"Mohon maaf, sebelum saya hendak menjawab, sebelumnya saya ingin tahu, kira-kira bagaimana menurut pendapat Tuan jika melihat kondisi fisik negeri ini?" ia balik bertanya.
"Secara kasat mata, keadaannya terlihat sungguh maju luar biasa, bahkan di luar batas angan-angan dan pengetahuanku. Kekhawatiranku yang dulu akan bumi yang gersang akibat ambisi kapitalistik mendadak lenyap saat aku melihat keadaan di masa ini. Namun, aku tetap penasaran dengan keadaan yang terjadi pada gunung-gunung dan samudera."
"Tidak jauh berbeda, keadaannya tetap utuh di tempatnya. Hanya saja, mungkin ada tambahan harmoni dengan hadirnya hunian manusia." Jawabnya masih dengan sikap tenang.
"Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Bukankah manusia pada zamanku sudah mengambilnya dengan habis-habisan dan tinggal menunggu masa saja untuk kehancurannya?" aku bertambah heran.
"Memang benar, mereka dulu sempat mengambilnya secara habis-habisan. Akan tetapi hati dan sikap manusia akan berubah karena keterpaksaan."
"Maksudnya bagaimana?"
"Keserakahan mereka dalam mengambili apa saja yang tersedia dari alam telah menciptakan banyak kehancuran. Bahkan tidak hanya pada alam, namun juga berdampak pemusnahan terhadap sebagian golongan mereka sendiri. Inilah yang kemudian melahirkan rasa tidak aman akibat adanya kemungkinan ancaman dari satu pihak atas pihak lain."
"Sampai kapan itu terjadi?"
"Sampai manusia merasa jenuh atas keadaan mereka, sehingga mereka pun membentuk kesepakatan."
"Kesepakatan?"
"Benar. Kesepakatan untuk saling menjaga dan mengamankan satu sama lain. Bukankah esensi dari masing-masing keyakinan atau keimanan mereka adalah saling melahirkan rasa aman, tidak hanya bagi mereka sendiri namun juga untuk pihak lain."