Begitu para putera Ya'qub telah sampai di gerbang utama ibukota, mereka mendapati keadaan disana tak seperti awal kali berkunjung dahulu. Gerbang itu kini telah terkunci dengan sangat rapat.Â
Para putera Ya'qub menduga, perihal ini mungkin terjadi lantaran kondisi persediaan bahan makanan di lumbung itu kian menipis, sehingga jalan masuk menuju ke jantung kota menjadi lebih terbatas dan sulit dilalui oleh siapa saja, khususnya para kafilah yang berasal dari daerah lain.Â
Mendapati keadaan yang demikian, para putera Ya'qub menjadi teringat akan pesan bijak bapak mereka sebelum berpamitan, "Sebuah pintu mungkin telah tertutup, namun pasti ada pintu-pintu lain yang dapat kalian masuki."Â
Itulah gambaran pesan sederhana namun penuh makna yang kini terpatri dalam benak mereka.
Dengan memegang teguh nasihat dari bapak mereka itu, mereka pun terus berupaya untuk mencari pintu alternatif yang dapat mereka lalui untuk menuju lumbung pangan. Hingga pada akhirnya, upaya mereka memperoleh keberhasilan.
Tak hanya sanggup memasuki ibukota, mereka bahkan juga memperoleh bahan makanan yang dibutuhkan sekaligus mendapat jamuan yang begitu istimewa di rumah sang bangsawan yang dulu pernah mereka temui.Â
Pada suasana yang penuh keakraban itu, rupanya sang bangsawan telah memiliki rencana tersendiri atas mereka, yakni mencari celah waktu agar ia dapat bersua dan bercengkerama lebih dekat dengan Bunyamin, salah seorang putera Ya'qub. Dan tibalah saat yang dinanti-nanti itu.
Sang bangsawan kini telah menempatkan Bunyamin terpisah dari saudara-saudaranya yang lain. Bangsawan itu berkata lirih padanya, "Ketahuilah, sebenarnya aku ini adalah saudaramu, Yusuf. Janganlah kamu bersedih hati atas apa yang telah diperbuat oleh saudara-saudaramu itu."
Bunyamin benar-benar terkejut dengan perkataan sang bangsawan itu. Ia sama sekali tak menduga bahwa lelaki rupawan yang tepat berada di hadapannya itu ternyata adalah kakak kandungnya sendiri, Yusuf, yang selama ini begitu simpang siur berita mengenai keberadaannya.
"Tinggallah kamu di sini bersamaku seperti halnya kamu tinggal di rumahmu sendiri. Dengan ini, aku akan mengatur sebuah siasat yang akan memudahkan jalanmu untuk tinggal di sini," tutur pria penuh wibawa yang mengaku diri sebagai Yusuf itu sambil mengambil sebuah piala yang ditunjukkan pada Bunyamin.
"Untuk sementara, jangan kamu ceritakan percakapan kita ini pada saudaramu yang lain, agar mereka tahu sendiri apa yang akan terjadi pada diri mereka nanti." lanjutnya sambil menutup percakapan singkat itu dengan Bunyamin.Â
***
Usai menuntaskan urusan untuk mencari bahan makanan, para putera Ya'qub berniat untuk segera bertolak menuju tempat tinggal mereka. Hal ini mereka putuskan untuk memburu waktu, seiring menipisnya sisa bahan makanan yang masih tersedia di rumah mereka.
Begitu mereka telah bersiap untuk berangkat pulang, tetiba mereka dikejutkan oleh berita kehilangan dari salah seorang petugas di lumbung pangan. Petugas itu menceritakan, sang bangsawan kerajaan mengaku telah kehilangan salah satu piala rajanya.Â
Untuk menanggapi kabar kehilangan dari bangsawan itu, para petugas di lumbung pangan dengan dibantu oleh punggawa kerajaan segera mengambil gerak cepat. Mereka telah menentukan beberapa titik pos di setiap sudut kota untuk memeriksa seluruh penghuni kota, tak terkecuali para kafilah dari daerah lain yang datang untuk mencari bahan makanan.Â
Tak berselang lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara yang terdengar berat menggelegar dari seorang punggawa kerajaan, "Wahai kafilah, kami telah mengetahui, sebenarnya kalianlah pencurinya!"
Mendapati tuduhan yang tak berdasar dari pria berbadan tegap itu, para putera Ya'qub bertanya balik pada punggawa itu, "Kamu kehilangan barang apa?"
"Kami telah kehilangan piala raja." punggawa itu menjawab.
"Demi Allah, sungguh, kalian telah mengetahui bahwa kami datang bukan untuk berbuat kerusakan di negeri ini. Dan selain itu, kami juga bukanlah sekelompok pencuri." salah seorang putera Ya'qub itu menjawab.
"Apa hukumannya jika kalian terbukti berbohong?" Punggawa itu memburu.
"Hukumannya adalah, pada siapa saja yang ditemukan di dalam karungnya barang yang hilang itu, maka dia sendirilah yang akan menerima hukumannya. Demikianlah biasanya kami memberi hukuman pada orang-orang berbuat zalim."
Maka, mereka pun mulai memeriksa karung-karung yang mereka bawa itu satu persatu, dengan pengawasan dari para punggawa kerajaan dan petugas di lumbung pangan. Kemudian, ternyata, salah seorang diantara mereka mendapati piala raja itu telah berada di dalam karung salah seorang dari mereka, yakni pada karung milik Bunyamin.
Para putera Ya'qub itu kaget bukan kepalang. Sebab, mereka sama sekali tak mengira, adik yang mereka akui begitu halus perilakunya itu telah tertangkap basah mencuri, dan parahnya, hal itu terjadi di wilayah yang mereka anggap masih sangat asing ini. Karena sama sekali tak mempercayai kebenaran yang mereka saksikan itu, mereka pun secara spontan membela Bunyamin.
