Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pelajaran Kehidupan dari Tukang Tambal Ban

10 September 2020   09:25 Diperbarui: 10 September 2020   09:29 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin sore, saat perjalanan pulang kerja, mendadak ban sepeda motor saya gembos. Saya langsung membatin, "Waduh ini, bocor bannya," dalam bahasa Jawa tentunya. 

Untuk memastikannya, saya pun mengecek kondisi ban itu. Dan benarlah anggitan saya, ia bocor. Saya pun bertanya pada salah seorang yang berada di sekitar saya untuk mencari tahu kira-kira dimana saya bisa menemukan seorang tukang tambal ban terdekat. 

Seseorang yang saya tanyai itu menunjukkan arah tempat tambal ban. Untunglah, lokasinya hanya berjarak setengah kilometeran saja dari tempat saya berdiri. 

Saya menyusuri jalanan sambil menuntun sepeda untuk menuju lokasi yang ditunjuk oleh orang itu tadi.

Sesampainya saya di lokasi tukang tambal ban, ternyata saya mendapati tempat itu sudah tutup. Saya mencoba bertanya pada seorang ibu penjaga warung yang lokasinya persis di samping kios tambal ban itu. Ibu itu menjawab singkat pertanyaan saya, "ada."

Sejurus kemudian, ibu itu menghampiri pintu samping rumah yang sepertinya adalah milik si penambal ban. Tak berselang lama, sang penambal ban pun membuka bedak kiosnya.

Saya terkejut saat mendapati sesosok pria paruh baya dengan pakaian yang agak lusuh membuka pintu kiosnya dengan keadaan ngesot (bersimpuh). 

"Gimana? Jadi apa nggak?" tiba-tiba pria itu bertanya pada entah siapa yang berada di dekatnya, dengan tatapan mata yang kosong. 

"Jadi, Pak." saya pun menjawab saja pertanyaan dari bapak itu sebab saya memang sedang berniat untuk menambal ban. 

Bapak itu menutup kembali bedak kiosnya yang berukuran 2.5 meteran itu dengan setengah rapat. Saya mendengar suara kemelotak dari dalam kios mungilnya. Sepertinya bapak itu tengah menyiapkan beberapa perkakasnya sebelum memulai perbaikan. 

Setelah rampung dengan persiapannya, bapak itu membuka kembali bedak kios. Ia lekas memeriksa ban sepeda motor saya yang gembos akut di bagian belakangnya itu. Dan, ia pun melakukan hal itu dengan keadaan ngesot. 

Saya menatapi keadaan bapak yang sedang khusyuk dengan pekerjaannya itu. Saya memandang lekat-lekat air mukanya. Tampak begitu bening dan teduh, seakan tiada sedikit pun kegelisahan di dalamnya. 

Sambil mengerjakan perbaikan ban, bapak itu mengaku pada saya, sebenarnya hari itu ia tak berniat untuk membuka kiosnya, lantaran ia sedang merasa kurang enak badan. Namun, karena ada 'panggilan tugas', maka mau tidak mau ia pun harus memenuhinya. 

Mendengar penuturannya itu, saya pun memohon maaf pada bapak itu, sebab telah mengganggu masa istirahatnya. Namun, amatlah tidak disangka, bapak itu menjawab dengan jawaban yang sangat melegakan, "Tidak mengapa, sekarang saya sudah baikan."

Tentu saja, saya tidak tahu bagaimana persisnya kondisi dari bapak itu. Tapi, jika melihat ketangkasan tangannya saat mencopot bagian dalam ban sepeda saya, sepertinya ia dalam kondisi sehat. 

Sambil menunggu rampungnya pekerjaan bapak itu, saya pun memesan segelas kopi Kapal Api pada ibu yang berjasa memanggilkan bapak penambal ban tadi. 

Segelas kopi ini akan menemani saya menulis sebuah artikel. Dan, artikel yang sedang Anda baca inilah yang telah saya susun sambil menunggu rampungnya pekerjaan bapak tadi.

Ketika berada di tempat itu, saya seakan mendapat pelajaran hidup yang sangat dalam. Pelajaran itu adalah mengenai sikap ketelatenan dan optimisme seseorang dalam mengarungi kehidupan.

Bapak tukang tambal ban itu, meski kondisinya hanya mampu bersimpuh saja, tak terlihat kesan sedikit pun darinya sikap mengeluh dalam menjalani kehidupan. 

Sikap bapak ini mengingatkan saya pada sebuah firman Tuhan yang kurang lebih maksudnya adalah: "Dan tidaklah ada satu pun kehidupan di dunia ini, kecuali Allah lah yang menjamin rezekinya." 

Saya merasa seakan bapak itu telah paham benar dengan maksud dari ayat ini, sehingga terpancar aura ketenangan hidup dari dalam dirinya. 

Jika saya melihat kondisi fisik dan pakaiannya memang tampak lusuh. Tapi, jika saya mengamati sikapnya, seakan ia memercikkan kebeningan hati yang luar biasa.

Perilaku bapak tukang tambal ban itu tentu begitu kontras dengan mereka yang tampak suci-bersih pakaian dan fisiknya. Namun, jika kita menilik sikap dan perilaku mereka lebih lanjut, akan terungkaplah golongan itu sangat penuh dengan kotoran kesalahan. 

Keadaan bapak yang tampak begitu yakin dengan apa yang akan diberikan oleh Tuhan untuknya itu menjadikannya sangat mantap dalam mengais jatah rezekinya. Kondisinya sangat jauh berbeda dengan mereka yang mengemis-ngemis pangkat dan materi dengan mengungkit-ungkit jasa yang tak terasa manfaatnya. 

Saya menjadi heran, kenapa mereka yang memiliki modal kesehatan dan fisik yang prima itu bisa begitu khawatirnya dengan persoalan jatah rezeki, sehingga mereka pun begitu liar dalam mengaisnya. Tipu sana tipu sini. Suap sana suap sini, dan seterusnya. 

Saya benar-benar tidak paham, kenapa mereka yang kondisinya sehat ini justru mau-maunya mencari materi, kebanggaan dan kebahagiaan dengan cara yang bertentangan dengan etika dan moral? Kenapa mereka sampai hati melakukan itu semua meski harus berlawanan dengan kehendak nuraninya? Ah, biarlah mereka sendiri yang akan menjawabnya. 

Betapa Maha Mulianya Tuhan yang telah mengajari saya tentang sikap hidup yang luar biasa dari bapak ini. Ia telah menginspirasi saya supaya tidak terlalu tergesa-gesa dan menggebu dalam mencari materi dan menjalani kehidupan. 

Ada yang bilang, tergesa-gesa itu adalah bagian dari sifatnya setan, sedangkan ketenangan itu adalah cerminan dari sifatnya Tuhan. 

Jiwa yang penuh ketenangan inilah yang telah saya dapat ketika dipertemukan dengan seorang bapak penambal ban ini. 

Semoga sikap hidup yang luhur dari bapak ini dapat menjadi teladan bagi siapa saja. Dan semoga anugerah kesehatan dan kesabaran senantiasa terlimpahkan padanya saat menjalani peran sebagai tukang tambal ban.

Dan sebagai penutup dari tulisan ini, saya ingin mengucapkan duka yang sedalam-dalamnya atas wafatnya Bapak Jakob Oetama. Semoga jejak perjuangan yang telah beliau teladankan pada kita dalam dunia literasi ini akan membawa inspirasi kebaikan untuk negeri ini. [mam]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun