Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Para Burung

18 September 2015   09:18 Diperbarui: 16 Februari 2017   13:39 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(1)

“Jo, jangan lupa burungku kau latih bicara ya,” kata Raden Paiman sebelum pindah. Kepindahan Raden Paiman hanya dengan satu alasan: untuk menenangkan hati dan pikirannya. Ia sangat lelah dan capai sehabis bertarung memperebutkan jabatan kepala desa seminggu lalu. Sayangnya, ia kalah.

“Baik, Ndoro, jangan khawatir burung beonya akan saya rawat dan latih bicara dengan baik,” jawab Paijo. Lalu, mereka berdua berpelukan, kemudian Raden Paiman masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu, truk yang membawa barang-barang Raden Paiman pun bergerak terlebih dahulu berjalan menjauh. Disusul, mobil sedan Raden Paiman yang bergerak perlahan seakan enggan meninggalkan tanah itu.

Paijo menitikkan air mata menyaksikan tuannya pindah.

(2)

Setiap kali melewati rumah yang dulu ditempati Raden Paiman, siapa pun akan disapa burung beo dengan ucapan, “Juki jelek! Juki Jelek!” Banyak orang yang tersenyum mendengar kata-kata burung itu, tapi banyak pula yang kesal. Kadang mereka yang kesal menimpali dengan berkata, “Beo jelek! Beo Jelek!”

Paiman senang sekali burung beonya sudah mahir mengucapkan kata-kata yang dilatihkannya. Kepada beberapa temannya, ia berkata, “Biar tahu rasa tuh si Juki berani-beraninya mengalahkan Raden Paiman, sekarang coba lihat burung saja tahu kalau si Juki tuh jelek! Kalau ada yang tidak tahu si Juki jelek, berarti orang itu kalah pintar dibandingkan burung!”

“Betul!” kata satu temannya.

“Benar!” kata satu temannya lagi.

“Juki jeleeeeeeek!” teriak mereka bersama-sama dengan burung beo.

(3)

Sejak menjabat kepala desa, Juki memelihara beberapa ekor burung. Burung-burung itu tidak semuanya dibelinya sendiri, tetapi ada beberapa hasil pemberian teman-temannya. Burung-burung yang dibelinya sendiri burung-burung yang sudah pandai terbang dan hebatnya burung-burung itu selalu kembali ke sangkarnya. Sayangnya, suara burung-burung itu kurang bagus. Kadang, orang-orang yang mendengar burung itu berkicau sangat kesal sebab suaranya seperti dengungan saja. Tapi, Juki senang sebab burung-burung itu tidak merepotkannya. Setiap pagi ia terbangkan burung-burung itu, lalu siang atau sore burung itu kembali dengan tembolok yang sudah penuh makanan. Juki tidak perlu melatih burung-burung itu mencari makan. Tak heran jika Juki sangat menyayangi burung-burung itu.

Adapun burung-burung hasil pemberian teman-temannya adalah burung-burung berkicau yang masih liar. Selain bulu-bulunya indah, suaranya juga merdu. Setiap pagi burung-burung itu berkicau memperdengarkannya suaranya yang merdu yang membuat banyak orang terkagum-kaguam akan kicauannya itu. Sayangnya, burung-burung itu terlalu merepotkan dan mahal dalam perawatannya. Harus sering rutin dimandikan dan dicekoki ramuan pemerdu suara. Makanannya juga mahal, harus yang bermutu, kalau tidak, suaranya tidak merdu lagi. Juki sering direpotkan oleh burung-burung yang ini. Burung-burung ini tidak bisa dilepaskan dari sangkarnya, sebab ia akan terbang dan tidak kembali lagi. Sebenarnya, bagi Juki, burung-burung itu terbang dan tidak kembali lagi tidak apa-apa, tapi ia khawatir saja teman-teman yang meberi burung-burung itu akan kecewa. Dan, sebetulnya juga, dulu ia pernah sampaikan kepada teman-temannya bahwa ia akan menerima burung-burung itu tapi ia tidak berjanji menjamin burung itu tidak terlepas atau mati.