"Jika dia mencuri, maka sungguh sebelum itu saudaranya pun pernah pula mencuri." salah seorang saudara Bunyamin yang merasa kelakuannya tak lebih baik dari adiknya itu mencoba membela.
Mendengar pembelaan demi pembelaan yang disampaikan oleh saudara-saudara Bunyamin itu, Yusuf yang juga tengah berada bersama mereka, berupaya untuk menyembunyikan kedongkolan di dalam hatinya atas perilaku saudara-saudaranya di masa terdahulu, sehingga tak tampak sedikitpun ekspresi kekesalan di mimik wajahnya.
"Kedudukan kalian itu sebenarnya jauh lebih buruk dari apa yang telah kalian ucapkan. Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas apa yang kalian terangkan." ungkap Yusuf di dalam hati.Â
"Wahai Tuanku, sesungguhnya dia memiliki bapak yang berusia lanjut yang begitu menyayanginya. Oleh sebab itu, sudilah kiranya Tuan menunjuk salah seorang diantara kami untuk menggantikan hukumannya. Sesungguhnya kami memandang Tuan adalah termasuk orang-orang yang bersikap baik dan bijaksana." ucap salah seorang saudara Bunyamin mencoba melobi Yusuf yang masih mereka kenal sebagai seorang bangsawan yang arif-bijak.Â
Yusuf pun menanggapi permintaan mereka, "Aku memohon perlindungan kepada Allah dari sikap menghukum seseorang, kecuali atas kesalahan yang telah diperbuatnya sendiri, yakni mencuri harta yang kumiliki. Jika aku sampai menghukum pihak yang tak bersalah ini, maka berarti aku termasuk golongan orang yang zalim."
Mendengar jawaban sekaligus keputusan tegas dari sang bangsawan ini, para putera Ya'qub itu menjadi berputus asa mengenai nasib yang akan menimpa adik mereka. Akhirnya, mereka pun mengambil jarak dari kelompok petugas dan punggawa kerajaan itu untuk berunding sambil berbisik-bisik.Â
Yang tertua diantara mereka berpesan kepada adik-adiknya, "Tidakkah kalian tahu bahwa bapak kalian dahulu juga telah mengambil janji dari kalian dengan menyebut nama Allah, sebelum kalian menganiaya Yusuf? Sebab alasan itulah, aku takkan meninggalkan kota ini, sampai bapakku sendiri yang mengizinkanku untuk kembali. Atau, Allah yang akan memberi keputusan terhadapku. Karena sesungguhnya Dia-lah adalah sebenar-benarnya Hakim yang paling adil."
"Kembalilah kalian kepada bapak kalian dan katakanlah, 'Wahai bapak kami, sesungguhnya anakmu, Bunyamin telah mencuri. Kami hanya menyaksikan saja apa yang kami ketahui dan kami tidak mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi di balik semua itu'". saudara tertua itu menutup ucapannya.Â
***
Kawan, berdasarkan kisah Nabi Yusuf dan saudara-saudaranya tadi, kiranya kita dapat mengambil beberapa hikmah yang dapat kita petik di dalamnya.Â
Pertama, mengenai perjalanan roda nasib manusia. Yusuf yang pada masa kecilnya selalu dianiaya, disia-siakan, dicampakkan, bahkan dibuang oleh saudara-saudaranya sendiri ke dalam sebuah sumur yang berada di tengah hutan, telah menjelma menjadi sosok yang begitu mulia di atas mereka, beberapa tahun kemudian.Â
Hal ini tidak lain adalah karena ketetapan Allah sendiri yang telah digariskan padanya, sehingga bagaimanapun saudara-saudaranya itu telah memperlakukannya, mengusiknya, bahkan menelantarkannya, keadaan itu takkan mampu mengubah sedikitpun nasib baik yang akan diterimanya.Â
Kezaliman yang telah ditimpakan oleh saudara-saudara Yusuf itu justru menjelma menjadi penempa yang kian mematangkan dan mengilaukan sikapnya sebagai manusia berjiwa luhur yang memiliki segenap kesabaran dan rasa keadilan saat menghadapi pelbagai bentuk kezaliman dari lingkungannya.Â
Kedua, kesediaan salah seorang putera Ya'qub untuk memedulikan nasib adiknya, yakni Bunyamin, dengan mencoba menggantikan perannya menjalani hukuman dan terus menetap di ibukota demi mengamati perkembangan nasib adiknya itu, merupakan bukti bahwa diantara putera Ya'qub ini telah ada yang memiliki kecenderungan untuk memperbaiki sikap mereka terdahulu, dengan cara bertanggungjawab atas amanah yang telah diberikan oleh bapaknya.Â
Dia seakan tak sanggup jika harus menerima kekecewaan kembali dari bapaknya dengan menyuguhkan kabar bahwa adiknya itu telah menjadi tahanan di ibukota, tanpa ada pembelaan yang berarti darinya.Â
Dengan demikian, kiranya kita dapat menyimpulkan, bahwa tidak ada upaya terbaik yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki kepercayaan seseorang yang telah luntur sebelumnya akibat terkhianati, kecuali dengan memohon maaf yang tulus-tulusnya diiringi dengan komitmen untuk melestarikan amanah yang ia berikan kembali di masa depan.Â
Demikianlah kiranya apa yang dapat kita petik dari kisah Nabi Yusuf kali ini. Bagaimanakah kira-kira reaksi Nabi Ya'qub setelah mendapat kabar mengenai kasus pidana yang menimpa puteranya ini? Insyaallah, akan penulis ceritakan pada tulisan berikutnya. (*)
Referensi: QS Yusuf 68-81
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H