Dua tahun sudah, Puspita menjalin tali kasih yang penuh kisah dengan Salman. Meskipun belum masuk ke jenjang “penyucian” hubungan, diantara keduanya sudah tercatat dalam memori masing-masing bagaimana “sulaman” hubungan antara muda-mudi tersebut yang penuh suka dan duka, suka yang selalu terkenang karena penuh keceriaan dan dukapun yang akan selalu terkenang indah dimana saat bersama-sama mampu melaluinya.
Memiliki karakter yang underminder (lebih parah dari minder) tentunya bukan masalah yang sederhana bagi Salman dalam menjalin hubungan yang mengikat batin dengan seorang gadis mulia dan terhormat, putri dari seorang Keuchik di Krueng Raya – Aceh Besar, persis di pesisir Selat Malaka. Sedangkan Salman sendiri hanya seorang anak yang terlahir dari keluarga buruh petani sawit di daerah Aceh Tamiang. Namun karena sikap Puspita yang penuh kesehajaan mampu menumbuhkan rasa percaya diri Salman, paling tidak saat berhadapan dengan Puspita.
Meskipun kedunya merupakan Aneuk Nanggroe, Puspita dan Salman baru saling mengenal di tanah perantauan, Jakarta. Puspita ada di Jakarta untuk mengejar gelar D3-nya sebagai tenaga keperawatan di salah satu Akademi Keperawatan swasta ternama dibilangan Jakarta Barat, sedangkan Salman sendiri.... hemhhh, mengejar impiannya agar dapat menyekolahkan adik-adiknya di Gampong, yatitu bekerja dengan harapan mendapatkan penghasilan yang lebih layak sebagaimana kisah mereka-mereka yang sudah pernah merasakan manisnya rupiah ibukota.
Pertemuan awal antara Puspita dan Salman berlangsung diatas Metromini saat keduanya pulang dari aktivitas rutin masing-masing. Salman menuju ke kontrakannya sedangkan Puspita menuju rumah bibinya yang kebetulan tinggal di Jakarta, sehingga dia tidak perlu repot-repot tinggal di kosan. Dan ternyata, keduanya sama-sama beratap di sekitar Kebon Jeruk.
Ketika dipinta ongkos bis oleh seorang kernet, sempat terjadi adu tawar menawar tarif antar sang kernet dengan Salman. Karena kernet meminta ongkos yang dianggap ketinggian oleh Salman, Salman sedikit ngedumel dengan bahasa dan logat yang khas Aceh. Mendengar bahasa dan logat yang tidak asing, Puspita (yang kebetulan duduk disamping Salman) langsung menyapa Salman. Bermula dari sinilah akhirnya keduanya menjadi akrab, saling bertukar nomor handphone, sesekali berangkat dan pulang bersama, hingga akhirnya terikrarkanlah ungkapan hati saling menyukai diantara keduanya.
Waktu demi waktu, hari demi hari, ragam cerita kehidupanpun banyak dilalui oleh keduanya dalam batasan-batasan kewajaran yang masih diluar ikatan kesucian. Sebisa mungkin diantara keduanya saling membantu dan saling menumbuhkan benih-benih kasih sayang, dengan harapan bisa mekar berbunga dengan indah pada waktunya, dan sebisa mungkin pula keduanya menghindari hal-hal diluar batas kewajaran yang dikhawatirkan akan mengkandaskan tujuan mereka merantau.
Tidak jarang Puspita mengingatkan Salman supaya tetap fokus kepada tujuan awalnya merantau, yaitu bekerja dengan baik untuk menyekolahkan adik-adiknya di kampung. Sering pula Salman pun mengingatkan Puspita tentang tujuan awal puspita menginjakan kaki di ibukota. Intinya, keduanya berusaha saling berusaha supaya hubungan yang mereka jalin bisa saling menguntungkan dan memberikan efek positif yang buahnya diharapkan bisa dipetik bersama-sama. Tidak hanya sebatas saling mengingatkan, jika sempat dan mampu Salman pun meluangakan waktu untuk membantu Puspita dalam mengerjakan tugas kuliahnya, ya paling tidak bantu-bantu mengetik lah... begitu juga dengan Puspita, yang dengan senang hati kadang membantu juga pekerjaan Salman yang dikejar deadline. Semuanya berjalan normal, indah dan menyenangkan.
