"Selama ini aku terlalu sibuk menilai keburukan dari makhluk lain sehingga aku benar-benar lupa dengan keburukan sendiri yang kumiliki."
Sang bapak menyimak jawaban anaknya itu dengan lekas menampakkan senyuman.
"Selain itu, tak sepantasnya aku menilai kebaikan ataupun keburukan makhluk lain. Sebab sepatutnya semua itu adalah bagian dari hak prerogatif, pengetahuan sekaligus kekuasaan dari Tuhan." tambahnya.
"Saat ini, mungkin bisa saja kuanggap mereka adalah makhluk yang buruk, tapi siapa bisa menjamin kelak di penghujung hidupnya ia akan tetap menjadi makhluk yang buruk. Begitu pula dengan keadaan diriku." sambung si pemuda itu tampak semakin mantab dengan kepasrahan jawabannya.
Sang bapak itu bertambah binar wajahnya setelah mendengar penjelasan yang berangsur-angsur dari anaknya.
"Aku begitu menyesal Pak, atas kebodohanku selama ini. Sebab tak mampu memandang kekurangan yang ada pada diri sendiri akibat terlalu sibuk dengan keburukan pada makhluk yang lain." lanjut pemuda itu dengan penuh ketulusan.
"Syukurlah, jika kamu telah memahaminya, Nak." tanggap pria sepuh itu sembari menepuk tiga kali pundak puteranya dengan penuh kelembutan.Â
***
Diolah dari ceramah Habib Anis dan tanggapan Mbah Nun dalam Piweling Maiyah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H