Untuk melakukan evaluasi diri tanpa merasa malu ini saya bisa memberikan sebuah contoh sederhana dari pengalaman pribadi saya. Saya biasa menggunakan tokoh imajiner untuk mengungkap kesalahan-kesalahan saya sendiri melalui tulisan. Sambil menuliskan kisah tokoh imajiner ini saya sambil mengakuinya di dalam hati bahwa tokoh yang saya ceritakan itu sebenarnya adalah cermin dari saya sendiri.Â
Saya menceritakan kisah dari sosok lain, namun dalam hati saya mengutuk, mengecam, dan menyalahkan kesalahan-kesalahan yang telah saya perbuat. Sehingga saya pun akan menggambarkan keadaan seorang tokoh yang menyesali perbuatannya dan memperbaiki kondisinya yang sekaligus akan menjadi ajang untuk mengoreksi kesalahan saya sendiri.
Ini adalah contoh sederhana dari saya saja. Dan bukan berarti siapa saja harus melakukan sama persis seperti apa yang telah saya lakukan. Saya tidak ingin memaksa siapa saja untuk meniru saya, sebab barangkali selain cara ini masih ada cara lain yang lebih tepat untuk dilakukan.Â
Bagi saya, dengan adanya pengakuan terhadap kesalahan diri ini, kiranya langkah siapa saja untuk membenahi diri akan semakin mudah untuk dilakukan sebab ia telah mengakui secara nyata bentuk kesalahannya, meskipun itu dengan cara mereka sendiri.Â
Kita akan berpeluang bangkit dari kesalahan manakala kita sadar bahwa saat ini kita sedang terjatuh. Dan bukan dengan cara berpaling dari kenyataan, yakni tidak mau bangkit dari kesalahan sebab tidak merasa sedang terjerembap dalam dalam kekhilafan. Dan, persepsi awal inilah yang akan menentukan langkah kita selanjutnya, yakni menuju perbaikan diri.Â
Kesadaran kita untuk bangkit secara kolektif di tengah momentum kemerdekaan yang istimewa ini akan menjadi modal berharga bagi kita untuk menggerakkan negeri ini. Akan menjadi bekal bagi kita untuk melakukan sebuah gerakan dobrakan, percepatan di tengah himpitan celah-celah krisis yang tidak kita ketahui kapan masa berakhirnya ini.Â
Dobrakan dan percepatan inilah yang akan menjadi langkah awal bagi perjuangan kita untuk segera merdeka dari belenggu penjajahan krisis ini, sehingga kita akan berpeluang untuk mendahului kemajuan dari bangsa-bangsa yang lainnya.Â
Sehingga dari sini saya pun dapat menyimpulkan bahwa maksud dari 'membajak atau merampok momentum krisis' yang disampaikan oleh Pak Jokowi itu adalah sebuah upaya untuk menyalip, melakukan akselerasi percepatan di tikungan krisis, demi memenangkan perlombaan di segala bidang kehidupan atas bangsa-bangsa yang lainnya.Â
Selanjutnya, jika kita mengaitkan frasa bajak ini dengan sejarah, kita akan menemukan fakta bahwa bangsa kita adalah bangsa yang kental dengan budaya maritim dan budaya agraria. Masyarakat kita telah terbiasa menyelami lautan dan telah lumrah dalam menekuni aktivitas pembajakan persawahan.
Apakah ini berarti saya akan mengajak kembali pada dua budaya ini, khususnya budaya untuk membajak sawah? Kenapa tidak? Bukankah sawah dan hasil pertanian adalah aspek dasar yang akan menopang seluruh sendi perekonomian?Â
Jika kita memiliki aset berupa tanah yang luas mengapa tidak dimanfaatkan? Dan justru ia telah kita tanami dengan gedung-gedung tak ramah alam yang mewadahi kapitalis birokrat yang peranannya penuh tanda tanya untuk negeri ini? Bukankah begitu Prof Felix Tani? (Semoga beliau baca tulisan ini)Â