"Terus bagaimana Mbak? Apakah masih bisa dijual? Soalnya ini yang punya perhiasan sedang pergi ke Surabaya." Jawab si ibu sambil mencoba sedikit mengalihkan pandangannya dari Dina.
Dina lekas merasakan keganjilan dari keterangan yang telah disampaikan oleh ibu itu. Apalagi pada keterangan dalam surat itu sudah sangat jelas ia mendapati tulisan yang tertera nama Marni, salah seorang pelanggan setianya yang mengaku telah kehilangan perhiasan beberapa hari yang lalu.
"Baik. Kalau begitu silakan ibu duduk terlebih dahulu. Saya akan coba tanyakan kepada bos saya." Dina berusaha mengulur waktu agar si ibu penjual perhiasan tidak segera beranjak dari toko.
"Baik, Mbak." Jawab si ibu sambil melangkah ke deret kursi yang berjarak hanya sekitar 1,5 meter dari etalase perhiasan.
Dina mundur sejenak dari ruangan utama di tokonya. Ia mencoba menghubungi Marni untuk menceritakan barang yang baru saja ia terima dari seseorang yang ia rasa belum pernah berkunjung ke tokonya.
Marni mengabarkan pada Dina bahwa barang yang diceritakan dan ditunjukkannya melalui gambar foto itu sama persis dengan barangnya yang hilang sebulan lalu.
Makin mantaplah perasaan Dina bahwa ibu yang berniat menjual barang tadi bukanlah pemilik sebenarnya yang sah untuk menjual perhiasan itu.
Pada akhirnya Dina pun menahan barang perhiasan beserta surat perhiasan dari ibu itu. Alasannya adalah sebab barang tersebut milik salah seorang pelanggannya berdasar keterangan yang tertera di dalam surat.
Si ibu tetap mencoba menjelaskan ketidaktahuannya mengenai asal-usul barang itu.
Dina mencoba mencarikan jalan tengah untuk masalah itu dengan cara meminta nomor telepon dari ibu yang mengaku telah dimintai tolong oleh tetangganya untuk menjual perhiasan itu.
Selain itu, ia juga memberikan nomor kontak milik Marni, sang pemilik sah atas perhiasan itu. Barangkali si ibu nanti akan mendapatkan imbalan sepadan karena telah menemukan barangnya.