“Tak apalah, Dik Juki. Kalau memang burung-burung kami mau dilepas, silakan. Itu sudah hak prerogatif sampeyan yang sudah sah menjadi pemilik burung-burung ini,” begitulah jawaban serempak teman-temannya itu.

(4)

Pak Kuluk, tetangga Juki, punya burung. Burungnya besar, kepakan sayapnya panjang, dan paruhnya besar. Burung itu tidak diberi sangkar. Oleh Pak Kuluk, burung itu dibiarkan berkeliaran, terbang bebas, dan tidak peduli makan apa dan di mana.

Sering Pak Kuluk diprotes orang-orang desa itu. Tapi, dengan santai, protes orang-orang itu hanya ditanggapi dengan senyuman khasnya. Katanya, “Namanya juga burung besar ya makannya banyak. Kalau kalian tidak ingin makanan burung kalian, makanan kalian juga, tidak dimakan burung besarku harus dijaga, bukan burungku yang harus diusir apalagi dimasukin sangkar.”

Burung besar Pak Kuluk pernah “menyerang” sangkar burung-burung Juki. Sangkar-sangkar burung Juki berantakan dan beberapa burungnya terlepas.

Pak Kuluk tidak meminta maaf kepada Juki sebab pikirnya, Juki jadi kepala desa karena jasanya juga. Juki sendiri seperti tidak mempermasalahkan soal sangkar burungnya yang rusak. Ia lebih senang mengurusi urusan desa yang kian hari kian terasa berat.

(5)

Seminggu lalu, Raden Paiman main ke desa itu. Ia mendatangi rumah yang dulu ditinggalinya. Raden Paiman kaget ketika sampai di depan halamannya, ia disambut sapaan khas burung beonya.

“Juki jelek! Juki jelek!” suara burung beo itu terdengar jelas.

Raden Paiman langsung berteriak memanggil Paijo, “Paijooooo!”

Teriakannya terdengar oleh Paijo yang sedang menonton televisi, bergegas ia keluar rumah. Paijo melihat Raden Paiman sedang berdiri di depan halaman rumahnya.

“Halaaah, Ndoro, kenapa tidak bilang-bilang kalau mau ke sini!” Paijo bergegas berlari menyambut Raden Paiman.

Tapi, begitu sampai di depan Raden Paiman, “Plaaaak! Plaaaak!” suara telapak tangan mengenai wajah Paijo.

“Kenapa kau ajari beoku bicara seperti itu, Jo?” tanya Raden Paiman. Matanya melotot menatap Paijo yang meringis kesakitan dan shock kaget tiba-tiba ditempeleng Raden Paiman.

(6)

Sudah sebulan, burung besar Pak Kuluk tidak kelihatan berkeliaran. Ia hanya terbang berkeliling-keliling mengitari rumah Pak Kuluk. Burung itu seperti ketakutan. Orang-orang desa senang sebab burung itu tidak mengganggu dan merepotkan mereka dulu. Kalau burung itu sudah hinggap di jendela, di pintu, atau di mana saja, tak ada yang bisa mengusirnya. Ia hanya takut pada Pak Kuluk. Tapi, sebulan ini, burung itu jarang terbang, suaranya yang keras tapi memekakkan telingan hanya sesekali terdengar. Itu pun saat Pak Kuluk ada di rumah.

Entah kenapa. Tak ada yang tahu ada apa dengan burung besar itu.

Di belakang rumahnya yang asri, Juki sedang memberi makan salah satu burungnya. Ia melemparkan seekor tikus besar ke sarang burung itu. Dalam sekejap mata, tikus itu ditangkap cakar burung itu. Lalu, tikus itu hanya sebentar mencicit sebab paruh tajam sang buruh telah mengkoyak tubuhnya.

Juki pun tersenyum puas.

-----------------------Ragunan, 18 September 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun