hukum di Indonesia. Hukum makin tidak dianggap
sebagai supremasi. Jika hukum tak lagi jadi supremasi, apalagi tak di
hormati yang terjadi adalah potensi anarki. Harus ada ketegasan, agar ini tak jadi preseden negatif dikemudian hari.

" Ini semakin menunjukan ketidakpatuhan hukum. Sudah terbukti melanggar UU, membangkang pula dari Putusan Pengadilan. Jaksa harus bertindak tegas dalam mengeksekusi putusan tersebut," ujarnya.

Pihak Kementerian Dalam Negeri pun sama saja, menunggu salinan resmi putusan MA. Begitu salinan diterima, kata Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek, maka Mendagri segera memproses pemberhentian kepala daerah yang telah mendapat vonis tetap
dari MA.

" Tentu setelah mendapat usulan pemberhentian dari gubernur, dalam hal ini adalah Gubernur Jawa Barat," kata Reydonnyzar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun