Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berguru pada Budaya Indonesia

4 Juni 2023   13:30 Diperbarui: 4 Juni 2023   18:01 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: madrosah sunnah via unsplash

Malam ini entah mengapa terasa begitu berbeda. Ia terasa begitu panjang dan tak mampu untuk lekas mengundang rasa kantukku yang sewaktu-waktu biasa muncul. Kebiasaan yang lantas memancing kawan-kawanku menjulukiku sebagai raja tidur sebab aku sering tidur kapan pun dan di mana pun, terutama pada waktu-waktu yang kuanggap lebih baik untuk tidur daripada harus membuka mata.

Akhirnya, kuputuskan saja untuk jalan-jalan mengelilingi dusun. Siapa tahu sesampainya di rumah aku kan letih dan lekas tertidur.

Tinggal beberapa menit lagi hari akan lekas berganti. Aku putuskan untuk berkeliling dengan berjalan kaki, mengingat suasana langit yang sedang begitu cerahnya lengkap dengan hiasan purnama yang tak pernah segan memamerkan kecantikan.

Di tengah perjalanan, seseorang tiba-tiba saja menepuk pundakku. Kehadirannya sungguh mengagetkanku, sebab sepanjang perjalanan sama sekali tak kurasakan kehadirannya di belakangku.

Padaku ia mengaku sangat rindu untuk bertemu denganku, karena aku pernah menyebut namanya dalam keadaan yang kemudian membuatnya sangat bahagia.

"Mohon maaf. Sebagai tanda balas jasaku untuk Tuan, apa sekiranya yang bisa kupersembahkan untuk Tuan?" pintanya beberapa saat kemudian.

"Apa yang bisa kau lakukan?" aku balik bertanya sambil menyembunyikan rasa heranku yang belum juga hilang.

"Aku diberi kemampuan untuk sedikit memanipulasi waktu." Jawabnya singkat.

"Maksudmu bagaimana?" Aku ingin tahu lebih jelas tentang maksud perkataannya.

"Aku bisa membawa Tuan pada keadaan waktu yang Tuan inginkan, akan tetapi keadaan di waktu itu harus sesuai dengan kenyataan pada masanya dan bukan berdasarkan angan-angan Tuan."

"Bisakah kau menunjukkan keadaan negeriku di masa depan?" Pintaku setelah lekas paham dengan maksud ucapannya.

"Apakah maksud Tuan, Indonesia?" ia bertanya menegaskan.

"Benar, negeri dan tumpah darahku, Indonesia."

"Baik. Mengenai negeri yang Tuan maksud barangkali nanti akan berganti nama. Akan tetapi, secara tata letak kurang lebih ia tidak akan berbeda."

Aku mafhum mengenai pergantian nama ini. Sebab konon sebentar lagi negeri ini pun akan berganti nama dengan Nusantara. Namun, bagiku pergantian nama ini tidaklah terlalu penting. Sebab yang utama adalah aku bisa tahu tentang keadaannya di masa depan.

"Baiklah, kalau begitu." Tanggapku kemudian.

"Kapan saja sekiranya Tuan sudah siap, silakan."

"Sekarang pun aku siap." Jawabku sambil membisikkan nama Tuhan di dalam hati.

"Baik. Mohon pejamkan mata Tuan barang sejenak."

Aku memejamkan mata, persis sebagaimana pintanya.

"Sekarang, silakan membuka mata Tuan." Ujarnya beberapa saat kemudian.

"Di manakah ini?" tanyaku penasaran.

"Tidak bergeser satu mili pun dari tempat Tuan semula. Hanya waktunya saja yang berbeda." Ia menjelaskan.

"Mohon maaf, jika saya boleh tahu, tahun berapakah ini?" Aku penasaran setelah celingak-celinguk melihat ke sekeliling. Sebab keadaannya sungguh jauh berbeda dengan keadaan sekitar lima detik sebelumnya.

"Ini adalah tahun nun." Ia menjawab singkat.

"Tahun nun?" aku tambah bingung.

"Oh, maaf. Saya lupa bahwa di masa Tuan belum menggunakan perhitungan hisab ini. Sebentar, jika dikalkulasi dengan perhitungan tahun Tuan sebelum berangkat, ini adalah tahunnya." Jelasnya sambil menunjukkan padaku semacam alat untuk mengkonversi hitungan.

Betapa kuasanya Tuhan, ternyata aku terlempar sedemikian jauhnya hingga ke masa ini. Tak henti-hentinya aku melihat ke sekeliling. Aku temukan peradaban yang hampir mustahil kupahami dengan nalarku saat ini. Mungkin akan butuh jutaan pertanyaan untuk bisa mengobati ketidaktahuan dan rasa penasaranku.

Bagaimana mungkin ada bumi yang tertata dengan begitu lestari, ia bisa bersanding dengan berbagai bangunan yang megah. Sepanjang pengetahuanku aku hanya sedikit mencicipi wacana tentang green dan blue economy, yang ranahnya mungkin akan bersentuhan dengan ekologi. Sedemikian jauhnya kah peradaban manusia pada zaman ini telah menerapkannya. Angan-anganku dibanjiri rasa penasaran.

