Malam ini Marni merasakan duka yang sangat mendalam. Sebab gelang emas yang baru dibelinya dari toko perhiasan kemarin telah raib dari tasnya. Ia sama sekali tak menyangka bahwa konsentrasinya berbelanja barang untuk kebutuhan lebaran ternyata berujung pada hilangnya perhiasan yang sangat ingin ia pakai saat lebaran nanti.
Akibat peristiwa tersebut, rasa gelisah pun menyelimuti perasaannya sehingga ia pun bertekad untuk berpuasa agar Yang Maha Kuasa berkenan untuk meringankan beban perasaannya dan Dia berkenan untuk membantunya menemukan kembali barang yang sangat ia senangi itu.
Jono, suami Marni yang melihat kondisi isterinya masih saja sering merenung setelah menjalani dua hari berpuasa merasa tidak tega atas keadaanya. Apalagi ia tahu bahwa tidak lama lagi akan segera datang bulan puasa yang sesungguhnya, yakni Bulan Ramadhan. Ia khawatir kesedihan isterinya yang berlarut-larut itu akan mengganggu fokus ibadahnya saat telah berada pada bulan suci nanti.
Ia pun mencoba untuk melipur lara Marni dengan cara memberi sejumlah uang kepada isteri kinasihnya itu agar ia bisa membeli perhiasan pengganti.
"Sudahlah, Dik. Ini mas kasih uang untuk beli gelang yang baru." Ucap Jono sambil menyerahkan sejumlah uang dan membelai rambut Marni.
Pancaran senyuman lekas tampak merekah dari wajah Marni setelah ia memandang tulus senyuman dari wajah suaminya yang penuh perhatian itu.
*
"Mbak, gelang yang baru saja aku beli kemarin hilang sehari setelah belanja di sini." Curhat Marni kepada Dina, salah seorang pegawai di toko perhiasan emas langganan Marni.
"Lho, kok bisa, Mbak Marni?" Dina penasaran.
"Kemarin itu, ceritanya saya berbelanja di toko distro untuk kebutuhan lebaran. Lha, setelah berbelanja itu aku nggak lihat lagi gelang yang sebelumnya aku simpan di tas ini. Gelang dan surat perhiasan yang aku simpan di dalam dompet hilang!" Jelas Marni sambil tetap mencoba menenangkan diri.
"Apa mungkin jatuh, ya, Mbak?"
"Tidak tahu, Mbak. Ini saya puasai terus supaya ia bisa lekas kembali. Saya pun punya niat kalau sampai ada siapa saja yang menemukan dan mengembalikan barang itu akan saya beri upah yang pantas untuknya." Ujar Marni sambil menyimpan rasa sesal dalam-dalam atas keteledorannya.
"Bagaimana rupa barang Mbak Marni yang hilang itu?" Dina mencoba mencari tahu rincian barang yang hilang milik pelanggan setianya itu.
Marni pun menceritakan rincian barangnya yang hilang itu kepada Dina dan berharap ia dapat menghubunginya jika telah menemukan barangnya nanti.
"Sekarang rencananya saya mau cari gelang untuk gantinya. Hehe." Ucap Marni beberapa saat kemudian usai ia menceritakan spesifikasi barangnya yang hilang kepada Dina.
"Ya, silakan dipilih, Mbak. Ini ada model yang baru, kok!"
"Coba saya lihat yang ini, Mbak!" Jawab Marni sambil menunjuk sebuah gelang yang kilauannya tampak paling bening di antara barang yang lain.
*
"Mbak, saya mau jual barang milik tetangga saya. Apa benar barang ini dulunya berasal dari toko ini?" Tanya seorang ibu berpostur tambun pada Dina.
"Kalau keterangan di suratnya sih benar dari toko ini. Tapi untuk barangnya coba saya cek dahulu, ya!" Jawab Dina memeriksa barang yang telah diserahkan oleh ibu paruh baya itu. "Sebentar, ya, Bu. Saya timbang dulu." Lanjutnya.
"Mohon maaf, Bu. Ini keterangan suratnya memang benar dari toko kami. Tapi mohon maaf, barang yang ibu bawa ini tidak cocok dengan keterangan yang tertera di dalam surat." Dina mencoba bersikap profesional.
"Terus bagaimana Mbak? Apakah masih bisa dijual? Soalnya ini yang punya perhiasan sedang pergi ke Surabaya." Jawab si ibu sambil mencoba sedikit mengalihkan pandangannya dari Dina.
