(1)
“Jo, jangan lupa burungku kau latih bicara ya,” kata Raden Paiman sebelum pindah. Kepindahan Raden Paiman hanya dengan satu alasan: untuk menenangkan hati dan pikirannya. Ia sangat lelah dan capai sehabis bertarung memperebutkan jabatan kepala desa seminggu lalu. Sayangnya, ia kalah.
“Baik, Ndoro, jangan khawatir burung beonya akan saya rawat dan latih bicara dengan baik,” jawab Paijo. Lalu, mereka berdua berpelukan, kemudian Raden Paiman masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu, truk yang membawa barang-barang Raden Paiman pun bergerak terlebih dahulu berjalan menjauh. Disusul, mobil sedan Raden Paiman yang bergerak perlahan seakan enggan meninggalkan tanah itu.
Paijo menitikkan air mata menyaksikan tuannya pindah.
(2)
Setiap kali melewati rumah yang dulu ditempati Raden Paiman, siapa pun akan disapa burung beo dengan ucapan, “Juki jelek! Juki Jelek!” Banyak orang yang tersenyum mendengar kata-kata burung itu, tapi banyak pula yang kesal. Kadang mereka yang kesal menimpali dengan berkata, “Beo jelek! Beo Jelek!”
Paiman senang sekali burung beonya sudah mahir mengucapkan kata-kata yang dilatihkannya. Kepada beberapa temannya, ia berkata, “Biar tahu rasa tuh si Juki berani-beraninya mengalahkan Raden Paiman, sekarang coba lihat burung saja tahu kalau si Juki tuh jelek! Kalau ada yang tidak tahu si Juki jelek, berarti orang itu kalah pintar dibandingkan burung!”
“Betul!” kata satu temannya.
“Benar!” kata satu temannya lagi.
“Juki jeleeeeeeek!” teriak mereka bersama-sama dengan burung beo.
(3)