Jika kita menengok kembali pada cermin sejarah, tentu kita akan mendapati banyak peristiwa luar biasa yang terjadi pada Bulan Muharram ini, seperti, diselamatkannya Nabi Nuh AS dan para pengikutnya dari bencana air bah, diselamatkannya Kalimullah Musa AS dari kejaran Raja Firaun dan bala tentaranya, sehingga orang Yahudi pun mengenang peristiwa monumental ini dengan berpuasa setiap tanggal 10 Muharram.
Jika melihat sejarah tersebut, kiranya kita akan dapat mengambil sebuah hikmah bahwa dalam berjuang di jalan Tuhan tentu akan mendapati banyak ujian yang teramat berat. Namun, kita juga tidak boleh lupa, bahwa Allah sangat mampu menolong siapa saja yang dikehendaki-Nya, meski jika dihitung secara nalar hal itu terasa sangat mustahil terjadi.
Ketiga, Harapan bertambahnya kebaikan di masa yang akan datang
Siapa pun tentu mengharap datangnya kebaikan yang terus mengalir bahkan bertambah dalam kehidupannya. Apalagi manakala mereka meyakini bahwa kalau tak mampu mencapai peningkatan itu akan mengantarkannya pada fase kerugian dan kehancuran dari waktu ke waktu. Untuk itulah, dengan adanya harapan datangnya kebaikan yang semakin meningkat ini, sepatutnya siapa saja mempergunakan waktu dengan sebaik mungkin agar nilai ke-hasanah-an yang ada di dalamnya kian bertambah.
Contoh sederhana atas penggunaan waktu yang semakin baik ini adalah mengenai kebiasaan seseorang untuk rutin menulis setiap hari. Taruhlah, dalam sehari seseorang mampu menyelesaikan 1 artikel, maka dalam setahun akan rampung 365 tulisan.
Dengan istiqamah menabung 1 artikel per hari (one day one article), seseorang akan untung setidaknya 1 buku dalam setahun. Keuntungan ini belum termasuk bertambahnya pembaca dan teman (saya tidak menyebutnya follower) yang sudah berlangganan menikmati karya-karya mereka sebelumnya.
Keempat, Berlomba dalam hal kebaikan
Saat Baginda Nabi Muhammad mendengar kabar mengenai kebiasaan penduduk Yahudi Madinah yang berpuasa tiap tanggal 10 Muharram demi memeringati peristiwa diselamatkannya Nabi Musa dari kejaran Firaun, maka Nabi pun berniat untuk 'menandingi'-nya dengan berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram pada tahun berikutnya. Namun amatlah disayangkan, belum genap sampai pada tahun berikutnya beliau telah wafat sehingga niat baik itu pun belum terlaksana.
Setidaknya dari peristiwa ini kita dapat mengambil sebuah 'ibrah bahwa hendaknya seseorang saling berlomba dalam hal kebaikan. Misalnya saja melalui ibadah puasa, seperti yang telah Nabi contohkan. Dimana puasa ini adalah bentuk ibadah yang diakui secara langsung keutamaannya bagi para pengamalnya di sisi Allah SWT--ash-shaumu lii wa ana ajzii bih.
Dari keteladanan Baginda Nabi untuk saling berlomba dalam ihwal kebaikan ini, kiranya kita mampu menirunya untuk berbagai konteks dalam keseharian kita, misalnya dalam menjalani profesi kita, berinteraksi dengan lingkungan kita, serta menjalani apa saja yang bermanfaat bagi kehidupan.
Barangkali demikianlah yang dapat kita jadikan hikmah atas peringatan tahun baru hijriah saat ini. Semoga Tuhan senantiasa membimbing setiap langkah kita sehingga kita dapat menjadi pribadi yang semakin baik dari waktu ke waktu.