Dina lekas merasakan keganjilan dari keterangan yang telah disampaikan oleh ibu itu. Apalagi pada keterangan dalam surat itu sudah sangat jelas ia mendapati tulisan yang tertera nama Marni, salah seorang pelanggan setianya yang mengaku telah kehilangan perhiasan beberapa hari yang lalu.
"Baik. Kalau begitu silakan ibu duduk terlebih dahulu. Saya akan coba tanyakan kepada bos saya." Dina berusaha mengulur waktu agar si ibu penjual perhiasan tidak segera beranjak dari toko.
"Baik, Mbak." Jawab si ibu sambil melangkah ke deret kursi yang berjarak hanya sekitar 1,5 meter dari etalase perhiasan.
Dina mundur sejenak dari ruangan utama di tokonya. Ia mencoba menghubungi Marni untuk menceritakan barang yang baru saja ia terima dari seseorang yang ia rasa belum pernah berkunjung ke tokonya.
Marni mengabarkan pada Dina bahwa barang yang diceritakan dan ditunjukkannya melalui gambar foto itu sama persis dengan barangnya yang hilang sebulan lalu.
Makin mantaplah perasaan Dina bahwa ibu yang berniat menjual barang tadi bukanlah pemilik sebenarnya yang sah untuk menjual perhiasan itu.
Pada akhirnya Dina pun menahan barang perhiasan beserta surat perhiasan dari ibu itu. Alasannya adalah sebab barang tersebut milik salah seorang pelanggannya berdasar keterangan yang tertera di dalam surat.
Si ibu tetap mencoba menjelaskan ketidaktahuannya mengenai asal-usul barang itu.
Dina mencoba mencarikan jalan tengah untuk masalah itu dengan cara meminta nomor telepon dari ibu yang mengaku telah dimintai tolong oleh tetangganya untuk menjual perhiasan itu.
Selain itu, ia juga memberikan nomor kontak milik Marni, sang pemilik sah atas perhiasan itu. Barangkali si ibu nanti akan mendapatkan imbalan sepadan karena telah menemukan barangnya.
Akan tetapi, pada waktu itu si ibu tersebut ternyata tidak berkenan untuk memberikan nomor kontaknya meski ia telah mendapat nomor kontak dari si pemilik perhiasan. Sehingga ia pun berlalu meninggalkan toko dengan perhiasan yang masih ditahan oleh Dina dan pemilik toko.
Dina yang masih merasakan aura keganjilan dari sikap ibu itu berusaha mencatat jenis sepeda motor berikut nomor polisi yang melekat pada bagian depan kendaraannya.
*
Setengah jam kemudian, Marni yang sebelumnya telah mendapat kabar tentang perhiasannya itu telah sampai di toko perhiasan. Air mukanya menyiratkan rasa yang bercampur dari dalam batinnya, antara rasa senang, penasaran, cemas dan khawatir. Ia benar-benar tak menyangka masih bisa berjodoh dengan gelang emasnya yang telah hilang.
Marni pun menceritakan bahwa sebenarnya ia tak hanya kehilangan gelang emas saja akan tetapi ia juga kehilangan perhiasan kalung dengan berat sekitar dua gram.
Usai mendengar penuturan dari Marni, wajah Dina mendadak berubah pucat. Ia benar-benar tak menduga perhiasan kalung yang sebenarnya juga akan dijual oleh ibu tadi ternyata juga merupakan milik Marni. Sementara ia telah terlanjur menyerahkan kembali perhiasan kalung pada ibu itu. Dina benar-benar menyesali keputusannya yang tak sempat menanyakan secara detail barang apa saja dari si Marni yang telah hilang.
Akan tetapi, Marni tampaknya sudah mengikhlaskan kalungnya yang hilang itu. Lantaran salah satu barangnya yang lebih berharga yakni gelang emas seberat 4,5 gram sudah kembali ke tangannya.
Tak lupa ia mengucapkan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Dina karena telah membantunya untuk menemukan perhiasan yang sudah ia anggap sebagai belahan hatinya tersebut.
Demikian pula Dina, ia mewakili pihak toko memohon maaf dengan setulusnya atas keteledorannya dalam menerima barang dari pembeli asing tadi.Â
Tak lupa ia memberikan catatan tentang sepeda motor dan nomor polisi dari kendaraan si ibu yang menjual perhiasannya tadi. Barangkali hal ini akan membantu untuk dapat menemukan pihak yang masih membawa perhiasannya yang lain.
Setelah menerima lembar catatan dari Dina, Marni tampak tak begitu mempermasalahkan keadaan kalungnya yang masih raib itu. Lantaran ia menganggap barangkali itu adalah jatah yang seharusnya ia beri kepada pihak yang telah menemukan perhiasannya.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H