Belum berhenti rasa penasaranku, tiba-tiba aku ingin menengok ke arah diriku sendiri yang rasa-rasanya ada yang berbeda dengan keadaanku sebelumnya. Tiba-tiba saja aku berpakaian serba putih.

"Mohon maaf, Tuan. Saya sudah lancang tanpa seizin Tuan telah mengganti pakaian Tuan. Hal ini aku tujukan agar tidak timbul rasa curiga dari mereka yang hadir di masa ini. Saya memang sengaja menyesuaikan penampilan Tuan dengan kondisi budaya mereka." Lelaki murah senyum itu seakan tahu dengan rasa penasaranku.

"Saya semakin penasaran dengan keadaan negeri ini. Bagaimana keadaan pemerintahan di negeri ini?" tiba-tiba saja aku menjadi lebih bersemangat untuk mencari tahu.

"Mohon maaf, sebelum saya hendak menjawab, sebelumnya saya ingin tahu, kira-kira bagaimana menurut pendapat Tuan jika melihat kondisi fisik negeri ini?" ia balik bertanya.

"Secara kasat mata, keadaannya terlihat sungguh maju luar biasa, bahkan di luar batas angan-angan dan pengetahuanku. Kekhawatiranku yang dulu akan bumi yang gersang akibat ambisi kapitalistik mendadak lenyap saat aku melihat keadaan di masa ini. Namun, aku tetap penasaran dengan keadaan yang terjadi pada gunung-gunung dan samudera."

"Tidak jauh berbeda, keadaannya tetap utuh di tempatnya. Hanya saja, mungkin ada tambahan harmoni dengan hadirnya hunian manusia." Jawabnya masih dengan sikap tenang.

"Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Bukankah manusia pada zamanku sudah mengambilnya dengan habis-habisan dan tinggal menunggu masa saja untuk kehancurannya?" aku bertambah heran.

"Memang benar, mereka dulu sempat mengambilnya secara habis-habisan. Akan tetapi hati dan sikap manusia akan berubah karena keterpaksaan."

"Maksudnya bagaimana?"

"Keserakahan mereka dalam mengambili apa saja yang tersedia dari alam telah menciptakan banyak kehancuran. Bahkan tidak hanya pada alam, namun juga berdampak pemusnahan terhadap sebagian golongan mereka sendiri. Inilah yang kemudian melahirkan rasa tidak aman akibat adanya kemungkinan ancaman dari satu pihak atas pihak lain."

"Sampai kapan itu terjadi?"

"Sampai manusia merasa jenuh atas keadaan mereka, sehingga mereka pun membentuk kesepakatan."

"Kesepakatan?"

"Benar. Kesepakatan untuk saling menjaga dan mengamankan satu sama lain. Bukankah esensi dari masing-masing keyakinan atau keimanan mereka adalah saling melahirkan rasa aman, tidak hanya bagi mereka sendiri namun juga untuk pihak lain."

"Benar-benar luar biasa dampak dari kesepakatan ini."

"Lebih tepatnya kesepakatan yang didasari atas pemahaman yang nyata. Mereka sama-sama sudah paham sebab sudah sama-sama merasakan betapa mencekamnya hidup dalam ketidakamanan."

"Bukankah dengan modal kekuasaan dan pundi-pundi harta manusia bisa memanipulasi keamanan untuk diri mereka sendiri?" Aku mencoba menyanggah.

"Dalam skala tertentu, mungkin bisa. Namun, kesenjangan yang terlalu lebar dan dalam skala yang terlalu luas nyatanya akan melahirkan perlawanan. Muasalnya adalah dari penolakan mereka yang merasa sudah sangat jenuh untuk ditekan dan dirugikan. Sebagai bukti shahihnya, hukum yang dimanipulasi berulang kali hanya akan melahirkan kumpulan manusia yang menciptakan hukumnya sendiri tanpa lagi peduli dengan hukum sebelumnya yang pernah ada. Hukum yang pincang inilah yang melahirkan kumpulan rasa tidak percaya yang kemudian menghilangkan adanya pengakuan atas pihak lain. Tidak mengherankan jika keadaan ini terus dibiarkan berlanjut akan membentuk upaya penghancuran. Mungkin gambaran seperti inilah yang masih menggelanyuti angan-angan Tuan."

"Persis. Lantas, dengan keadaan hukum yang ada di masa ini, apa yang terjadi?" Aku berniat untuk membandingkan.

"Mohon maaf, Tuan. Sebelum saya menjawab pertanyaan Tuan, sudikah kiranya Tuan berkeliling bersama saya dengan menggunakan kereta ini." Ajaknya sambil menunjuk pada sebuah kendaraan yang terparkir di samping kami. Sebagaimana kendaraan yang lalu lalang di sekitar kami, wujudnya sungguh aneh, sebab tidak ada satu pun roda yang melekat sebagai kaki-kakinya.

"Silakan Tuan, duduk di dalam sini." Ajaknya membuyarkan angan-anganku. "Mari kita berkeliling sambil berbincang tentang keadaan negeri Tuan di masa ini."