Untuk saling menjaga diri, pepatah Ureueng Tuha secara turun temurun yang diajarkan pula kepada Salman dan Puspita oleh masing-masing orang tuanya berusaha mereka pegang teguh, yang ternyata memang pepatah tersebut memiliki prinsip yang sama bagi keduanya, yaitu “Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita". Yang maksudnya kurang lebih menjelaskan bahwa adat dengan anak itu diposisi yang sama-sama penting, apabila anak yang meninggal itu masih ada bekasnya yaitu kuburan sedangkan apabila adat yang hilang kita tidak tahu ke mana mesti kita mencarinya. Ungkapan tersebut juga merupakan wujud kesadaran masyarakat tentang pentingnya adat-istiadat, yang telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap kelangsungan kehidupan sosial budaya masyarakat di Aceh. Bahkan bagi kalangan masyarakat Aceh, adat telah mendapat tempat yang istimewa dalam perilaku sosial dan keagamaannya. Baik Salman maupun Puspita, dimanapun berada, termasuk itu diperantauan, keduanya harus tetap berpegang teguh kepada adat istiadat tanah kelahirannya yang dibangun diatas kesucian agama. Kalau di masyarakat Sunda, ini mirip dengan pepatah “Najan pindah patempatan, omat ulah pindah paadatan”. Yang dimaksudkan jika mereka pulang kampung nanti mereka tidak lupa terhadap warisan leluhurnya.
Lambat laun hingga menjelang dua tahun masa hubungan kedekatan mereka, tanda-tanda perubahan sifat dan karakter mulai berubah pada diri Puspita. Kuatnya arus pergaulan dan gaya hidup di kota metropolitan ternyata mulai mengikis benteng adat dan kepribadian Inong Aceh tersebut. Konflik-konflik kecilpun mulai tumbuh ditengah hubungan antara Puspita dan Salman Baik secara sikap maupun perlakuan Puspita terhadap Salmanpun kian berubah, guna menghindari konflik yang lebih besar, Salman berusaha untuk terus mengimbangi dan mengikuti setiap apa yang menjadi tuntutan Puspita. Bukan materi memang yang dituntut oleh Puspita, melainkan mental pola dan gaya hidup yang mulai lebih kental cara-cara keibukotaannya, tapi meskipun demikian.... apa mau dikata, toh ujung-ujungnya selalu berurusan dengan uang.
Upaya Salman untuk terus mengimbangi setiap gaya dan pola hidup sang kekasihnya tersebut ternyata mulai menimbulkan masalah baru, kini karakter Puspita semakin sulit terkendali. Di satu sisi Salman harus menambahkan perhatian lebih untuk Puspita dan disisi lain iapun harus bergelut lebih keras dengan pekerjaannya, karena banyak pekerjaannya yang hasilnya kurang makismal sebab pikirannya saat bekerja selalu teralihkan oleh sosok perempuan yang dicintainya. Seiring berjalannya waktu, situasi semakin memburuk, disaat yang bersamaan pula perhatian Salman untuk Ibu dan adik-adiknya di kampung mulai berkurang, upah hasil kerja yang dikirimkanpun semakin berkurang. Lengkaplah sudah masalahnya, hubungan asmara sulit terkendali, posisi kerja terancam dilengserkan, dan adik-adiknyapun mulai tidak nyaman untuk sekolah karena mulai lelah dengan “sumbangan pembangunan” yang berbau paksaan.
Situasi buruk mencapai puncaknya, Puspita merasa kalau Salman bukan lagi sosok yang pas dengan dirinya, Salman tidak bisa lagi membuatnya tersenyum ceria seperti dulu kala, Salman tidak mampu mencintai dirinya seperti yang ia harapkan. Semuanya harus diakhiri..... !!!! kalimat tersebut begitu melekat kuat dipikiran Puspita hingga akhirnya ia pun mengucapkannya dihadapan Salman.