"Baiklah." Aku masuk ke dalam kendaraan itu dengan hati-hati dan dihinggapi rasa takjub. Tak lupa aku menyebut nama Tuhan yang telah melimpahiku dengan hal-hal luar biasa di dalam hidupku. Tak terkecuali dengan keadaan hari ini yang menurutku lebih dari sekadar keajaiban.

"Silakan, jika ada yang hendak Tuan tanyakan mengenai keadaan negeri Tuan di masa ini. Barangkali saya bisa memberi jawaban." Ia mengulang pintanya setelah kami melewati beberapa ratus meter perjalanan.

"Baik. Dari tadi saya masih sangat penasaran dengan kabar hukum di negeri ini."

"Ada kabar baik tentang hukum di negeri Tuan pada masa ini." Jawabnya perlahan sambil tersenyum.

"Apa kabar baiknya?"

"Di zaman ini ia sudah tak lagi ada."

"Loh, kok kabar baik? Bukankah hukum itu harus ada untuk menegakkan keadilan."

"Memang benar demikian adanya. Akan tetapi untuk apa hukum itu ada jika semua manusianya sudah berakhlak mulia." Jawabnya tenang di tengah laju kendaraan kami yang juga berjalan cukup pelan, sebagaimana kendaraan-kendaraan lain yang ada di sekitar kami. Begitu senyap suara dari masing-masing mereka.

Sesekali aku melihat pada keadaan sekeliling, aku melihat sapa senyuman pada setiap wajah manusia yang kutemui di sepanjang jalan, seakan menyiratkan jaminan keselamatan dan kedamaian dari sanubari mereka untukku. Pemandangan ini menurutku sungguh aneh, sebab kami belum pernah saling mengenal dan bertegur sapa sebelumnya.

"Bagaimana caranya manusia pada masa ini bisa berakhlak mulia?"

"Mereka bisa berakhlak mulia sebab semuanya sudah mengimplementasikan apa yang ada pada kitab sucinya. Jadi, kitab suci tidak hanya sekadar menjadi wacana apalagi bahan untuk saling berbantahan seperti yang masih terjadi pada zaman Tuan. Persisnya, masing-masing kitab suci yang sudah benar-benar mereka pahami adalah pondasi utama dari setiap perilaku mereka."

"Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?"

"Sebab mereka sudah menyadari bahwa keyakinan beragama itu ibarat bahan masakan yang ada di dapur, di mana hasil olahannya adalah keluhuran akhlak yang disajikan untuk setiap manusia. Bukankah sikap itu yang sepatutnya mereka jaga di samping akhlak mereka kepada Tuhan?"

Begitu kuasanya Tuhan membolak-balikkan hati dan keadaan manusia. Aku tak berhenti takjub atas kuasa Tuhan yang telah membawaku hingga pada keadaan ini.

"Sepanjang perjalanan, tak satu pun saya melihat kondisi hunian tak pantas yang berisikan orang fakir di dalamnya." Aku mencoba menanggapi keadaan bangunan yang berjajar rapi di sekitar kendaraan yang kami tunggangi.

"Memang demikianlah adanya. Tidak ada satu pun penduduk miskin di negeri ini, sebab mereka semuanya sudah kaya. Setiap tahun mereka selalu mengeluarkan zakat harta dan dalam kesehariannya mereka selalu berlomba bersedekah. Sesekali yang menjadi kesulitan bagi kami di zaman ini adalah mengalokasikan hasil zakat dan sedekah ini. Sebab di negeri ini sudah tak ada lagi yang berhak untuk menerimanya."

"Lantas, kemanakah harta-harta itu akan didistribusikan?"

"Syukurlah, harta itu kemudian bisa tertampung di negeri seberang."

"Loh, bukankah di negeri itu sudah sangat makmur keadaannya. Bahkan ia pemberi bantuan terbanyak untuk negeri kita ini." Aku menyanggah dengan memendam rasa tidak percaya.

"Dahulu memang demikian keadaannya. Namun, ketamakan manusia seringkali bisa merubah keadaan. Mereka saat ini harus berbenah dan berproses untuk membentuk peradaban baru yang lebih mulia, di mana guru kebudayaannya adalah dari negeri Tuan ini.

"Jika boleh saya tahu, apakah kunci begitu luhurnya peradaban kami?"

"Seiring berjalannya waktu, bangsa Tuan adalah bangsa yang gemar berbenah dan mudah memaafkan. Barangkali itulah yang kemudian mendatangkan ridha Tuhan untuk negeri Tuan."

Segera saja aku memohon ampun atas kerdilnya pengetahuanku juga untuk saudara-saudaraku yang sangat rawan terjerembab dalam kezaliman.

"Bagaimana Tuan? Apakah Tuan masih tetap ingin tinggal dalam peradaban zaman ini?"

"Tidak. Aku ingin kembali saja ke masaku. Barangkali ada satu atau dua hal baik yang bisa kutanam untuk kemakmuran negeri ini."

"Baiklah, jika demikian. Semoga Tuhan senantiasa meridhai dan membimbing langkah Tuan."

"Amin."

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun